Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
VONIS penjara sembilan tahun terhadap mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan, menunjukkan bagaimana keputusan bisnis pun rawan dipidana. Putusan tersebut bisa membuat para direktur di badan usaha milik negara ketar-ketir. Ada ancaman hukum di balik risiko bisnis yang mereka ambil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karen dihukum sembilan tahun penjara dan denda Rp 500 juta di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin, 25 Juni 2024. Hakim menganggap Direktur Utama Pertamina 2009-2014 tersebut merugikan keuangan negara sebesar US$ 113,83 juta (sekitar Rp 1,83 triliun) dalam pengadaan gas alam cair (LNG) dari Corpus Christi Liquefaction pada 2011-2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus ini bermula dari kerja sama Pertamina dengan Corpus Christi Liquefaction dari Amerika Serikat pada 2013 untuk mengimpor LNG selama 20 tahun. Kala itu krisis pasokan gas menyulitkan pelaku industri. Pemerintah pun memberi mandat kepada Pertamina untuk menyediakan gas melalui impor. Masalahnya, ketika pasokan gas Corpus mulai masuk pada 2019, permintaan gas dalam negeri tercukupi. Akibatnya, Pertamina menjual LNG impor itu dengan harga murah sehingga merugi.
Pertanyaannya, apakah kerugian tersebut menjadi indikasi adanya tindak pidana korupsi atau semata sebuah risiko bisnis? Dalam pertimbangan putusannya, hakim menilai Karen tidak menikmati hasil tindak pidana korupsi. Hal tersebut setidaknya mengindikasikan tak ada niat jahat atau mens rea Karen Agustiawan.
Pemidanaannya adalah alarm bagi para petinggi BUMN dalam mengambil keputusan. Pimpinan BUMN yang keliru membuat kalkulasi bisnis dan merugikan perusahaan bisa dibui. Kekhawatiran tersebut bisa membuat direksi BUMN enggan mengambil risiko. Padahal, risiko selalu mengintai dalam keputusan dalam bisnis apa pun. Dampak keengganan direksi BUMN mengambil risiko jelas bakal panjang. Pertumbuhan perusahaan pelat merah terancam jalan di tempat. Imbasnya, pergerakan ekonomi nasional bisa tersendat.
Semua itu bisa dihindari andai kata penegak hukum menerapkan doktrin business judgment rule (BJR). Aturan penilaian bisnis itu memberi jaminan hukum bagi jajaran direktur perusahaan, termasuk BUMN, untuk mengambil keputusan secara cermat, sekalipun pada akhirnya menimbulkan kerugian. Artinya, keputusan bisnis tidak bisa dipidana jika telah menerapkan prinsip kehati-hatian dan berdasarkan iktikad baik. Indikatornya adalah tidak adanya unsur kecurangan (fraud), benturan kepentingan (conflict of interest), perbuatan melawan hukum, dan kesalahan yang disengaja.
Indonesia telah mengadopsi doktrin BJR dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Doktrin ini pula yang sebelumnya membebaskan Karen dalam perkara lain pada Maret 2020. Dalam kasus dugaan korupsi investasi di Blok Basker Manta Gummy, Mahkamah Agung menilai tindakan Karen kala itu bukan urusan pidana, melainkan keputusan bisnis semata.
Pemidanaan keputusan bisnis juga rawan menjadi alat memukul lawan politik. Direksi BUMN yang tak sejalan dengan politikus yang berkuasa rawan dipidanakan dengan tuduhan salah mengambil keputusan bisnis. Jika sudah begitu, bisnis di Indonesia akan makin runyam.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Buruk Dampak Pemidanaan Karen"