Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA perkembangan menarik di ketatanegaraan Amerika Serikat. Akhir Juli 2024, Presiden Joe Biden mengajukan tiga usul penting mengubah konstitusi, yakni penghilangan hak imunitas mutlak presiden dari tuntutan dan gugatan hukum; pembatasan masa jabatan hakim agung yang tidak lagi seumur hidup; serta pembuatan kode etik yang mengikat semua hakim dengan mewajibkan mereka mengungkapkan hadiah yang mereka terima, membatasi diri dari aktivitas politik, dan mengundurkan diri jika mereka dan pasangannya terjerat perkara finansial atau benturan kepentingan. Tiga usul ini menunjukkan Amerika menghadapi kerumitan ketatanegaraan sebagaimana yang dialami Indonesia, meskipun tidak persis serupa. Tulisan ini hanya akan berfokus pada usul pertama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konsep imunitas untuk presiden (presidential immunity) menghadirkan perdebatan sepanjang masa. Imunitas di sini merujuk pada pribadi yang sedang menjabat presiden. Presiden mendapatkan kekebalan hukum dari kemungkinan gugatan perdata atau pidana. Berbeda dengan hak imunitas parlemen yang dijamin konstitusi Amerika, tidak ada aturan yang secara eksplisit memberikan hak imunitas kepada pribadi presiden. Namun, sudah menjadi kesepakatan dan konvensi ketatanegaraan, Presiden Amerika Serikat punya hak imunitas baik secara perdata maupun pidana atas tindakan kelembagaan (official acts) yang dilakukannya selama menjabat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam perjalanannya, konsep tindakan kepresidenan terus menghadirkan tafsir hukum yang berbeda-beda. Pada 1867, sebelum abad pertama umur sistem presidensial, dalam perkara Mississippi versus Johnson, Mahkamah Agung memutuskan bahwa Presiden Andrew Johnson tidak bisa digugat karena tindakan yang dilakukannya selama menjabat adalah diskresi. Setelahnya, tidak ada pengadilan yang berani menyentuh kekebalan pribadi Presiden Amerika sampai kemudian banyak perkara muncul melawan Presiden Richard Nixon (1969-1974).
Pada 1982, dalam perkara Nixon versus Fitzgerald, Mahkamah Agung terbelah dengan komposisi lima hakim berbanding empat dalam memutuskan presiden memiliki “kekebalan absolut” (absolute immunity). Artinya, presiden tidak bisa dituntut ataupun digugat secara pribadi atas tindakan apa pun yang dilakukannya saat ia menjabat presiden. Alasannya, lembaga kepresidenan memiliki keunikan, kekhususan berlandaskan tradisi konstitusi yang panjang, sehingga layak dilindungi secara konstitusional.
Meski demikian, putusan perkara Nixon juga memberikan batasan bahwa imunitas presiden hanya berlaku untuk tindakan dalam “batas luar” tanggung jawab resmi seorang presiden (“acts within the ‘outer perimeter’ of [the President’s] official responsibility”). Perhatikan, frasa yang dalam “batas luar”, bukan di “luar batas”. Artinya, jika presiden bertindak di luar batas resmi kepresidenannya, dia tidak lagi mempunyai kekebalan hukum pribadi. Dalam putusan Clinton versus Jones pada 1997, terkait dengan perkara pencemaran nama yang diajukan Paula Jones kepada Presiden Bill Clinton, Mahkamah Agung Amerika secara bulat memutuskan presiden tidak mendapatkan imunitas pribadi untuk gugatan perdata. Bahkan perkaranya tidak perlu ditunda menunggu berakhirnya masa jabatan.
Yang paling kontroversial dan menimbulkan perdebatan tentu kepresidenan Donald Trump. Sejak awal 2023, Trump menghadapi empat dakwaan di beberapa pengadilan, yaitu Mahkamah Agung New York; Pengadilan Distrik Florida; Pengadilan Distrik Washington, DC; dan Pengadilan Tinggi Georgia. Dari empat dakwaan itu, lahir 88 tuntutan. Itulah rekor perkara terbanyak yang dihadapi seseorang yang pernah menjadi Presiden Amerika.
Dari semua kasus itu, satu perkara sudah mencapai persidangan kasasi di Mahkamah Agung, mengenai keterlibatan Trump dalam serangan ke gedung parlemen pada 6 Januari 2021. Lebih dari tiga tahun kemudian, pada 6 Februari 2024, pengadilan Washington, DC, memutuskan bahwa Trump tidak memiliki kekebalan presiden dari tuntutan tersebut. Trump melawan dan mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung.
Pada 1 Juli 2024, dalam perkara Trump versus Amerika Serikat, dengan komposisi putusan enam berbanding tiga hakim, Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan DC dan menegaskan bahwa Trump memiliki kekebalan absolut untuk tindakan resminya selaku presiden yang secara tegas diatur dalam konstitusi, memiliki kekebalan tidak mutlak untuk tindakan resmi di dalam batas luar (outer perimeter) kepresidenannya, dan sama sekali tidak mempunyai kekebalan untuk tindakan tidak resmi. Namun Mahkamah Agung tidak langsung melakukan pemeriksaan perkara konkret dan memerintahkan pengadilan Washington memeriksa kembali perkara Trump yang akan dimulai lagi sidangnya pada 5 September 2024.
Dari perdebatan panjang imunitas kepresidenan yang terjadi di Amerika Serikat tersebut, kita bisa belajar beberapa hal:
Pertama, harus dipisahkan persoalan hukum presiden sebagai lembaga (institusional) dengan pribadi seseorang yang sedang menjabat presiden (personal). Sebagai lembaga (institusi), tindakan kepresidenan biasa digugat. Di Indonesia, terlalu banyak keputusan dan tindakan presiden digugat ke peradilan tata usaha negara.
Kedua, harus dibedakan antara perkara hukum yang menjerat presiden sebagai pribadi, yang bisa berkonsekuensi sanksi pidana atau perdata; dan perkara politik pemakzulan (impeachment), yang sanksi ketatanegaraannya adalah pemberhentian.
Ketiga, yang menjadi soal adalah tindakan seorang presiden membawa pertanggungjawaban hukum secara pribadi, baik secara perdata maupun pidana. Bagian ketiga inilah yang menghadirkan konsep imunitas personal seorang presiden.
Dari berbagai putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat di atas, dapat disimpulkan bahwa presiden sebagai institusi bisa digugat dan dimintai pertanggungjawaban. Namun presiden sebagai pribadi memiliki imunitas yang sifatnya terbatas, dengan beberapa kriteria, yaitu:
Satu, presiden mempunyai kekebalan hukum pribadi mutlak atas tindakan resmi kepresidenan yang kewenangannya dijamin oleh konstitusi. Dua, presiden mempunyai kekebalan praduga (presumptive immunity) tidak bersalah, sampai terbukti sebaliknya, atas tindakan resmi yang masih berada dalam batas luar kepresidenannya. Tiga, presiden tidak mempunyai kekebalan hukum pribadi atas tindakan yang dilakukannya sebelum (ataupun setelah) menjadi presiden atau di luar masa kepresidenannya. Empat, presiden tidak mempunyai kekebalan hukum apa pun atas segala tindakan pribadi alias tidak resminya (non-official acts) selama menjabat presiden.
Pengalaman Amerika, sebagai negara yang melahirkan sistem presidensial, harus menjadi pelajaran bagi Indonesia. Siapa pun, termasuk seorang presiden, tidak boleh kebal dari perkara hukum. Itulah asas mendasar dalam hukum, yaitu persamaan di hadapan hukum atau equality before the law.
Tentu saja seorang presiden harus dihormati kewibawaan dan muruah konstitusinya, dengan cara tidak terlalu mudah digugat perdata ataupun dituntut pidana. Apalagi dasar perkara hukumnya tidak ada, alias semata-mata sebagai serangan politik atau serangan atas pribadi presiden. Di sisi lain, jika seorang presiden menyalahgunakan kekuasaan, menabrak konstitusi, melakukan pengkhianatan terhadap negara, menerima suap, atau melakukan korupsi dan tindakan pidana berat lain, selain bisa dipecat (impeach), ia tidak bisa lepas dari gugatan hukum dan menggunakan konsep kekebalan kepresidenan.
Seorang presiden masih punya kekebalan hukum pribadi dalam hal bertindak di dalam batas luar kepresidenannya, tapi tidak boleh ada kekebalan hukum apa pun jika ia bertindak di luar batas etika-moralitas dan hukum, terlebih jika merusak konstitusi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo