Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMPIR di tiap bandara kini kita dengar pengumuman lisan dalam bahasa daerah. Saya tak tahu persis apa yang hendak dicapai, dan pertanyaan tak terjawab: mengapa di airport Surabaya tak dipakai bahasa Osing, dan di Semarang bukan bahasa Tegal? Benarkah di Yogya orang paham bahasa Jawa yang menggunakan kromo inggil seperti dalam upacara pengantin? Apa salahnya memakai bahasa nasional, yang bisa diduga dipahami 98% orang dengan KTP Indonesia?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sering disangka, bahasa adalah alat yang ampuh buat menegaskan identitas. Tapi identitas ibarat pakaian—pakaian sebagai bagian dari statemen diri dan teknologi pengenalan. Orang mungkin lupa, di zaman ini, ketika politik identitas merajalela, ada kalimat arif James Baldwin, sastrawan berkulit hitam di negeri di mana warna kulit bisa menjepit: jika identitas ibarat “kain yang menutup ketelanjangan diri”, kata Baldwin, maka paling baik bila kain itu dikenakan agak longgar—“seperti jubah di padang pasir yang masih membiarkan ketelanjangan diketahui, dan kadang-kadang bisa diraba”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Identitas memang bukan seperti kurungan—sebuah barang-jadi.
Dan bukan-barang-jadi itulah agaknya riwayat bahasa Indonesia.
Yang istimewa pada bahasa ini adalah bahwa ia tak dibangun dengan dan dari sebuah pusat, dengan dan dari sebuah fondasi, dengan dan dari satu gelondongan sejarah. Bahkan, tak seperti bahasa Inggris, di Indonesia tak ada sebuah “Oxford”: pusat yang jadi tauladan menulis dan bertutur. Pernah RRI, Balai Pustaka, dan guru-guru sekolah mencoba mengisi kekosongan itu, tapi gagal. Bahasa Indonesia tumbuh di pasar-pasar yang tak permanen, perjumpaan-perjumpaan yang tak resmi, di rantau-rantau yang bergerak, tanpa peta. Kecuali di dua abad terakhir di kota-kota besar, bahasa Indonesia tak pernah jadi sebuah bahasa asal atau bahasa ibu.
Tokoh linguistik terkenal, Saussure, memandang bahasa bagaikan satu simfoni. Bangunan musik itu disajikan, dan kita akan menikmatinya karena kita mengikuti sebuah sistem. Berbeda dengan yang dikemukakan Mikhail Bakhtin, pemikir dan kritikus sastra Rusia yang nyaris dilupakan itu. Kalaupun ia juga melihat bahasa sebagai simfoni, maka ia tak melihatnya lewat partitur orkestra, tapi dari proses bagaimana partitur dimainkan.
Bakhtin meninggal pada 1975 dalam usia 80. Ia, yang mungkin terbiasa dengan pandangan materialisme-sejarah, melihat bahasa sebagai sistem yang tak selesai dan tak akan pernah selesai. Bahasa selalu bahasa-dalam-proses. Dinamika bahasa bersifat “sentrifugal”, selalu lepas dari sentrum, tak bertaut dalam kesatuan, selalu beraneka ragam—juga dalam tubuh satu bahasa.
Dari Bakhtin-lah berasal pengertian “heteroglosia”. Dengan istilah itu ia menunjukkan, dalam satu bahasa ada pelbagai corak yang berbeda yang hadir dan hidup bersama-sama. Dalam tulisan yang terbit di tahun 1934, Слово в романеb, yang diterjemahkan ke bahasa Inggris menjadi “Discourse in the Novel”, Bakhtin memaparkan novel sebagai contoh. Karya Dostoyevsky, misalnya, membawakan keanekaragaman sudut pandang. Di sana pelbagai perspektif dinyatakan dalam kata-kata, dan masing-masing kata membawa makna, obyek, dan gema sendiri.
Novel yang bagus memang menghidupkan kembali hidup. Dan hidup, sebagaimana bahasa, bukan terdiri atas hal-ihwal, melainkan dari kejadian-kejadian. Pengertian bukan lahir dari makna, melainkan dari pemaknaan. Konteks sebuah pernyataan—waktu, ruang, kondisi manusia yang berbicara—lebih menentukan ketimbang teksnya. Selalu ada situasi “dialogis”.
Bahkan apa yang disebut “bahasa ibu” kita dapat dari mendengar dan menirukan orang lain, yang setelah entah berapa kali kita alami, mengendap dalam otak kita.
Agaknya kita tak mungkin menemukan sumber identitas dalam bahasa.
Menarik jika kita longok apa yang terjadi dalam bahasa “Melayu-Tionghoa”.
Bahasa “Melayu-Tionghoa” yang tumbuh terutama sebagai bahasa lisan adalah bagian dari heteroglosia Indonesia. Kita akan salah jika melihat bahasa ini—yang hidup di kalangan yang lebih besar ketimbang kalangan bahasa Banyumas atau Maumere—terpisah dari bahasa yang kemudian jadi “bahasa nasional”.
Takdir Alisjahbana, pelopor modernisasi bahasa dan kesusastraan Indonesia, di awal 1930-an menganjurkan sikap toleran terhadap berbagai penggunaan bahasa “Melayu” atau “Indonesia”, termasuk bahasa yang dipakai surat kabar kalangan etnis Tionghoa. Tapi Takdir kemudian berubah. Ia merekomendasikan pembakuan, untuk membentuk “het algemeen beschaafd Indonesische” dengan tata bahasa, ejaan, dan sintaksis yang satu.
Heteroglosia ingin ia abaikan—bahkan cara melafalkan (“menaikkan”, bukan “menaikken”) ia seragamkan. Karya sastra “Melayu-Tionghoa” pun tergusur. Tapi ia tak jadi bahasa yang mati. Yang berlangsung adalah cairnya demarkasi yang dibikin-bikin, sebab pada dasarnya lebih gampang beralih dari memakai bahasa Melayu yang umum ke memakai bahasa Melayu-Tionghoa dibandingkan dengan peralihan ke bahasa Jawa.
Bahasa Melayu-Tionghoa menunjukkan heteroglosianya sendiri. Lalu lintas frasa dan arti terus-menerus terjadi. Pada suatu masa, misalnya, bentukan “kita punya”—seperti “kita punya tindakan”—datang dari kalimat bahasa Eropa, dan juga dipakai dalam pidato politik Bung Karno.
Membangun demarkasi linguistik di Indonesia adalah membangun tembok dengan ilusi. Paling sedikit, demarkasi itu rapuh. Heteroglosia tak terelakkan. Ia lebih merupakan proses alamiah bahasa setelah tak ada lagi lingkungan kebudayaan yang sepenuhnya tertutup.
Dengan kata lain, mempertaruhkan bahasa sebagai batu sangga identitas itu seperti berselancar dengan papan bocor. Mendengarkan pengumuman keberangkatan pesawat dalam bahasa daerah di bandara (yang tak kita ketahui persis bahasa pengunjungnya) hanyalah menemukan hiasan yang eksotis. Tak lebih dari itu.
Goenawan Mohamad
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo