PERUSAHAAN kereta api nasional Jepang, yang rugi US$ 20 juta tiap hari, sudah ditawarkan pemerintah Jepang untuk dijual kepada swasta. Siapa yang mau beli? Tapi ini tak menghalangi pemerintah Jepang untuk, sebentar lagi, menjual miliknya yang lain: sahamnya di JAL dan di perusahaan telkomnya. Pemerintah Brasil, dalam pada itu, sudah menjual 20 perusahaannya dan dalam waktu dekat 100 perusahaan yang lain diharap akan laku dibeli swasta. Pemerintah Cili juga sudah melego 20 dari 300 perusahaan yang dimilikinya. Sisanya menyusul. Bahkan perangsang diberikan kepada yang membeli sahamnya: pendapatan kena pajaknya bisa dikurangi 20% nilai saham yang dibelinya, di samping pembayaran sahamnya juga bisa dicicil. Pemerintah Meksiko, yang mempunyai 236 perusahaan yang memproduksi berbagai barang -- dari deodoran sampai sepeda anak-anak -- kini sudah menjual 31 perusahaan. Pemerintah Malaysia baru saja menjual 30% sahamnya di Malaysian Airline System kepada swasta. Pemerintah Singapura merasakan beratnya memiliki 450 perusahaan, dan sekarang mulai menjual saham-sahamnya, termasuk 50% saham di Singapore Airlines. Pemerintah Turki belum melakukan, tapi kabarnya sudah merencanakan menjual 32 perusahaannya kepada swasta. Daftar di atas itu memang belum komplet, dan masih bisa diperpanjang, tapi dari situ jelas tampak lahirnya sebuah mode dalam dekade ini. Dan, kalau suatu mode sudah melanda dunia, biasanya susah sekali orang melepaskan diri dari pengaruhnya. Mengapa pemerintah negara-negara itu berbuat begitu? Jawabnya: karena uang. Perusahaan-perusahaan negara itu ternyata boros, dan rugi. Pemerintah Inggris terpaksa memberi subsidi US$ 2,5 milyar pada 1980 dan US$ 5,6 milyar pada 1985 untuk menutup kerugian perusahaan kereta api, pabrik baja, dan tambang batu bara yang dimilikinya. Pemerintah Spanyol yang sosialis masih pusing bagaimana menombok US$ 3 milyar untuk kerugian yang diderita lebih dari 700 perusahaannya. Di negara-negara Afrika, jumlah subsidi yang harus dikeluarkan untuk perusahaan-perusahaan negara tak jarang mencapai 10% PDB. Maka, di zaman ketika meningkatkan penerimaan pemerintah dari pajak terhitung sulit, paling enaklah kalau bisa menjual perusahaan yang terus bocor. Beban berkurang, uang masuk. Pemerintah Singapura berharap akan menerima US$ 240 juta dari penjualan sahamnya di SIA. Pemerintah Jepang memperkirakan US$ 40 milyar -- dari penjualan sahamnya di perusahaan telkomnya. Pemerintah Belanda memperoleh US$ 25 juta setelah melemparkan sebagian sahamnya di KLM. Dan pemerintah Inggris sudah menerima US$ 26,4 milyar. Pada 1960-an, proyek-proyek dan perusahaan-perusahaan negara berkembang biak dengan meningkatnya kegiatan pembangunan di Dunia Ketiga. Lembaga-lembaga ini menikmati bantuan dan kredit negara-negara industri dan badan-badan keuangan internasional. Sekarang ini boleh dikatakan kredit yang diberikan Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan bank-bank semacamnya untuk Afrika dan Amerika Latin seluruhnya dinikmati oleh sektor pemerintah. Para ahli ilmu politik dan sosial dalam buku-buku mereka memberi julukan lembaga-lembaga pemerintah ini dengan sebutan manja: agents of development. Namun, ketika cerita tentang berbagai pemborosan, korupsi dan kebocoran agents of development itu memuncak, si pemilik modal terbesar badan-badan keuangan ini -- Amerika Serikat -- mulai kehilangan kesabarannya. Dalam sidang tahunan Bank Dunia dan IMF di Seoul tahun lalu, satu perubahan baru diperkenalkan AS: dana lembaga keuangan ini tidak harus menjadi monopoli proyek-proyek dan perusahaan pemerintah. Perusahaan swasta pun berhak. Sikap ini akan memperluas gerakan global yang bertujuan memberi peran lebih penting kepada swasta dalam pembangunan ekonomi. Pemerintah Indonesia pun sudah mengakui pentingnya peran swasta, sekalipun pengakuan itu masih sedikit berbau retorik. Apakah sikap itu nantinya diwujudkan dalam bentuk penjualan perusahaannya kepada swasta, bergantung pada penilaian pemerintah terhadap prestasi perusahaan-perusahaannya sendiri. Direktur Pembinaan Badan Usaha Negara Departemen Keuangan, Mar'ie Muhammad, mengungkapkan baru-baru ini di depan sebuah seminar di UI -- bahwa laba yang diperoleh 215 perusahaan negara meningkat dari Rp 1,2 trilyun menjadi Rp 2,3 trilyun antara 1979 dan 1984. "Perkembangan yang mengesankan," kata Mar'ie. Mar'ie tidak mengungkapkan kenyataan yang lebih mengesankan lagi: pertambahan laba Rp 1,1 trilyun selama lima tahun itu dicapai dengan pertambahan kekayaan yang dioperasionalkan sebanyak Rp 50 trilyun! Kalau dihitung-hitung ala deposito berjangka, lalu berapa persen investasi yang diperoleh pemerintah lewat perusahaan-perusahaannya? Memang, kalau pemerintah menilai prestasi perusahaan-perusahaannya masih mengesankan, buat apa dijual kepada swasta? Suasana kultural juga belum mendukung hasrat pemerintah menswastakan perusahaannya. Sistem nilai yang dianut masyarakat masih persis seperti yang dirasakan para pendiri republik ini 41 tahun yang lalu, waktu mereka merumuskan pasal 33 UUD 1945. Reaksi yang penuh curiga terhadap rencana pemerintah menswastakan sebagian PTP Tor Gamba, dan sikap pemerintah yang maju-mundur dalam masalah itu, menunjukkan belum mampunya masyarakat Indonesia menerima kenyataan bahwa sebuah perusahaan milik negara akan menjual sebagian sahamnya kepada swasta. Dan bahwa pemerintah akan mengurangi penguasaannya dalam kegiatan ekonomi. Mereka bisa menerima kalau peranan pemerintah dalam bisnis justru diperbesar. Begitulah, ketika pemerintah mengeluarkan Rp 328 milyar untuk membeli saham sebuah pabrik semen milik swasta, tak ada yang mempertanyakan dengan serius. Tak ada yang mempersoalkan, baik anggota DPR yang mengesahkan APBN maupun para pembayar pajak, bahwa jumlah itu praktis menghabiskan dana Rp 256 milyar yang disediakan APBN 1985/1986 untuk keperluan penyertaan modal ke dalam perusahaan-perusahaan pemerintah sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini