Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Membebaskan Sandera tanpa Senjata

Negosiasi adalah kunci pembebasan pilot Susi Air yang disandera Tentara Pembebasan Papua. Bisa melibatkan lembaga internasional.

19 Februari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Membebaskan Sandera tanpa Senjata

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pilot Susi Air disandera kelompok Egianus Kogeya di Papua.

  • Cara tepat membebaskan sandera bukan dengan operasi militer, tapi diplomasi.

  • Mengajak tokoh lokal dan gereja untuk pembebasan sandera adalah langkah tepat.

KESELAMATAN Phillip Mark Mehrtens yang disandera kelompok Egianus Kogeya di Papua harus menjadi prioritas utama pemerintah. Negosiasi harus dikedepankan untuk membebaskan hidup-hidup pilot Susi Air asal Selandia Baru itu. Penggunaan operasi militer dalam menghadapi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) malah bisa memperparah konflik yang akan terus menghilangkan nyawa penduduk sipil di wilayah itu. Saat ini pun telah banyak penduduk Nduga yang mengungsi akibat kekerasan tak berujung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Phillip Mark Mehrtens, 37 tahun, disandera kelompok TPNPB pimpinan Egianus Kogeya setelah pesawat yang diterbangkannya mendarat di Bandar Udara Paro, Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan, Selasa pagi, 7 Februari lalu. Tentara Pembebasan menuntut negosiasi kemerdekaan Papua. Sayap militer Organisasi Papua Merdeka itu mendesak pemerintah Selandia Baru, juga Perserikatan Bangsa-Bangsa, bertanggung jawab atas konflik di Papua yang terjadi selama enam dekade.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penyanderaan Mehrtens jelas tak manusiawi dan patut dikecam. Meski mengklaim menjamin keselamatan Mehrtens, Egianus Kogeya telah menyeret warga sipil ke dalam konflik. Cara ini justru membuat dunia kian tak bersimpati terhadap gerakan kemerdekaan Papua. Apalagi Egianus pernah membantai belasan pekerja PT Istaka Karya pada Desember 2018. Kelompok pro-kemerdekaan seharusnya segera melepaskan Phillip Mehrtens dan mengutamakan jalur dialog.

Sebaliknya, pemerintah Indonesia harus berkepala dingin dalam membebaskan Phillip Mehrtens. Sikap pemerintah yang menggandeng tokoh lokal dan gereja untuk bernegosiasi dan menyuarakan pembebasan Mehrtens sudah benar. Kalaupun negosiasi berjalan alot dan buntu, pemerintah tak boleh menyerah. Toh, kealotan itu konsekuensi dari keengganan pemerintah selama ini untuk merintis dialog di Papua. Di sinilah kelihaian pemerintah dalam berdiplomasi diuji.

Pemerintah tak usah malu meminta bantuan lembaga internasional yang dipercaya semua pihak. Bahkan pemerintah bisa membebaskan lebih dulu tahanan politik Papua yang diberangus karena menyuarakan kemerdekaan. Cara ini menunjukkan niat baik untuk berdialog. Sebaliknya, kengototan menjalankan operasi militer akan memperburuk konflik. Jika pada akhirnya tak bisa menghindari pilihan operasi, sepatutnya hal itu dilakukan dalam skala terbatas yang meminimalkan kemungkinan jatuhnya korban.

Tentara Nasional Indonesia sebaiknya istirahat di tempat dulu dalam negosiasi pembebasan Phillip Mark Mehrtens. Apalagi TNI membuat blunder dan terlihat berjalan tanpa koordinasi. Panglima TNI Laksamana Yudo Margono, misalnya, sempat membantah kabar penyanderaan itu dan menyatakan bahwa Phillip Mehrtens menyelamatkan diri. Sedangkan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Dudung Abdurachman malah menyatakan akan mengirim pasukan tambahan ke Papua.


Artikel:


Pengiriman lebih banyak tentara hanya akan mengguyur bara konflik Papua dengan avtur. Rantai kekerasan bakal lebih panjang dan mengorbankan warga sipil, yang selalu tercekik di tengah konflik. Pun kekerasan yang terjadi di Papua hanya akan berdaur-ulang. Egianus Kogeya adalah contohnya. Ia putra pentolan OPM, Daniel Yudas Kogoya, yang ikut menyandera Tim Lorentz pada 1995-1996 di Mapenduma.

Penyanderaan pilot Susi Air, Phillip Mark Mehrtens, oleh kelompok Egianus Kogeya bukan tidak mungkin akan diikuti oleh tindakan serupa dari kelompok TPNPB lain. Jika pemerintah tak segera menghentikan konflik Papua dengan dialog damai, niscaya kian banyak warga sipil menjadi korban. Pemerintah tak perlu lagi mengulangi cara yang terbukti gagal: menggunakan senjata untuk menghadapi orang Papua yang sejak dulu memendam kecewa.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus