BERANDA KITA: PERBINCANGAN SEKS DALAM KELUARGA Oleh: Faisal Baraas Penerbit: PT Grafiti Pers, Jakarta, 198S, 356 halaman GAMBARAN klasik seorang dokter, yang melihat pasiennya dengan mata kuyu karena lelah dan bosan, sambil menanyakan gejala penyakit tanpa menoleh, tidak akan terjadi di beranda Dokter Faisal Baraas. Buku bersampul merah menyala ini berasal dari kumpulan kasus soal seks, rubrik yang diasuhnya di majalah Zaman. Subyek seks yang dikisahkan, meski terkadang cukup hot, jauh dari bacaan porno yang mendengus-dengus. Faisal, yang juga dikenal menulis beberapa buku fiksi, mencoba mengangkat seluk beluk seks, bahkan lebih dari itu, secara manusiawi. Subyek yang haram diucapkan bibir, apalagi sampai berani diragakan di depan kelas, telah dikisahkannya dengan lembut, yang kadang berupa renungan tertahan, atau kutipan buku ilmiah. Ada kalanya kisah itu tersembul secara jenaka, dan bisa pula tampil berbaju dongeng. Gayanya yang segar membuat kita cepat akrab dengan pelakunya. dan ingin mengikuti keresahan mereka dengan saksama. Di Beranda sang dokter ini, kita akan berkenalan dengan berbagai pribadi. Seorang ibu hampir copot jantungnya mendengar putri remajanya berkata begini: "Si lelaki memasukkan alat vitalnya ke tubuh kita," katanya pendek. "Hal itu saya tahu, tapi di mana?" (halaman 6). Ada pula cerita tentang gadis manis bernama Mawar, yang asyik bercakap-cakap dengan Dr. Spock yang tua dan bijak. Pembaca pun akan diperkaya dengan pengetahuan bagaimana nikotin meracuni jaringan tubuh dan gas karbon monoksida menjalar ke dalam darah janin, pada ibu yang gemar mengisap rokok 10 batang sehari. Masih banyak lagi yang diungkapkan Faisal seputar seks -- mulai dari soal telanjang ke ranjang, dari lesbi ke paraplegi, dari kompleks Oedipus ke Cinderella, dan lainnya. Ketika membuka buku ini timbul kesan seperti kecemplung di asrama putri. Karena hampir semua (kecuali satu) judulnya dimulai dengan nama perempuan. Rini, Titi, Maya, Lea, Non, Sari, Indri, Yeyen, Hilda, Doris, Yati, Upik, Bawuk, Maria, Ayu, Bunga, Yessi,... 113 banyaknya! Meski tiap nama kasusnya berbeda, gaya menyampaikannya hampir serupa. Dari hadirnya sang tokoh sampai kepergiannya cuma berlangsung dalam sekitar dua seperempat muka halaman (begitu rupanya jatah yang disediakan majalah Zaman untuk rubrik ini). Dan, baik terjawab maupun tidak persoalannya, dia pasti meninggalkan kita, memberikan tempatnya bagi wanita berikut untuk mengisahkan ceritanya. Perkenalan yang begitu singkat kurang memberi kesempatan untuk mengenal sang tokoh secara lebih rinci dan dekat, yang tentu saja membatasi pula kupasan yang luas, apalagi mendalam. Maka, tidak jarang cara penyampaian pesan yang pantang menggurui ini dinyatakan begitu tersamar, sampai tidak jelas yang mana penyakit, yang mana obatnya. Apalagi dengan gaya bahasa yang sama menarik dan meyakinkan. Misalnya, seperti yang diungkapkan Tira, mahasiswi: Janganlah dokter terkejut. Hampir setiap minggu saya selalu melayani tuan-tuan gede di tempat tidur. Mereka selalu puas dengan keterampilan saya. Saya memang terampil dalam urusan itu. Tak pernah mereka kecewa. Dan mereka membayar saya untuk semua pelayanan itu. Dan dengan uang itulah saya membtayal htdup saya, hdup pacar saya, dan membayar uang kuliah. Pacar saya sendiri tidak tahu profesi saya ini. Hal ini memang sangat rahasia. Bahagia Senang Tentu saja saya menyenangi profesi ini. Saya merasa tidak rugi apa-apa. Bahkan banyak untung. Saya dapat menikmati berbagai kenikmatan, berbagai kesenangan, berbagai pengalaman yang diberikan oleh tuan-tuan itu, lalu dibayar lagi .... (halaman 192). Membaca "profesi" yang begitu gemerlapan, berdoalah, agar remaja kita yang mernbaca buku ini tidak berlomba mendaftarkan diri, melamar jabatan serupa Tira! Meski barisan wanita ini menguraikan masalah mereka yang tidak sepi dari kehadiran pria, hampir tidak ada Arjuna yang maju sendiri membuka "baju" dan hatinya. Apakah Beranda Kita hanya terbuka bagi si cantik jelita? Ataukah memang disengaja, yang boleh tampil cuma para putri saja? Sebenarnya pria pun tidak sepi dari masalah. Bukankah penyortiran ini mengurangi sebuah dimensi yang tidak kalah menariknya? Apalagi jika kita ingat bahwa kaum pria mempunyai pandangan dan penilaian sendiri terhadap perkawinan, masa remaja, dan kerja mereka. Penyajian judul berupa 113 nama wanita ini, pada akhirnya, terasa monoton dan hambar. Juga kurang sigap dalam memberi pertolongan, karena tidak mencerminkan sedikit pun apa yang akan dibahas. Memang benar, di halaman muka terpampang beberapa bab dengan cakupannya masing-masing. Tetapi sayang sekali, ini pun tidak seluruhnya benar. Misalnya, pada Bab XIII -- Metode Shettles: lelaki atau perempuan? Membaca bab ini dengan sendirinya kita ingin mengetahui bagaimana Shettles menguraikan kasus untuk mendapatkan anak lelaki atau perempuan. Sayang, keinginan ini tetap tidak terpenuhi, meski kita telah melalap habis 4 dari 5 bagian bab tersebut! Sebab, metode Shettles ini cuma disinggung sepintas dalam salah satu dari kelima bab (halaman 320). Sedangkan lainnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan keterangan judul yang terpampang gagah di muka. Tetapi, jangan langsung membuang buku ini. Anda tetap akan berkenalan dengan subyek-subyek lain yang tidak dicari, yang belum tentu tidak menarik. Misalnya, Susan, yang tidak berhasil mendapatkan anak dari suaminya, Theresia, yang idem dito Desi, yang cemas akan mendapatkan anak cacat, karena dulu ketagihan merokok dan Joane, yang dibesarkan sebagai anak perempuan, padahal lahirnya sebagai Joni. Memang tidak adil jika diminta terlalu banyak dari dokter yang kadang-kadang buka buku psikologi ini. Tetapi kemampuan sastra dan empatinya yang besar, dan caranya yang tidak sok menggurui, membangkitkan simpati yang dalam. Mudah-mudahan buku ini dapat turut mematri kembali bocor dan bocel pandangan remaja (dan orangtuanya) yang tidak jarang harus bergelimang dalam keluarga retak, dan lari ke cerita stensil, film & video biru, dan . . . praktek langsung. Leila Ch. Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini