Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Partai-partai politik kini sibuk menjajaki kemungkinan koalisi.
Perbaikan pemilu diabaikan dengan dihapusnya Rancangan Undang-Undang Pemilu dari program legislasi.
Syahwat berkuasa lebih penting daripada memperkuat demokrasi.
PEMILIHAN umum masih tiga tahun lagi, tapi politik transaksional sudah dimulai hari ini. Para elite partai politik sibuk ke sana-kemari menjajaki kemungkinan koalisi untuk menentukan calon presiden dan wakil presiden. Beberapa tokoh mulai merayu partai politik agar dapat dicalonkan sebagai kandidat dalam Pemilu 2024. Orang-orang partai di pemerintahan sibuk mengurus peluang menjadi calon presiden, wakil presiden, atau jabatan publik lain seraya ala kadarnya mengurus pandemi dan perekonomian yang morat-marit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syahwat berkuasa tampaknya lebih penting daripada merawat demokrasi. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat telah mencabut Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum dari program legislasi nasional prioritas. Pencabutan itu membuat pemilihan kepala daerah dilakukan bersamaan dengan pemilihan presiden pada 2024. Keserentakan ini membuat hingga tiga tahun ke depan kepala daerah akan dipimpin pelaksana tugas yang mudah dikendalikan pemerintah pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pencabutan itu juga membuat beberapa hal penting dari rancangan tersebut tak dapat dibahas. Salah satu hal terpenting adalah ambang batas parlemen dan presiden. Saat ini, ambang batas parlemen 4 persen dari total perolehan suara partai membuat banyak partai gagal masuk DPR. Akibatnya, banyak legislator potensial tersingkir dari Senayan dan 10 juta lebih suara pemilih dicampakkan begitu saja. Ambang batas parlemen ini sudah seharusnya diturunkan agar partai-partai kecil dapat tumbuh dan calon-calon pemimpin alternatif dapat berkiprah.
Adapun ambang batas presiden kini sebesar 25 persen dari jumlah kursi DPR atau 20 persen suara sah. Hal ini membuat hanya partai-partai besar atau koalisi partai yang masuk DPR yang dapat mengajukan calon presiden. Ketentuan ini menutup kemungkinan munculnya calon alternatif atau calon dari luar partai.
Hingga saat ini sudah banyak muncul tokoh dari luar partai, seperti Ridwan Kamil, Anies Baswedan, dan Erick Thohir. Aturan itu membuat mereka perlu masuk dulu ke salah satu partai untuk dapat maju sebagai calon presiden. Perekrutan orang dari luar partai ini, selain menunjukkan kegagalan pengaderan partai, bisa membuka ruang transaksi politik yang membuat biaya politik membengkak. Ujung-ujungnya, potensi korupsi politik pun membesar.
Sudah saatnya aturan mengenai ambang batas presiden ini diturunkan atau malah dihapus saja. Hanya dengan cara itu maka pencalonan presiden dan wakil presiden tidak lagi dimonopoli oleh partai besar. Sikap keras kepala partai dalam mematok ambang batas presiden yang tinggi menunjukkan keinginan elite untuk memuaskan nafsu berkuasa dan melanggengkan kartel politik.
Penolakan DPR dan pemerintah membahas Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum diduga dilakukan agar partai politik memiliki alat tawar-menawar menjelang 2024 nanti. Politik dagang sapi akan terjadi, misalnya, dengan menukar ambang batas presiden dengan pengaturan alternatif kandidat. Ambang batas parlemen akan dipakai untuk menekan partai kecil agar menyetujui kebijakan partai besar atau menyepakati alternatif kandidat presiden yang mereka ajukan.
Patut dikecam: tak tampak keinginan partai politik untuk menyiapkan undang-undang pemilihan umum yang lebih baik. Jika ini dibiarkan, demokrasi kita yang telah tergerus korupsi politik di masa depan tampaknya akan makin suram saja.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo