Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA kesan polisi lebih memilih menembak mati mereka yang dianggap teroris ketimbang berusaha keras menangkap hidup-hidup. Dalam tiga penyergapan, tiga kali pula polisi menumpas habis mereka di tempat persembunyian. Terakhir kali, dua pekan lalu, Syaifudin Zuhri dan Mohamad Syahrir ditembak mati di Ciputat, Tangerang Selatan.
Bisa dipahami bila polisi menggunakan ”resep adu cepat” jika nyawa penegak hukum terancam. Telah berbilang tahun kesatuan antiteror Densus 88 memburu para tersangka pengeboman di pelbagai kota. Manakala mereka menemukan jejak para tersangka, dan ternyata kawanan itu melawan dengan melempar bom, tindakan polisi menembak mati masih bisa diterima.
Dari tiga penyergapan terakhir, bahkan salah satunya bisa disaksikan melalui siaran langsung televisi, kita melihat minimnya perlawanan. Tak seperti kelompok Dr Azahari yang melakukan serangan balik sengit dengan mengamankan perimeternya dengan bom dan mengenakan rompi berpeledak, para tersangka belakangan ini hanya melawan dengan bom pipa—mirip dinamit—yang relatif tak begitu berbahaya.
Puluhan dan bahkan ratusan polisi yang sudah mengepung rumah persembunyian tersangka seharusnya memiliki cara untuk melumpuhkan tanpa perlu menembak mati. Terbukti polisi bisa menangkap hidup istri Susilo, pengontrak rumah di Mojosongo, Solo, yang melindungi Noor Din M. Top, dengan menembak kakinya. Semestinya aparat keamanan bisa melakukan hal yang sama terhadap buron nomor wahid asal Malaysia itu.
Menangkap Noor Din hidup-hidup tentu perlu agar pemerintah tak dituding membalas aksi biadab sang perencana pengeboman di beberapa kota itu dengan cara serupa. Dengan menangkap tersangka, polisi bisa menggali lebih dalam jaringan teroris yang ia bangun lebih dari sewindu lalu. Syaifudin, yang diduga merekrut dua pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz-Carlton Jakarta, bisa pula diminta mengungkapkan keterlibatan Al-Qaidah dalam aksi teror di Indonesia.
Yang terjadi, aparat seakan tak punya cara lagi selain menembak mati. Dengan tersangka yang sudah berkalang tanah, kesatuan antiteror jelas akan menghadapi jalan yang lebih berliku untuk mengungkap jaringan terorisme secara tuntas.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memang tidak mencantumkan ketentuan bagi para aparat dalam penangkapan teroris. Tapi itu bukan berarti tindakan tumpas habis dalam memberantas terorisme bisa diterapkan begitu saja. Kebijakan menembak mati jelas tak bisa dibenarkan karena melanggar hak asasi manusia.
Dewan Perwakilan Rakyat selayaknya memperbaiki undang-undang antiterorisme yang belum cukup komprehensif itu. Indonesia bisa belajar dari Australia yang mengatur secara detail kewenangan penyidik. Wewenang menyadap, memasuki pekarangan rumah tersangka, menggeledah tanpa izin pengadilan, hingga menangkap diatur secara rinci. Bahkan negeri tetangga ini mencantumkan adab aparat untuk tidak masuk ke rumah dan menangkap tersangka ketika sang pemilik rumah sedang tidur antara pukul 9 malam dan 6 pagi. Perlakuan manusiawi menjadi urusan nomor satu dalam undang-undang ini.
Tanpa mengurangi penghargaan atas prestasi polisi menyergap gembong teroris selama ini, polisi perlu mempertanggungjawabkan tindakan anggotanya menghabisi tersangka teroris itu. Langkah ini penting agar tak muncul kesan pemerintah cenderung menghindari proses hukum dan memilih resep instan: tembak mati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo