Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BETAPA timpang keputusan dua pengadilan di Jawa Tengah ini. Nenek Minah dari Dusun Sidoharjo, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, dihukum penjara 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan tiga bulan oleh hakim Pengadilan Negeri Purwokerto. Dia dinyatakan bersalah mencuri tiga buah kakao. Pada 2005, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Tengah periode 1999 2004, Mardijo, didakwa Pengadilan Negeri Semarang "mencuri" uang anggaran belanja daerah Rp 14,8 miliar. Dia dihukum setahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.
Perkara berbeda, tapi substansi dua kasus itu sama: tindakan mencuri. Mengambil tanpa izin tiga buah kakao bernilai Rp 2.100 dihukum 45 hari kurungan dengan percobaan tiga bulan. Tapi merugikan negara Rp 14,8 miliar hanya diganjar satu tahun penjara dengan percobaan dua tahun. Betapa jauh jarak hukum dan keadilan dengan orang orang kecil.
Ketidakadilan sudah terjadi sejak awal. Minah, 55 tahun, seorang petani miskin, memetik tiga buah kakao dari perkebunan PT Rumpun Sari Antan 4, di Desa Darmakradenan, untuk bibit. Perempuan buta huruf itu tak bisa membaca pengumuman yang melarang siapa pun memetik kakao tanpa izin. Dia meminta maaf lalu mengembalikan tiga buah kakao senilai Rp 2.100 itu. Tapi pihak Rumpun Sari tetap melaporkan Minah ke Kepolisian Resor Banyumas. Kasus ini terus diproses, Minah bahkan sempat dikenai status tahanan rumah.
Vonis bagi perempuan yang tak mampu membayar ongkos transpor ke pengadilan itu sesungguhnya merupakan tragedi dalam penegakan hukum kita. Sebab, sejumlah fakta dalam kasus ini dengan benderang menunjukkan setidaknya dua ironi besar. Pertama, mesin hukum bekerja begitu trengginas dalam menjerat orang kecil. Polisi, jaksa, dan hakim hanya perlu waktu dua bulan lebih untuk membereskan kasus ini. Tapi banyak pelaku korupsi miliaran rupiah tetap bebas merdeka selama bertahun tahun karena polisi "sulit" mencari bukti.
Kedua, hukum ditegakkan dalam bentuknya yang paling kaku, arogan, hitam putih. Jaksa menjerat Minah dengan Pasal 362 Kitab Undang Undang Hukum Pidana tentang Pencurian-ancaman pidananya bisa mencapai lima tahun penjara. Sangat disesalkan, jaksa tak menggunakan haknya menolak kasus ini dengan alasan tak layak diteruskan, kendati ada fakta barang bukti dan saksi.
Dalam konteks inilah, peran penegak hukum seharusnya berjalan: tidak semata melihat fakta, tapi menimbang serta latar belakang peristiwa dan unsur kemanusiaan. Benar bahwa jaksa "sekadar" melanjutkan kerja polisi. Tapi alasan kepolisian Banyumas bahwa kasus ini tak dihentikan karena PT Rumpun Asri minta tetap diteruskan benar benar tak masuk akal dan terasa polisi sangat berpihak kepada pengusaha. Selain kasus ini amat kecil-bernilai Rp 2.100-ada jalan damai yang dengan mudah bisa diupayakan. Lagi pula Minah sudah minta maaf dan mengembalikan tiga buah kakao itu.
Sebetulnya, masih ada jalan terakhir bagi Minah mendapat keadilan: di pengadilan. Kita tahu, hakim punya kewenangan yang tak bisa diganggu gugat. Sungguh sulit dipahami bila hakim ternyata tidak membebaskan Minah demi rasa keadilan dan kemanusiaan.
Dengan tiga buah kakao yang sudah dikembalikan itu, Minah tak pantas disidangkan, apalagi dihukum-walaupun hanya hukuman percobaan. Yang paling menyesakkan, kita lagi lagi dipaksa menyaksikan "pertunjukan" itu: kisah penegak hukum yang untuk kesekian kali memilih tak berpihak pada keadilan dan mereka yang lemah. n
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo