PERNYATAAN Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Akbar Tandjung, bahwa pemerintah akan mengirim sekitar 4.000 sarjana ke desa, ternyata bergaung kencang di telinga alumni berbagai perguruan tinggi. Di Yogyakarta, minggu lalu, bahkan sudah ada peminat mendaftarkan diri di kantor Kanwil P dan K. "Hanya saja, kami belum bisa menerima mereka, karena masih menunggu petunjuk dari Pusat," kata Sarwadi, staf Kanwil P dan K Yogyakarta. Pendaftaran peminat, yang akan dilakukan di semua kantor Kanwil P dan K, kabarnya baru dibuka akhir Juni ini. Tak heran bila banyak sarjana berminat mengikuti program yang diberi nama Sarjana Penggerak Pembangunan Pedesaan (SP3) itu. Soalnya, banyak lulusan perguruan tinggi yang tak mendapat lapangan pekerjaan. Tahun lalu, dalam catatan Departemen Tenaga Kerja, terdaftar sekitar 25.000 sarjana yang mendaftarkan diri mencari kerja. Belum terhitung mereka yang tak mendaftarkan diri ke Depnaker. Padahal, dari 25.000 pendaftar itu, yang bisa dipekerjakan cuma sekitar 4.500 sarjana. Program SP3 ini bisa diikuti oleh sarjana semua jurusan, asalkan bertubuh sehat, belum menikah, usia tak lebih dari 30 tahun, tak punya ikatan dinas dengan instansi lain, dan sanggup ditempatkan di desa selama dua tahun. Untuk tahap permulaan, tahun ini, peserta program SP3 yang akan dikirim ke semua kecamatan di Indonesia baru sekitar 800 orang. Jumlah 4.000 itu, menurut Akbar, adalah total pengiriman dalam Pelita V. Karena itu, hanya mereka yang lulus seleksi, setelah dikursus selama sebulan, yang bakal diterjunkan ke berbagai desa. Selama di desa, yang penempatannya mulai sekitar Agustus atau September depan, para sarjana yang ditugasi menggerakkan pembangunan di daerah terpencil itu akan memperoleh honorarium Rp 70.000 per bulan. Dan mereka berada di bawah koordinasi kepala desa. Sekalipun peserta program SP3 mendapat honorarium dari pemerintah, status mereka, seperti ditegaskan Akbar, bukan pegawai negeri. "Tugas mereka. adalah menciptakan lapangan kerja untuk diri sendiri, dan diharapkan bisa memberi kesempatan kerja pada penduduk desa," kata Akbar. Kalau menurut mereka, setelah menginventarisasikan potensi desa bersangkutan, di sana cocok dikembangkan peternakan ayam, mereka boleh saja jadi peternak ayam. Kalau di daerah itu lebih cocok ditanami cengkih, silakan saja jadi petani cengkih. Karena itu, pemerintah, selain memberikan honor tetap selama dua tahun, merencanakan pula untuk memberi modal kerja kepada peserta program SP3 tersebut sekitar Rp 250.000. Uang untuk honor dan modal kerja yang direncanakan itu berasal dari dana APBN. Selama ditempatkan di desa, semua kegiatan peserta program SP3 ini akan dimonitor oleh kelompok kerja yang ada di kabupaten maupun di provinsi. Bila diketahui ada yang melanggar ketentuan, ia akan diberhentikan. Misalnya? "Bila ketahuan dia tak tinggal di desa, atau cuma bermalas-malasan saja, yang bersangkutan terpaksa ditarik," ujar Akbar. Maka, sebelum dikirim ke desa, peserta program SP3 akan menandatangani semacam kontrak kerja. Tidakkah program ini sama saja dengan program TKS BUTSI (juga penempatan sarjana di desa) yang gagal itu? "Sama dalam arti mereka sebagai pekerja sosial," kata Direktur Pembinaan Generasi Muda Departemen P dan K, Nasrun Azhar, yang menangani langsung program SP3. Bedanya: SP3 diberi honorarium yang layak untuk hidup di desa, diberi modal kerja untuk proyek pilihan sendiri, dan, "Mereka tidak diberi janji jadi pegawai negeri," tambah Nasrun. Konon, salah satu penyebab gagalnya program BUTSI dulu adalah adanya iming-iming jadi pegawai negeri bagi peserta program. Bagi sejumlah lulusan perguruan tinggi di Kalimantan Selatan, program SP3 ini bukan barang baru. Provinsi ini sudah lama menjalankan program yang mirip program SP3. Juni tahun lalu, misalnya, Pemda Kalimantan Selatan, yang bekerja sama dengan Lembaga Bina Potensia, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat di sana, telah mengirim 93 sarjana ke sejumlah desa di provinsi itu. Tapi mereka yang bertahan tinggal 64 orang. Di antara mereka yang bertahan bahkan ada yang mulai berhasil. Dengan modal kerja Rp 250.000 per orang, kredit dari Pemda, di antara mereka ada yang jadi tukang jahit pakaian, peternak ayam, dan peternak ikan bandeng. Bahkan seorang di antara mereka -- bak kisah di sebuah film cerita TVRI -- berhasil menggaet putri seorang kepala desa. Tentang mereka yang kembali ke kota, dalam pemantauan yang dilakukan Pemda, ada yang semula berharap menjadi pegawai negeri, ada yang tak tahan hidup di desa dengan honorarium sebesar Rp 50.000 per bulan, ada yang mengaku menderita karena sulitnya air bersih, dan ada pula lantaran bentrok dengan kepala desa. Sebuah pengalaman yang patut dibaca pelamar program SP3.Amran Nasution, Tri Budianto Soekarno, Riza Sofyat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini