Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENCEGAH penyakit memang lebih baik daripada mengobati. Tapi, ketika jatuh korban dalam upaya pencegahan, pasti ada yang salah pada tahap preventif itu. Kisah tewasnya delapan orang setelah menelan obat antifilariasis di Kabupaten Bandung membuktikan ada yang keliru pada tahap pencegahan itu. Apalagi, pada waktu hampir bersamaan, seratus orang lain menderita mual, muntah, disertai pusing akut.
Departemen Kesehatan wajib meneliti penyebabnya. Keterangan Komite Ahli Pengobatan Filariasis, yang mendapat tugas menginvestigasi kasus ini, bahwa korban sakit dan meninggal bukan akibat obat antifilariasis, belum bisa diterima sebagai kebenaran. Walaupun Komite yakin obat yang dibagikan—diethyl carbamazine citrate, albendazol, serta parasetamol—dijamin aman, penelitian lebih jauh tetap diperlukan.
Malah keterangan Komite hanya menunjukkan sikap defensif, dan itu tidak memperbaiki keadaan. Penderita tetap sakit, wabah filariasis pun tak kunjung hilang. Evaluasi dan perbaikan perlu segera dilakukan. Di masa mendatang, pencegahan penyakit kaki gajah tidak boleh lagi memakan korban.
Mestilah dipahami, semua obat yang mengandung bahan kimia pasti mengakibatkan efek samping. Ada obat yang tak bisa dikonsumsi pada saat bersamaan dengan yang lain karena menghasilkan efek buruk pada kesehatan. Apabila penderita mengidap penyakit bawaan, seperti diabetes, sakit jantung, tekanan darah tinggi, alergi, dan asma, pemberian obat lain sangat perlu dilakukan dengan konsultasi dokter.
Memeriksa kondisi masyarakat merupakan tugas aparat kesehatan di lapangan. Petugas mesti memastikan masyarakat mendapat penjelasan tentang efek samping obat antikaki gajah, seperti mual, muntah, atau pusing. Orang orang desa itu jangan cuma diberi pesan: makan dulu, sebelum minum obat. Rakyat desa harus tahu persis bahwa obat antikaki gajah tidak boleh dikonsumsi anak berusia di bawah dua tahun, ibu hamil dan menyusui, penderita sakit jantung, diabetes, darah tinggi, dan alergi tertentu, orang sakit berat, serta balita dengan gizi buruk.
Pencegahan perlu dilakukan semaksimal mungkin. Sebab, Indonesia tergolong negara dengan pengidap filariasis yang besar di dunia. Ada 316 dari 471 kabupaten/kota yang menjadi tempat penyebaran filariasis. Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi termasuk di antaranya. Bila tidak dilakukan pencegahan dan pengobatan massal, akan ada sekitar 40 juta penderita filariasis di masa mendatang. Penderita akan menjadi sumber penular bagi 125 juta penduduk yang menghuni 316 kabupaten/kota itu. Bila benar terjadi, itulah tragedi terbesar di republik ini.
Memberantas penyakit orang miskin ini merupakan kewajiban pemerintah. Mereka yang tak mampu hidup dengan gizi baik dan minim akses kesehatan lebih berpotensi terkena filariasis. Badan Kesehatan Dunia (WHO) pun memasukkan penyakit ini sebagai neglected tropical diseases, penyakit tropis yang muncul dan berkembang akibat kemiskinan penduduk.
Indonesia mestilah menyelaraskan diri dengan program WHO yang mencanangkan dunia bebas filariasis pada 2020. Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, yang sudah merancang program peningkatan kualitas kesehatan warga miskin, bisa memasukkan pemberantasan filariasis sebagai indikator sukses departemen dalam menjalankan programnya.
Kerja besar Menteri Kesehatan itu bisa dimulai dari perbaikan prosedur pencegahan filariasis, agar jatuhnya korban tewas tak terulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo