Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOPER dan tas plastik hitam berseliweran di arena Musyawarah Nasional Partai Golkar di Pekanbaru dua pekan lalu. Sepintas ini tentu kesibukan yang lumrah. Partai sebesar Golkar pasti menghasilkan ide-ide baru, yang tentu dituangkan dalam makalah berlembar-lembar dan dibagikan kepada peserta musyawarah.
Tunggu dulu. Kali ini berbeda. Koper dan tas plastik hitam itu tidak berisi makalah, tapi uang—bahkan mata uang asing: dolar—yang bertumpuk-tumpuk. Untuk siapa? Seperti halnya makalah—yang kali ini nyaris tak ada—uang itu dibagikan kepada peserta musyawarah. Uniknya, karena ada dua (dari empat) kandidat ketua umum yang siap menghamburkan uang, ada tawar-menawar. Yang memberikan uang lebih besar tentu bisa meraup suara lebih banyak.
Ini musyawarah atau pasar ternak? Terlalu jauh perbandingan itu, meski esensinya sama: ”hewan” (atau suara) bisa diambil oleh yang membayar lebih mahal. ”Harga” juga fantastis, ratusan juta bahkan sampai satu miliar per suara. Mungkin itu alasannya sehingga dipakai dolar Amerika, supaya kopernya lebih tipis.
Aburizal Bakrie, biasa dipanggil Ical, memenangi ”pasar” melawan pesaingnya, Surya Paloh. Ical mendapat 297 suara, Surya Paloh 239 suara. Tommy Soeharto nol suara karena tak ikut main uang. Sedangkan Yuddy Chrisnandi, yang hanya berbekal ide tanpa dolar, juga nihil suara. Ical dan Surya Paloh sudah keluar begitu banyak. Yang ketiban untung pengurus daerah. Lebih untung lagi yang ”berkaki dua”: ke sini dapat, ke sana dapat.
Sudah begitu tak bermoralkah para kader Golkar sehingga arena musyawarah tak ubahnya pasar dan uang menjadi penentu? Lagi-lagi petinggi Golkar punya jawaban: tawar-menawar suara dengan cara membeli ini tidak bisa diartikan sebagai ”politik uang” (money politics) yang kotor. Ini cara kandidat ketua umum membantu pembinaan partai di tingkat provinsi dan kabupaten. Semua kegiatan partai, termasuk musyawarah daerah, membutuhkan uang. Artinya, hamburan uang itu adalah strategi baru Golkar dalam membesarkan partai.
Ada persoalan besar tersisa. Pengurus Partai Golkar umumnya adalah penyelenggara negara—baik bupati, gubernur, maupun pejabat daerah yang lain. Menerima uang dalam musyawarah itu pada dasarnya sama saja dengan menerima gratifikasi. Seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi diuraikan secara gamblang. Pemberian dalam arti luas itu meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan lainnya. Aturan ini jelas melarang pegawai negeri menerima hadiah atau janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Seorang pegawai negeri tak bisa berdalih menerima hadiah dalam kapasitas bukan sebagai pemimpin daerah ketika mengikuti Musyawarah Nasional Partai Golkar itu. Dalam diri pegawai negeri, jabatan dalam Partai Golkar dianggap inheren alias melekat dan tak terpisahkan dari jabatan sebagai pemimpin daerah.
Maka segala ketentuan gratifikasi dalam undang-undang tindak pidana korupsi seharusnya berlaku untuk pemimpin daerah yang mengikuti Musyawarah Nasional Partai Golkar itu. Selain diancam denda sampai semiliar, pelanggaran bisa mengundang hukuman penjara minimal empat tahun. Komisi Pemberantasan Korupsi diharapkan segera mengusut kasus ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo