Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Tubuh

Badan telah divonis: “lemah”. Tapi ada paradoks yang dilupakan. Di satu pihak, agama-agama memaparkan tubuh sebagai bagian diri kita yang gelap, payah, dan penuh risiko. Namun, tanpa disadari, tubuh juga jadi kerepotan utama agama-agama.

27 Maret 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tubuh

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CEPAT atau lambat coronavirus membawa kita lebih peka dan gentar menyentuh tubuh. Juga lebih akrab.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kini tiap hari kita menutup mulut dan hidung dengan masker, tiap waktu mencuci tangan, dan tiap pertemuan menjaga jarak dari badan orang lain--hal-hal yang dulu tak kita lakukan. Kita jadi sadar, tubuh sesuatu yang sentral dalam hidup kita, malah mungkin mendasar. Kita percaya ada “roh”, tapi agaknya kita hanya mengingatnya di ruang gawat darurat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan kata lain, tubuh “hadir”. Bukan saja jasmaniku menyambungkan aku dengan dunia, seperti ketika tanganku meraba batu dalam air. Badan juga yang paling peka, paling fasih, paling memadai, dalam mengenal sakit atau nikmat. Tubuh pula yang pertama-tama menandai kemerosotan hidupku, kemudian kematian.

Tapi, entah kenapa, tak mudah mengakui itu. Sejarah agama, pemikiran, dan politik lebih suka menengok ke arah lain.

Agama-agama, terutama Protestanisme, memandang “jasmani” atau “daging” sebagai tempat dosa. Apa yang dikatakan Yesus kepada para muridnya yang mengantuk di Taman Getshamani, menjelang ia ditangkap tentara Romawi, dianggap kesimpulan yang berlaku untuk semua: “Rohani rela, tetapi jasmani lemah.”

Badan telah divonis: “lemah”. Tapi ada paradoks yang dilupakan. Di satu pihak, agama-agama memaparkan tubuh sebagai bagian diri kita yang gelap, payah, dan penuh risiko. Namun, tanpa disadari, tubuh juga jadi kerepotan utama agama-agama. Aturan berderet menutupi aurat, menyucikan badan, mengendalikan nafsu, bertapa, yang kadang disebut patiraga (“mematikan raga”). Pendek kata, kesadaran dikerahkan untuk mewaspadai alat kelamin, perut, kulit, tenggorokan.

Dan bukan hanya ajaran agama yang waspada. Juga petuah tradisi. Di bawah Pakubuwana IV (1768-1820), anak muda Mataram dianggap perlu membaca Serat Wulangreh:

Dadiya lakunireku,

cegah dhahar lawan guling

(Jadikanlah ini kebiasaan lakumu: 

mencegah makan dan tidur).

Petilan itu bagian dari Wulang-Reh, ajaran politik penguasa, yang mengharapkan generasi muda aristokrat tetap kuat, dengan tirakat.

Dalam ambisi yang berbeda, di Eropa akhir abad ke-19 berlanjut rasionalisme. Rasio manusia dinyatakan bisa mengetahui apa saja--seakan-akan menggantikan Tuhan yang oleh para pemikir itu dinyatakan telah mati. Dengan itu tubuh dianggap hanya obyek: sesuatu yang dianalisis, dirumuskan, dan dikukuhkan dalam ilmu-ilmu.

Tapi para aristokrat Jawa, ulama produsen fatwa, maupun pemikir yang yakin semua bisa dijelaskan tak pernah berhasil menegakkan satu tatanan di mana tubuh berhenti hadir. Tubuh juga resistansi. Bahkan bisa lebih cerdas.

Dalam Zarathustra--renungan termasyhurnya--Nietzsche mengingatkan:

…Tubuh adalah sebuah nalar besar, sebuah kemajemukan dengan satu makna, satu perang dan damai, satu kawanan ternak dan seorang gembala.

Sementara itu, nalar alitmu, saudaraku, apa yang kau sebut ‘pikiran’, adalah instrumen tubuhmu, satu alat dan mainan kecil dari nalar besarmu.

Kalimat itu tentu mengejutkan. Nietzsche menjungkirbalikkan premis yang sedang laku, dengan menyebut tubuh itu nalar (Vernunft), bahkan nalar yang “besar”. Tubuh, dengan hasrat dan nafsunya--terkadang mirip khaos--adalah energi yang membuat kebudayaan bergerak.

Gema suara Nietzsche berlanjut di antara mereka yang mengalami tubuh pasca-agama pasca-rasionalisme: tubuh sebagai kemajemukan--badan kita bukan hanya dosa, bukan hanya energi. Jika rasio bisa dianggap sebuah monolog, tubuh sebaliknya.

Di tahun 1930-an, Albert Camus, ketika pemenang Hadiah Nobel Sastra itu masih berumur 20-an, menggambarkan bagaimana ia, dengan tubuhnya, menjangkau alam Aljazair, di pantai Tipassa:

“...aku tahu aku tak akan pernah cukup dekat ke dunia. Aku harus telanjang dan menyelam ke dalam laut, dengan tubuh masih berbau harum bumi. Ombak membasuh, dan dagingku merasakan tuntas pelukan yang sudah lama dihasratkan laut dan matahari, pelukan dengan bibir yang saling mengecup. Kurasakan sentak air naik bersama getah tebal yang dingin--menyelam kembali dengan denging di telingaku, alir di hidungku, dan rasa garam di mulutku.

Cerita yang sensual--dan Camus mengakui, padanya tak ada “sikap agung”, grandeur, yang menampik kebahagiaan indrawi. Pada saat yang sama, ia mengakui ia “tak akan pernah cukup dekat dengan dunia”. Ia bagian yang kangen dari alam: ada kerendahan hati dan solidaritas. Tubuhnya (yang menderita TBC) bercakap-cakap dengan laut, matahari, angin. Ia tak mengendalikan jasmaninya, ia tak mengkonstruksi alam di dekatnya.

Dengan kata lain, tubuhnya memeluk pengalaman, bukan mendominasinya.

Reaksi terhadap ajaran agama dan rasionalisme memang tak niscaya berarti membuat tubuh jadi pusat monolog.

Tubuh atau “daging” sebagai monolog adalah yang muncul dalam pemikiran Mishima. Sastrawan terkemuka Jepang yang bunuh diri secara spektakuler itu menulis satu esai panjang dua tahun sebelum ia melakukan seppuku, Taiyō to Tetsu, “Matahari dan Baja”.

“Berkat matahari dan baja, aku tergerak mempelajari bahasa daging.” Bahasa daging baginya lebih fasih ketimbang bahasa verbal. Mishima merasakan “kerinduan yang sangat untuk sekadar melihat--tanpa kata-kata”.

Ia tak menganggap, habitatnya dalam dunia kata-kata, melainkan dalam “jangat yang cokelat kena matahari, kulit yang berkilau, otot-otot yang peka bergelombang”.

Tentu berlebihan. Sebab bahasa bukan hanya nalar dan isi kognitif. Bahasa bertaut dengan tubuh. Tapi Mishima tak merasa bagian dari para penulis yang penuh kata-kata dan renungan muram. Mereka itu, tanpa kecuali, katanya, “berkulit kusam dan berperut gombyor”. Ia Mishima: tubuhnya ia atur, ia raut, dengan otot yang rapi perkasa seperti patung pesanan Nazi. Ada arogansi dalam postur itu.

Kini Covid-19 bisa mengingatkan, bahwa akrab dengan tubuh sama artinya bersyukur dengan sederhana ketika sembuh, dan bersikap biasa dengan sakit dan kematian.

GOENAWAN MOHAMAD
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad

Penyair, esais, pelukis. Catatan Pinggir telah terhimpun dalam 14 jilid. Buku terbarunya, antara lain, Albert Camus: Tubuh dan Sejarah, Eco dan Iman, Estetika Hitam, Dari Sinai sampai Alghazali.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus