TAMPAKNYA, Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama (RUU-PA), yang disampaikan pemerintah ke DPR Januari lalu, akan segera dibicarakan di DPR. Di tingkat fraksi, kelihatannya beberapa perbedaan pendapat sudah bisa diselaraskan. Misalnya saja sikap F-ABRI. "Fraksi ABRI menerima keterangan pemerintah tentang RUU itu. Namun, dalam beberapa hal kami perlukan penjelasan. Kami juga punya beberapa usul untuk penyempurnaan RUU itu," ujar Sundoro Syamsuri, juru bicara fraksi itu, kepada TEMPO. Beberapa hal yang akan dipertanyakan itu, seperti dikatakan sendiri oleh Sundoro, tak ada yang menyangkut hal yang prinsipiil, melainkan cuma soal-soal kecil dan administratif sifatnya. Fraksi yang menjadi stabilisator dan dinamisator ini juga mencoba menjawab beberapa hal yang menjadi ganjalan setelah meneliti RUU. "Setelah kami kaji, kami menganggap bahwa RUU itu tidak menjurus pada pelaksanaan 'Piagam Jakarta'," kata juru bicara F-ABRI itu. Begitu pula F-PDI. "Semua kekuatan organisasi politik mendukung kepemimpinan Soeharto. Berarti RUU-PA produk dari kepemimpinan nasional tersebut harus pula didukung, juga oleh PDI," ujar Djupri, ketua tim yang dibentuk F-PDI untuk RUU-PA. Djupri menolak pendapat yang mengatakan, sebagai konsekuensi adanya RUU-PA yang khusus untuk umat Islam, perlu ada RUU peradilan khusus untuk umat Kristen atau Katolik. Karena, menurut sarjana hukum ini, sejak zaman Belanda sudah ada BW (Burgerlijk Wetboek) alias kitab undang-undang hukum perdata yang sekarang masih berlaku. PDI kelihatannya paling aktif menghadapi RUU-PA. Sejak 22 Mei lalu, fraksi ini melakukan acara dengar pendapat dengan sejumlah tokoh masyarakat dan pakar hukum. Di antaranya dengan bekas Ketua Mahkamah Agung Oemar Senoadji, Padmo Wahjono, dan terakhir, Sabtu pekan lalu, dengan Ketua Ikatan Hakim Agama Muhammad Daud Ali. Di F-PP suasananya justru tenang. Tak terdengar kegiatan serupa di tubuh fraksi itu. Ada yang bilang, partai hasil fusi eks partai Islam ini lebih sibuk mengurusi masalah intern, menjelang muktamar Agustus mendatang. Tapi F-PP mendukung RUU. Kata Sukardi Effendi, ketua tim pembahasan RUU-PA dari F-PP, "Kami tak lagi mempersoalkan eksistensi RUU itu," katanya. Yang kelihatannya sibuk setor pendapat adalah di tubuh F-KP. Kecuali ada perbedaan pendapat yang cukup tajam, ada masalah yang sempat diramaikan, yaitu beredarnya makalah intern yang seolah menuding RUU itu sebagai pelaksanaan "Piagam Jakarta". Soal ini memang sudah diselesaikan secara intern, dan konon makalah itu dianggap tak pernah ada. F-KP kelihatannya akan siap membicarakan RUU itu dengan "melupakan beda pendapat" sebelumnya. Hal ini dicapai dalam pertemuan antara DPP Golkar dan F-KP di kantor organisasi itu di bilangan Slipi, Jakarta, Rabu pekan lalu. Dalam pertemuan yang dipimpin Ketua Umum Golkar Wahono, dan dihadiri oleh Ketua F-KP Soeharto, bisa disimpulkan bahwa F-KP tak lagi mempersoalkan eksistensi RUU. Yang muncul kini daftar inventarisasi masalah (DIM) menyangkut berbagai materi dalam RUU yang dianggap pcrlu diperbaiki. Kabarnya, FKP sudah mencatat 14 point dari RUU yang dimasukkan DIM. Antara lain tentang rumusan wewenang pengadilan agama (pasal 49) (TEMPO, 3 Juni 1989). Juga dipersoalkan kata Bismillahirrohmanirrohim yang digunakan untuk mengawali setiap keputusan dan ketetapan pengadilan agama. FKP juga mempersoalkan ketentuan yang menyebutkan hakim, panitera, dan juru sita harus beragama Islam. Masalah ini sudah muncul dalam pertemuan tertutup antara F-KP dan Menteri Agama Munawir Sjadzali, di Departemen Agama, Jumat malam pekan lalu.Amran Nasution, Yopie Hidayat, Rustam F. Mandayun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini