Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Demokrasi

Diakui atau tidak demokrasi di dunia ketiga, dalam melindungi hak-hak rakyat belum baik ketimbang di dunia barat. mahasiswa & penduduk bersimbah darah di tiananmen, cina, karena menuntut demokrasi.

10 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA yang meminta demokrasi -- dan bersedia untuk mati itu -- dari manakah mereka menangkap ilham? Orang bisa mengatakan bahwa ilham itu datang dari rongga kepada sejumlah mahasiwa, yang jadi menggelembung karena terlalu banyak membaca buku asing. Atau orang bisa menduga bahwa inspirasi itu timbul dari gairah dari sejumlah anak muda, yang ingin hidup nyaman dan manja dan tak diawasi. Siapa tahu? Setidaknya di Cina atau di Cili, di Iran atau di Indonesia, di Singapura atau di Korea, selalu ada orang-orang yang, dengan cemas atau pun gemas, memandang anak-anak muda yang meminta demokrasi: "Kalian mau kebebasan? Kalian mau Barat? Mau imitasi?" Dan kecaman pun ditembakkan, atau tentara dikirim, bayonet dihunus dan peluru dilepaskan,seperti yang kemarin dulu di Tiananmen tiu, hingga ratusan anak muda mati dengan darah yang membasuh Kota Beijing. Kita kaget. Kita sedih. Kita tak menduga bahwa pembantaian macam itu bisa terjadi. Tapi sebenarnya ada yang sudah lama mendekam dibiliknya. Dan itu adalah sesuatu yang tak kalah gencarnyadengan peluru: penegasan berkali-kali, untuk menyakini Dunia Ketiga punya demokrasi yang lain. Di Indonesia, misalnya, Presiden Soekarnopernah berpidato menyerukan,"Indonesia, pilihlah demokrasimu yang sejati!" Dengan kata lain, Dunia Ketiga harus menawarkan alternatif yang lebih baik dari akar-akarnya sendiri. Sebenarnya memang patut demikian. Namun, barangkali abad ke-20 akan ditutup dengan kekecewaan, bahwa demokrasi yang orsinil itu, dengan gaya tersendiri itu -- sebuah alternatif yang baik, yang diharapkan itu -- ternyata sulit benar ditemukan. Diakui atau tidak, demokrasi di Dunia Ketiga, dalam melindungi hak rakyat dari kesewenang-wenagan, belum lebih baik ketimbang demokrasi yang ada di negeri Barat. Cita-cita luhur yang semuladengan cepat terasa terlampau tinggi. Untuk menjangkaunya orang Khawatir bisa terjerembab. Lihatlah di Cina. Ketika RRC didirikan oleh Mao dari puing-puing Cina yang lama, sebuah konstitusi disusun dan selesai ditahun 1054. Didalamnya dicantumkan dengan cemerlang 19 pasal yang menjamin hak-hak sipil. Ada hak merahasiakan surat-menyurat pribadi. Ada kebebasan memilih tempat tinggal. Ada kemerdekaan warga negara untuk"melakukan penelitian ilmiah dan sastra, karya kreatif, dan kegiatan kultural". Tapi dengan segera jelas bahwa di Cina baru itu, mereka berkuasa tak bisa mempertahankanya. Di tahun 1975, konstitusi itu pun diubah. Ke-19 pasal menjamin hak-hak sipil dipotong jadi tinggal empat. Sebuah pasal, yang menjamin bahwa tak seorang warga negara pun dapat ditahan tanpa keputusan pengadilan, diganti dengan pasal lain yang mengesahkan penahanan siapa saja oleh polisi. Dan pelan-pelan, setiap kata"kebebasan" pun terdengar subversif. Simon Leys, dalam esai-esainya tentang Mao dan Cina yang dikumpulkannya dalam Broken Images, bahkan menyebut dokumen konstitusi 1954 itu kemudian disingkirkan sendiri oleh pemerintah sebagai semacam dokumen haram. Apa pun yang mengingatkan rakyat akan hak-hak mereka yang hilang harus dihindari. Bahkan di dalam kamp tahanan RRC, lagu revolusi komonisme dunia yang terkenal itu juga dilarang dinyanyikan: salah satu baris Internationale itu berbunyi,"Bangunlah, kaum yang terhina..." -- dan itu terasa menghasut. Frustasi yang terhimpun di tengah jarak antar cita-cita luhur revolusi dan kemacetan proses demokrasi itulah yang kemudian mendekam dan menimbulkan ketegangan. Tiananmen telah menyaksikannya dengan darah. Tapi khilaf besar untukmengatakan bahwa ilham demokrasi hanya bisa datang lewat kepala mahasiswa dan buku asingnya. Keinginan untuk demokrasi bagaimanapun tak cuma dilihat dari atas. Ia harus dilihat dari bawah: dari posisi cacing yang terinjak, dengan gerak yang selalu diawasi, dengan kata-kata yang selalu dikekang. Di tahun 1904 Leon Trotsky mengkritik satu risalah Lenin yang menganjurkan berdirinya satu partai kaum revolusiner sebelum revolusi dimulai, karena Lenin tak percaya pembangkangan rakyat yang spotan. Dalam kritinya, Trotsky mengkhawatirkan bahwa dari partai semacam itu, yang berintikan kader pilihan, akhirnya akan lahir kediktatoran. Trotsky kemudian terbukti benar. Tapi toh ketika ia bersama Lenin memenangkan revolusi Rusia, ia tahu manfaatnya kediktatoran itu. Para buruh dan kelasi berontak di Benteng Kronstradt di awal 1920-an. Trotsky pun mengancam,"Kalian akan ditembaki seperti itik." Dan itulah yang dilakukanya: Tentara Merah datang dan menembaki para buruh dan kelasi itu seperti mereka menembaki itik yang tak bisa jauh terbang. Darah di Tiananmen nampaknya adalah darah baru dari satu tema yang lama.Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum