Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sumber Dana Abadi Pendidikan

Banyak negara memanfaatkan penerimaan dari sektor sumber daya alam untuk dana abadi pendidikan dan riset. Bagaimana skemanya?

12 Februari 2025 | 06.00 WIB

Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko
material-symbols:fullscreenPerbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Penerimaan bersih dari ekstraksi sumber daya alam tak terbarukan haruslah diinvestasikan demi menjamin kesejahteraan lintas generasi.

  • Banyak contoh negara yang berhasil memanfaatkan sumber daya alam untuk mendukung riset dan pendidikan tinggi.

  • Di Indonesia, otonomi perguruan tinggi malah disalahartikan menjadi pelepasan tanggung jawab negara dalam pembiayaan perguruan tinggi.

PADA 2014, perkumpulan para ahli ekonomi sumber daya alam Amerika Serikat (Association of Environmental and Resource Economists/AERE) memberikan penghargaan tertinggi kepada seorang ekonom senior Kanada, John Hartwick. Penghargaan tersebut diberikan atas makalah Hartwick yang terbit pada 1977 di jurnal American Economic Review.

Dalam makalah itu, Hartwick melahirkan ide yang kemudian dikenal sebagai Hartwick Rule. Inti dari prinsip ekonomi Hartwick itu adalah penerimaan bersih (rent) dari ekstraksi sumber daya alam tak terbarukan haruslah diinvestasikan dalam bentuk aset lain, demi menjamin kesejahteraan lintas generasi. Karena relevansi dan dampak dari prinsip ini yang tak lekang oleh zaman, AERE menganugerahkan Publication of Enduring Quality Award kepada Hartwick.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Sudah banyak negara yang mengaplikasikan Hartwick Rule. Yang paling sering menjadi contoh klasik adalah Norwegia. Para pakar ekonomi sepakat kunci keberhasilan transformasi Norwegia menjadi salah satu negara paling sejahtera di dunia adalah kedisiplinan mereka mengkonversi penerimaan ekstraksi minyak dari Laut Utara menjadi aset bentuk lain, seperti saham, obligasi, dan dana pensiun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Prinsip Hartwick Rule juga banyak diterapkan dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan pendidikan tinggi. Tentunya, walaupun sifatnya tak kasatmata, modal manusia (human capital) dan kapasitas penguasaan ilmu pengetahuan merupakan aset yang tak kalah bernilai dibanding aset tradisional, seperti saham dan obligasi.

Banyak contoh negara yang berhasil memanfaatkan sumber daya alam untuk mendukung riset dan pendidikan tinggi. Negara Bagian Alaska di Amerika Serikat, misalnya, mempunyai Alaska Higher Education Investment Fund. Dalam skema ini, pemerintah setempat menggunakan dana dari pendapatan minyak negara untuk beasiswa dan hibah pendidikan tinggi. 

Di Negara Bagian Alberta, Kanada, ada Alberta Ingenuity Fund yang berfungsi mengalokasikan penerimaan dari ekstraksi minyak dan gas untuk mendanai riset dalam bidang sains dan teknologi serta pengembangan talenta. Cile juga mempunyai Becas Chile Program yang mengalokasikan dana dari pendapatan pertambangan tembaga untuk beasiswa studi tingkat lanjut bagi warganya. Demikian pula Venezuela yang memiliki program Mission Sucre, yang berfungsi memanfaatkan pendanaan dari minyak untuk memperluas akses pendidikan tinggi.

Negara-negara teluk yang kaya minyak juga mulai menyadari bahwa cadangan mereka lambat laun akan habis. Pelan-pelan mereka menerapkan prinsip Hartwick Rule dalam kebijakannya. Kuwait, misalnya, menginisiasi Kuwait Foundation for the Advancement of Sciences (KFAS). KFAS didanai dari kontribusi perusahaan minyak untuk mendukung riset ilmiah, pendidikan, dan inovasi. Sementara itu, Qatar menggadang-gadang Qatar National Research Fund menggunakan pendanaan dari gas alam untuk mendukung riset dan pengembangan pendidikan tinggi.

Ketika negara-negara kaya sumber daya alam mulai gencar membiayai sektor pendidikan dan riset, Indonesia justru tengah menghadapi kurangnya pendanaan untuk sektor pendidikan. Hal ini menyebabkan kinerja pendidikan tinggi kita masih jauh dari harapan.

Meskipun anggaran pendidikan kita telah memenuhi ketentuan 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi—sebelum dipecah menjadi Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi—hanya mengelola 15 persen (Rp 98,9 triliun) dari total anggaran pendidikan (Rp 665 triliun pada 2024). Untuk perguruan tinggi, alokasi pendanaannya bahkan hanya Rp 56,1 triliun, atau setara dengan 1,6 persen dari total APBN.

Kondisi di Indonesia

Penggunaan dana publik untuk menyokong perguruan tinggi merupakan hal yang lumrah di banyak negara maju. Data menunjukkan bahwa rata-rata negara anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menyediakan 66,5 persen pendanaan perguruan tinggi dari anggaran pemerintah. Sebaliknya, kontribusi pemerintah untuk pendanaan perguruan tinggi di Indonesia hanya 30-an persen, salah satu yang terendah menurut Bank Dunia. 

Hal ini jelas ironis karena, justru di negara Pancasila, otonomi perguruan tinggi malah disalahartikan menjadi pelepasan tanggung jawab negara dalam pembiayaan perguruan tinggi. Perguruan tinggi menjadi terjebak dalam liberalisasi dan komersialisasi. Akibatnya, kampus banyak melakukan berbagai aktivitas berorientasi profit yang melenceng jauh dari Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Tak mengejutkan apabila kinerja perguruan tinggi Indonesia terus terpuruk. Jumlah publikasi di jurnal terbaik dunia (1 persen terbaik) selama 20 tahun terakhir hanya mencapai 1.300 paper. Bandingkan dengan Cina yang mempublikasikan 148 ribu paper dan India sebanyak 15 ribu paper dalam kurun waktu yang sama. Bahkan para akademikus di Vietnam mampu mempublikasikan 1.500 paper. Jika jumlah ini dibandingkan dengan jumlah penduduk, justru lebih parah. Posisi Indonesia kian terpuruk karena Vietnam mempublikasikan 15 paper per satu 1 penduduk. Sedangkan Indonesia hanya 4 paper per 1 juta penduduk.

Lebih menyedihkan lagi, publikasi para peneliti dan dosen di Indonesia malah marak di jurnal-jurnal predator. Sebuah penelitian menempatkan Indonesia di posisi kedua dunia dalam proporsi jurnal-jurnal predator dalam total publikasi ilmiahnya. Hal ini tentu mencoreng nama baik Indonesia di mata kalangan dunia akademis internasional.

Dalam hal peringkat perguruan tinggi pun hampir tidak ada perguruan tinggi Indonesia yang masuk Top 1.000 World’s Universities 2025 yang disusun lembaga peringkat terkemuka Times Higher Education. Dalam daftar itu, Indonesia hanya punya satu perguruan tinggi, yakni Universitas Indonesia, yang menempati posisi ke-801. Sementara itu, dalam daftar yang sama, Cina punya 72 perguruan tinggi, India 44 perguruan tinggi, dan Malaysia 12 perguruan tinggi.

Terpuruknya kinerja perguruan tinggi, yang merupakan aktor utama dalam ekosistem riset dan ilmu pengetahuan, tentunya berkontribusi besar pada rendahnya inovasi di Indonesia. Analisis data dari World Intellectual Property Organization menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti pendidikan, perguruan tinggi, riset dan pengembangan, serta penciptaan, dampak, dan difusi pengetahuan menjadi penyebab terpuruknya Indonesia dalam peringkat Global Innovation Index. Ranking Indonesia jauh di bawah Cina, India, bahkan Vietnam.

Pada akhirnya, semua kondisi ini banyak menjelaskan mengapa kinerja pertumbuhan ekonomi kita tidak begitu optimal. Selama periode 2002-2022, pertumbuhan ekonomi kita hanya 4,8 persen per tahun. Bandingkan dengan Cina (7,8 persen), India (6,9 persen), dan Vietnam (7 persen). 

Pertumbuhan input (kombinasi tenaga kerja dan modal) Cina sebenarnya hanya 5,8 persen per tahun. Demikian juga India, yang input-nya hanya tumbuh 4,6 persen per tahun. Namun pertumbuhan output mereka bisa lebih cepat karena ada pertumbuhan produktivitas input sebesar 2 persen per tahun. Pertumbuhan produktivitas ini sebagian didorong oleh peningkatan penguasaan teknologi produksi melalui riset dalam sains dan teknologi.

Sementara itu, data Indonesia menunjukkan pertumbuhan produktivitas pada periode yang sama malah negatif -0,1 persen per tahun. Bukannya makin “pintar” dalam mengolah input, kita justru makin “tidak pintar” dalam mengolah input menjadi pertumbuhan ekonomi. Tanpa ada koreksi berarti, target pertumbuhan ekonomi 8 persen menghadapi tantangan berat.

Karena itu, perguruan tinggi di Indonesia yang kinerjanya buruk akibat kurang pendanaan (under-funded) harus segera dibangkitkan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah mendukung pendanaan melalui realokasi royalti sumber daya alam untuk mendukung perguruan tinggi melalui mekanisme bujeter atau earmarking.

Secara teoretis, hal ini koheren dengan prinsip Hartwick Rule. Secara empiris, hal ini juga sudah banyak dilakukan di negara-negara lain. Alokasi royalti sumber daya alam ini bisa ditampung dalam endowment fund dengan nama “Dana Abadi Sumber Daya Alam untuk Pengetahuan” atau “Resource for Knowledge (R4K) Fund”.

Dana abadi pendidikan ini nantinya bisa digunakan untuk berbagai kebutuhan perguruan tinggi. Beberapa hal yang mendesak, misalnya pembangunan infrastruktur penelitian, seperti laboratorium modern. Lalu pendanaan untuk mengurangi gap kualitas riset antarperguruan tinggi di daerah. Biaya kegiatan operasional kampus dan pendanaan pendidikan yang terarah juga bisa memanfaatkan dana ini.

Dengan adanya dana abadi pendidikan ini, manfaat sumber daya alam akan menjadi lebih merata dan secara inklusif dapat dinikmati oleh sebanyak-banyaknya perguruan tinggi di Indonesia. Perguruan tinggi pun akan lebih leluasa dan berfokus menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Pada saat yang sama, kampus dapat meminimalkan aktivitas komersial yang bukan kompetensi intinya. 

Upaya peningkatan kinerja perguruan tinggi Indonesia harus segera dilakukan jika kita ingin mencapai negara maju pada 2045. 

Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 7.500 karakter (termasuk spasi) dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Arief Anshory Yusuf

Arief Anshory Yusuf

Ketua Dewan Profesor Universitas Padjadjaran

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus