PARA penghayat demokrasi di Indonesia, di saat-saat sunyi menjelang tidur, sering tertawa-tawa sendiri. Tingkat kepelikan proses demokratisasi pada kehidupan bangsanya sudah melampaui puncak kepusingan ilmiah dan kegetiran nurani, sehingga tahap yang terjadi kemudian adalah perlunya kesanggupan untuk mengkomedikannya -- agar jiwa tetap plastis, pikiran kembali jernih, dan tenaga tidak berputus asa. Para pejuang demokrasi di negeri ini air matanya habis terkuras oleh tangis dan tertawa geli berkepanjangan. Mereka berdomisili di rumah hantu yang lorong-lorongnya gelap, berliku-liku, dan hampir selalu buntu ujungnya. Kalaupun tak buntu, mereka kaget karena langkahnya ternyata tiba kembali di tempat yang itu-itu juga. Proses demokratisasi di negeri ini jalannya licin. Maka, hati-hatilah, jangan sampai terpeleset. Kalau sekadar terpeleset sedikit dan lumpur mengotori celana dan bajumu dengan tulisan "pembangkang", "dissident", "wts" (waton suloyo), "layak cekal", atau apalagi sekadar "orang cemburu sosial", masih lumayan. Tapi kalau karena terpeleset sampai kaki politikmu terserimpung, tangan ekonomimu terkilir atau bahkan kepala sejarahmu gegar otak, celakalah engkau. Mungkin itulah sebabnya banyak orang menunggu pensiun dulu untuk memperjuangkan demokrasi. Para penghayat dan pejuang demokrasi di negeri ini tak sekadar harus berkepribadian tahan banting, berwatak ayam kampung yang merdeka dan eksploratif, serta memiliki plastisitas kesaktian yang memungkinkannya tetap tegar sesudah terjepit, tertindih, dan tercampak. Mereka harus memperhitungkan momentum sejarah secara tepat, dengan melontarkan isu demokrasi untuk suatu "zikir zaman". Agar makin banyak orang mengingat-ingat demokrasi. Agar alam pikiran demokrasi menjadi bagian dari iklim. Para penghayat dan pejuang demokrasi, dengan segala kekurangan dan keterjebakannya sendiri oleh ekspresi yang mungkin justru tidak demokratis, selalu dibutuhkan oleh setiap cita-cita peradaban yang sehat dan dewasa. Penghayatan dan perjuangan demokrasi dilarang oleh Tuhan untuk disetop, karena hanya dengan melalui "terminal" demokrasi sebuah bangsa bisa melanjutkan perjalanannya menuju nilai kebenaran yang lebih tinggi. Betapa mulia demokrasi, sehingga para penghayatnya mengerti bahwa ia bukan segala-galanya. Kebanyakan kaum penguasa terjebak dalam dimensi benere dhewe (benarnya sendiri). Lahirlah otoritarianisme, subyektivisme monopoli, dan kesepihakan. Kita tahu betapa mahal ongkosnya, berapa juta orang menderita, dimiskinkan, dihukum tanpa kesalahan, dibodohkan, diambangkan nasibnya. Aspirasi ide demokrasi memancar ketika orang menapaki dimensi yang lebih tinggi, benere wong akeh (benarnya orang banyak). Lahirlah pemimpin, yang sama sekali tak bisa dipersamakan dengan penguasa atau pemerintah. Pemimpin mengunggulkan kebenaran milik orang banyak dan menomorduakan kepentingan diri atau golongannya sendiri. Pada level aspirasi inilah national concern ditanamkan, undang-undang dan konstitusi dirakit, dan segala tata etik dan birokrasi disusun. Betapa luhur kesediaan kita semua untuk bergabung dalam suatu integrasi nasional, kita "bersembahyang" mengabdi kepada kebenaran nasional, kebenaran orang banyak. Tapi seandainya pun tata kenegaraan dan tata kebangsaan pada level itu telah sepenuhnya bisa kita terapkan, kita semua tahu bahwa itu bukan jaminan. Di negeri-negeri yang demokrasinya sukses pun, anggota masyarakatnya ternyata memerlukan dimensi lain yang lebih tinggi, lebih mendalam, dan sejati. Kemerdekaan dan hak asasi adalah senjata utama peradaban yang dewasa. Maka, terminal berikutnya yang selayaknya dipelajari oleh naluri setiap manusia, oleh lembaga-lembaga ilmu, oleh akal budi dan sistem-sistem sejarah, adalah bener sing sejati (kebenaran yang sejati). Ia membutuhkan bukan hanya kerendahhatian, keterbukaan, inovasi, dan rasa belum tahu terusmenerus. Tapi juga kebenaran untuk menyongsong kelahiran baru, kesadaran universalitas yang menjadi persawahan utama bagi setiap tanduran demokrasi. Namun, kesadaran universalitas ini pun bisa menjebak penghayat demokrasi dalam proses perjuangannya. Ia membayangkan suatu padang amat luas bertepikan horison, tanpa sekat-sekat. Padahal, demokrasi adalah kedewasaan pergaulan antarpenghuni sekat-sekat. Persoalannya bukan bagaimana membongkar sekat-sekat, melainkan bagaimana memperjuangkan kesadaran dan kesepakatan agar pada setiap dinding sekat itu dibuat "pintu-pintu butulan" untuk saling mempergaulkan kasih dan kedewasaan. Agar angin segar demokrasi terdistribusi ke seluruh ruangan. Ketika seorang pejuang demokrasi melontarkan isu " sektarianisme", secara ilmiah ia terjebak pada rekomendasi penyeragaman. Dan apabila hal itu dibarengi dengan ketidaksabaran menyaksikan sekat-sekat, sehingga menumbuhkan subyektivisme dan kesepihakan tersendiri, maka lontaran "Kamu sektarianistik!" bisa bernuansa sama dengan ketika pihak lain melontarkan kutukan-kutukan "Dissident", "Kafir!", "Tidak Islami!" "Anti-Pancasila!", dan seterusnya. Para penghayat dan pejuang demokrasi adalah orang-orang mulia yang diberi kesempatan oleh Allah melalui pilihan perjuangannya untuk senantiasa belajar tidak berkata, "Kalau kamu tidak ikut demokrasi, awas! Nanti saya kutuk! Tidak saya tegur!" Mereka berperang melawan ringkihnya infrastruktur budaya dan mentalitas masyarakatnya untuk sanggup menanam dan menyirami tetumbuhan demokrasi. Itu lebih dahsyat dibanding hardware subyektivisme kekuasaan yang juga merupakan kendala berlangsungnya demokrasi. Betapa panjang dan licin perjalanan para penghayat dan pejuang demokrasi itu. Ia bisa terpeleset-peleset. Akan tetapi tetaplah kita mengerti betapa mulia para penghayat dan pejuang demokrasi. Ketika Forum Demokrasi dicetuskan, saya melonjak-lonjak seperti anak kecil. Saya merasa tiba-tiba berada di sebuah negara demokrasi. Kemudian saya omong sebebas-bebasnya, meski kemudian insaf kembali untuk tetap memelihara kepandaian menjahit mulut saya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini