Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inilah hari-hari sibuk sekaligus penuh kebahagiaan bagi Mayawati Indraningrum. Sanak-saudara, teman, dan kerabat hampir tak ada habisnya berkunjung. Teleponnya selalu berdering. Semua yang datang atau menelepon mengucapkan selamat atas bebasnya Ferry Santoro, sang suami, dari sekapan Gerakan Aceh Merdeka.
Ferry, 35 tahun, telah lolos dari lubang maut. Ia aman berkumpul dengan keluarga. Tapi penyekapan selama 11 bulan bukanlah pengalaman yang mudah dibuang dari ingatan. Sesekali, Ferry merasa seperti mendengar suara tembakan, persis seperti ketika dia masih di hutan Aceh dan terjebak dalam tembak-menembak antara tentara Indonesia dan GAM. "Saya memang masih trauma," katanya kepada Setiyardi dari Tempo.
Apa pun yang pernah dialaminya, kondisi kejiwaan Ferry kini mestinya lebih baik. Begitu bebas dari penyanderaan, ia tak lagi sendiri. Keluarga, kerabat, dan handai-taulan menyambutnya dengan rangkulan hangat dan tangis bahagia. Berbeda dengan ratusan sandera lain yang belum dilepas. Demikian pula ribuan anak dan janda di Aceh yang masih hidup di tengah ketakutan berkepanjangan. Sampai kini, mereka masih jadi korban trauma yang terabaikan.
Dari hari ke hari, dampak peperangan di Aceh pada kejiwaan warganya memang makin berat. Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Banda Aceh pun terus kebanjiran pasien. Hingga pekan lalu, rumah sakit itu terpaksa "menginapkan" 342 orang pasien sakit jiwa. Padahal kapasitas normalnya hanya 116 orang. Akibatnya, ruang makan dan ruang pertemuan disulap jadi ruang pasien dengan fasilitas seadanya.
Fakta ini seperti mengukuhkan keterangan resmi Kepala Dinas Kesehatan Nanggroe Aceh Darussalam, dr. Mulya Hasjmy, beberapa bulan lalu. Dari sebuah survei, diketahui bahwa separuh lebih dari sekitar empat juta warga Aceh ternyata mengalami gangguan jiwa. Rinciannya, mengalami depresi 25,7 persen, panik 18,4 persen, ketergantungan tembakau 16 persen, stres 7,7 persen, dan kecanduan alkohol 1,3 persen.
Dalam kamus kesehatan, tekanan jiwa penduduk daerah konflik digolongkan sebagai post-traumatic stress disorder (PTSD). Ini adalah gangguan psikiatrik pada orang yang mengalami kejadian mengerikan, menyakitkan, mengancam jiwa, atau menguras habis harga dirinya. Perang, penyanderaan, bencana alam, pemerkosaan, dan tindak kekerasan selalu meninggalkan kegetiran pada orang yang mengalaminya. Penderita gangguan stres pascatraumatis bahkan tak perlu jadi korban langsung. Cukup hanya menyaksikan sebuah peristiwa mengerikan saja mereka bisa terguncang.
Irmansyah, pengajar di Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, mengatakan, berbeda dengan otak hewan, daya rekam otak manusia jauh lebih kuat. Otak manusia bukan hanya merekam gambaran suatu peristiwa, tapi respons emosional saat peristiwa itu terjadi pun bisa tersimpan rapi. "Semakin dahsyat peristiwanya, semakin kuat emosinya, semakin tertanamlah trauma di memorinya," kata Irmansyah.
Saking kuatnya rekaman itu, rangkaian kejadian lain yang datang belakangan?juga sama-sama direkam?tak mampu menyingkirkannya. Kalaupun sempat terdesak ke alam bawah sadar, bayangan ketakutan akan muncul berulang. Bisa beberapa hari, bulan, bahkan beberapa tahun setelah kejadian. Bayangan itu biasanya datang lewat mimpi buruk, lintasan pikiran sesaat, atau saat melihat "simbol" yang mengingatkan pada peristiwa traumatis. Pada kasus lebih parah, bayangan ketakutan bahkan bisa muncul tanpa harus ada pemicu. Memori traumatis di otak seperti aktif mencari-cari celah.
Wanita korban pemerkosaan, misalnya, kerap terjebak pada ketakutan luar biasa saat diajak berhubungan badan oleh suaminya. Orang yang pernah terjebak kebakaran, badannya bisa panas dingin ketika melihat sebatang lilin atau korek api yang menyala.
Meski peristiwa berbeda, stres pascatraumatis punya gejala hampir sama. Menurut Dadang Hawari, profesor kejiwaan dari Universitas Indonesia, pengidap stres pascatraumatis sering cemas, ketakutan, atau waspada berlebihan. Pasien juga bisa hilang percaya diri, putus asa, bahkan punya niat bunuh diri.
Keluarga atau orang terdekat bisa mewaspadainya dari perubahan perilaku pasien. Pasien, misalnya, sering bengong, cenderung menyendiri. Jika perubahan perilaku itu berulang, pasien harus segera diobati. Kalaupun telat, jangan sampai lewat tiga bulan. "Jika tidak, pasien akan mengalami gangguan mental seumur hidup," ujar Dadang.
Apalagi hantu ketakutan berkepanjangan juga bisa menggerogoti kekebalan tubuh pasien. Ada respons alami tubuh ketika jiwa tertekan. Respons ini membangkitkan hormon anak ginjal adrenalin yang terus membanjiri aliran darah. Jika berlangsung lama, banjir adrenalin akan membuat orang terus tegang. Saat ini pula seabrek penyakit bisa menerabas masuk.
Meski stres pascatraumatis sudah lama dikenal?paling tidak sejak perang sipil di Amerika pertengahan abad ke-19?hingga kini belum ada satu terapi khusus yang cukup manjur. Selama ini psikiater biasanya mengabungkan terapi psikologis (psikoterapi), terapi obat-obatan (farmakoterapi), dengan terapi dukungan lingkungan.
Pada diagnosis awal, kondisi pasien dievaluasi secara detail. Pasien ditanyai gangguannya apa, sudah berapa lama, seberapa sering, dan seberapa kuat dampaknya atas keseharian dia. Setelah ada informasi lengkap, psikiater baru membuat rencana pengobatan sesuai dengan keunikan setiap pasien.
Terapi psikologis biasanya dimulai dengan penjelasan mengapa seseorang bisa terkena stres pascatraumatis. Sebelum berlanjut ke pengobatan, pasien perlu mengenali apa penyebab gangguan mentalnya. Pasien juga perlu diyakinkan bahwa apa yang dia alami bisa menimpa siapa pun. Pada saat yang sama, pasien perlu diberi harapan bahwa gangguan mentalnya bisa tersembuhkan.
Masih pada awal terapi, emosi negatif pasien dicoba dikuras. Ini, misalnya, dilakukan dengan exposure therapy. Dengan bimbingan ahli terapi, memori traumatis pasien sengaja dihidupkan. Pasien seperti diajak "mengalami" kembali peristiwa mengerikan, tapi pada situasi yang lebih aman dan terkontrol. Begitu mengalami pengulangan ingatan, pasien dibiarkan menumpahkan segala emosi yang mungkin masih terpendam. Setelah emosinya meluap, pasien biasanya jadi lebih tenang.
Nah, setelah segala emosi negatif terkuras, baru mulai masuk tahap penyembuhan kognitif. Di sini pasien diajak belajar melihat kehidupannya dengan kaca mata berbeda. Pasien mungkin sempat kehilangan rasa percaya diri, cita-cita, dan semangat hidup. Melalui diskusi yang penuh empati, pasien perlahan-lahan diajak berpikir positif. "Ia dibiasakan menerima peristiwa traumatis sebagai peristiwa biasa," kata Irmansyah.
Selama proses konsultasi psikologis, pasien juga diberi obat antidepresi dan anticemas. Ini untuk memulihkan sistem transmisi otak pasien yang sempat terganggu setelah trauma. Dengan obat-obat "penenang" ini, kegelisahan pasien teredam. Pasien bisa tidur dan istirahat lebih tenang, sehingga kondisi fisiknya berangsur membaik.
Agar bisa ikut terapi hingga khatam, pasien memang perlu mendapat sokongan orang terdekat. Di sini dukungan keluarga sangat penting. Setiap kali pasien mau berbagi cerita, harus selalu ada pendengar setianya. Sebaliknya, saat pasien murung dan enggan bercerita, harus ada yang bisa berperan sebagai "penggoda".
Begitu pentingnya dukungan lingkungan ini, di masyarakat yang ikatan keluarganya sangat longgar, pasien stres pascatraumatis dilibatkan dalam terapi kelompok. Pasien diberi kesempatan berbagai cerita dengan sesama pasien. Di Indonesia, menurut Dadang, terapi ini kurang populer. Maklum, kebanyakan pasien lebih memilih bercerita pada orang tertentu, misalnya konsultan atau keluarga, ketimbang ke sesama pasien.
Terapi apa pun yang dipilih, tak ada yang bisa memastikan berapa lama pasien bisa sembuh. Bisa sebulan, bisa bertahun-tahun. Semuanya tergantung pada kedahsyatan peristiwa, penghayatan pasien atas peristiwa itu, serta kepribadian pasiennya. "Mereka yang bisa lebih positif menyikapi beban hidupnya, bisa lebih cepat sembuh," kata Dadang. Memang, pada akhirnya sikap positif pasienlah yang paling menentukan.
Jajang Jamaludin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo