Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kondisi perekonomian Indonesia sebenarnya tengah mengalami masalah.
Di balik pertumbuhan ekonomi yang tinggi, terjadi penurunan kontribusi sektor manufaktur.
Strategi reindustrialisasi perlu menimbang penyerapan tenaga kerja lokal.
Bagong Suyanto
Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apakah Indonesia sedang mengalami deindustrialisasi atau baru ke arah sana hingga kini masih menjadi perdebatan di kalangan para pengamat. Yang jelas, kondisi perekonomian Indonesia tengah mengalami masalah. Di balik pertumbuhan ekonomi yang mampu bertahan tinggi di atas 5 persen selama tujuh triwulan berturut-turut, pada saat yang sama terjadi penurunan kontribusi sektor manufaktur ke produk domestik bruto (PDB).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2008, sumbangan sektor industri manufaktur terhadap PDB nasional masih 27,8 persen. Tapi, pada 2010, kontribusinya mulai turun menjadi 22 persen. Selama masa pandemi Covid-19, ketika kondisi ekonomi sedang goyah, peran sektor pengolahan semakin kecil menjadi 19,8 persen pada 2020 dan turun lagi menjadi 19,25 persen pada 2021. Pada 2022, sumbangan industri manufaktur tercatat sebesar 18,34 persen dan terakhir sebesar 18,25 persen pada triwulan II 2023.
Bagi Indonesia, penurunan sumbangan industri manufaktur terhadap PDB ini tentu perlu diantisipasi. Indikasi terjadinya deindustrialisasi tak hanya berdampak pada PDB, tapi juga berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja dan pengangguran. Walaupun arus investasi masih masuk, tapi investasi yang masuk umumnya belum sebanding dengan lapangan kerja yang tumbuh. Tingkat serapan tenaga kerja dari hasil investasi yang masuk terus menurun. Lapangan kerja memang tercipta, tapi tidak cukup banyak menyerap tenaga kerja yang antre dari hari ke hari untuk memperoleh pekerjaan.
Tantangan
Memang tidak selalu sebuah negara dikatakan tengah mengalami deindustrialisasi hanya karena sektor manufaktur mengalami penurunan kontribusi terhadap PDB. Namun penurunan itu merupakan lampu merah, sebuah peringatan. Mungkin benar bahwa pada 2045 nanti kontribusi sektor manufaktur diprediksi meningkat kembali menjadi 28 persen. Yang menjadi masalah, proses ke arah sana tentu bukan hal yang mudah. Apalagi situasi perekonomian global dan nasional diakui atau tidak sedang baik-baik saja.
Kalau melihat angka pertumbuhan ekonomi, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang mampu menjaga angka pertumbuhan ekonomi tetap tinggi, yakni di kisaran 5 persen. Inflasi di Indonesia, khususnya sejak 2016, juga selalu lebih rendah daripada angka pertumbuhan ekonomi. Namun, apakah arti angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu benar-benar didukung peningkatan produksi dan ekspor ataukah lebih banyak didukung faktor konsumsi? Apakah kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB berjalan paralel dengan meningkatnya penyerapan tenaga kerja?
Pertanyaan di atas perlu dikaji lebih mendalam. Jangan sampai terjadi pertumbuhan ekonomi yang membanggakan itu ternyata tidak didukung fondasi sosial-ekonomi yang kokoh. Di balik pertumbuhan ekonomi yang berhasil dicapai, jujur harus diakui bahwa sektor manufaktur sedang mengalami perlambatan. Ada sejumlah faktor yang perlu diantisipasi.
Pertama, berkaitan dengan angka pengangguran dan kemiskinan yang masih memprihatinkan. Ketika angka pertumbuhan ekonomi mampu dipertahankan tetap tinggi, tapi pada saat yang sama masih banyak pengangguran dan penduduk miskin, maka kesenjangan sosial akan semakin lebar. Secara absolut memang angka kemiskinan berhasil sedikit diturunkan pada 2023. Namun kesenjangan antarkelas ternyata justru semakin lebar. Ini berarti kesempatan berusaha masih berpihak kepada kelas menengah atas, sementara peluang penduduk miskin naik kelas masih menjadi masalah.
Kedua, pintu impor cenderung terlalu terbuka dan berisiko mengancam perkembangan sektor manufaktur. Di Indonesia, arus berbagai produk impor yang masuk cenderung makin deras dan menggerus pasar pelaku usaha nasional. Perkembangan sektor manufaktur nasional niscaya akan terancam ketika pasar mereka mulai digeser produk-produk impor, khususnya dari Cina, yang dari segi harga relatif lebih murah.
Ketiga, digitalisasi dalam dunia industri menyebabkan kebutuhan angkatan kerja mulai turun. Pesatnya perkembangan teknologi yang mendorong automasi dan digitalisasi, baik langsung maupun tidak langsung, menyebabkan sektor manufaktur yang padat karya tidak lagi mampu bertahan seperti dulu. Kehadiran mesin menyebabkan dunia usaha lebih memilih mengembangkan industri padat modal yang tidak membutuhkan tenaga kerja banyak sehingga bayang-bayang peningkatan pengangguran bisa dipastikan semakin jelas.
Keempat, tuntutan upah buruh yang terus meningkat masih menjadi persoalan bagi investor yang akan masuk. Dibanding sejumlah negara lain, bukan tidak mungkin tuntutan upah buruh menjadi kendala yang menghambat minat investor menanamkan modalnya di Indonesia.
Ketika Indonesia masih mampu bertahan karena ledakan dan kenaikan harga berbagai komoditas di tingkat global, persoalan ekonomi memang tidak terlalu menjadi masalah. Namun, terlena dan hanya mengandalkan ledakan harga komoditas itu sebetulnya menyebabkan perekonomian lebih banyak ditopang industri ekstraktif yang rapuh. Ketika ledakan itu mulai berakhir, fundamental ekonomi makro pun ikut terpuruk. Akibatnya, laju perkembangan industrialisasi di Tanah Air menjadi terhambat, kesenjangan sosial semakin lebar, angka pengangguran meningkat, dan ujung-ujungnya akan berpotensi mengancam stabilitas perekonomian nasional.
Dilema
Untuk mendorong kembali industrialisasi yang kuat yang menopang upaya pemulihan ekonomi, Indonesia mau tidak mau harus menimbang kondisi masyarakat. Kebijakan reindustrialisasi yang dikembangkan harus bertumpu pada pengembangan sektor yang memiliki nilai tambah tinggi, berorientasi ekspor, dan mampu menyerap banyak tenaga kerja lokal.
Strategi reindustrialisasi itu, harus diakui, bersifat dilematis. Di satu sisi, jika ingin tumbuh kuat, Indonesia harus mendorong perkembangan industri yang kompetitif dan bertumpu pada digitalisasi dan otomatisasi yang bersifat padat modal. Di sisi lain, ketika harus memilih industri padat modal, daya serap tenaga kerja lokal niscaya akan berkurang sehingga berpotensi menambah panjang daftar angka pengangguran.
Proses transformasi digital yang menjadi platform perkembangan industri di Indonesia, bagaimanapun, harus dilakukan selektif dan hati-hati. Perkembangan teknologi yang semakin pesat serta tren digitalisasi dan automasi yang mendukung perkembangan sektor manufaktur akan menjadi tantangan tersendiri. Sekadar mengejar produktivitas dan efisiensi niscaya akan berpotensi menyebabkan kemiskinan kembali meningkat dan kesenjangan sosial semakin lebar. Pada titik ini, pemerintah dituntut mengembangkan kebijakan dan kearifan agar industrialisasi yang dikembangkan tidak mematikan potensi ekonomi masyarakat lokal karena tidak berempati terhadap profil sosio-kultural masyarakat.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo