Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Ding

Setiap tahun baru selalu diawali dengan bunyi kegaduhan suara terompet kertas & kembang api. Di biara lonceng berdentang untuk berdoa malam. Kecemasan di tekan jauh, diganti secara paksa dengan harapan.

4 Januari 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG-orang berseru. Di tembok, kalender dirobek. Tengah malam lewat. Tahun 1986 dipasang. Weker berdering, jam dinding berdetak. Trompet-trompet kertas ditiup dengan mulut menggelembung, trot-trot-trot. Mungkin ada kembang api yang dilontarkan ke angkasa, gemerlapan, gemeretak .... Sungguh mengherankan bahwa manusia tampaknya selalu membutuhkan bunyi bahkan kegaduhan - untuk menandai babak baru. Kegembiraan? Kecemasan? Kecemasan yang ditekan jauh, dan diganti secara paksa - sampai eksplosif - dengan harapan? Kita tidak tahu. Setidaknya saya tidak tahu. Saya selalu merasa agak asing dalam keributan seperti itu, tapi saya ingat bahwa (seperti yang dikisahkan dalam nyanyian anak-anak yang terkenal di seluruh dunia itu) keloneng dan waktu selalu bergabung untuk menggugah, mungkin dari lelap, mungkin dari lupa. Bapa Yakub tak boleh tidur. Di biaranya yang sunyi ia harus menarik lonceng untuk doa malam, dan ding, ding, dong, ding, ding, dong. Tidurkah, Tuan? Tidurkah, Tuan ? Sonnez les matines, sonnez les matines .... Ada seorang pengembara Arab di abad ke-9, Sulaiman al-Tajir namanya. Ia pernah sampai ke Negeri Cina. Ia juga menulis, tentang bunyi: "Tiap kota mempunyai empat pintu gerbang, di atas tiap pintu itu ada lima sangkakala, yang ditiup oleh orang-orang Cina itU pada jam-jam tertentu di siang dan malam hari. Di tiap kota juga ada 10 genderang, yang mereka pukul serentak, tak hanya untuk menunjukkan kepada umum kesetiaan mereka kepada sang maharaja, tapi juga untuk memberitahu Jam-Jam siang dan malam ....' Yang satu lonceng, yang lain trompet serta genderang. Kedua-duanya harus didengar. Tapi betapa berbedanya. Dalam kisah Bapa Yakub, yang dilagukan dengan nada yang seakan menyuruh kita buru-buru, kita bisa merasakan di situ apa makna waktu: sesuatu yang selalu terlepas dan tak akan tertangkap kembali. Dalam pemandangan Negeri Cina yang disampaikan Sulaiman al-Tajir, kita merasakan waktu sebagai sesuatu yang lain: tertib, teratur, tak tergoyahkan - dan manunggal dengan kekuasaan yang dipertuan. Dengan kata lain, ding-ding-dong Bapa Yakub lebih dekat kepada suara kecemasan. Trompet dan genderang di kota-kota Tiongkok kuno itu sebaliknya, lebih menyerupai pernyataan kepastian. Bapa Yakub, seorang rahib penjaga lonceng, senantiasa terancam oleh terlambat. Ia menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga. Sebaliknya, di pintu-pintu gerbang kota Negeri Langit, hidup dikumandangkan sebagai sesuatu yang predictable: kita selalu bisa memperkirakan apa yang akan tiba berikutnya. Dalam prakteknya, hidup tentu tak seperti itu. Kini ahli-ahli "futurologi", yang makin tak terdengar gemanya, tahu bagaimana harus berhati-hati. Lim Sioe Liong juga dulu tidak tahu bahwa bisnis akan lesu di tahun 1985. Tapi adakah dengan demikian hidup sebenarnya lebih cocok dengan bunyi kecemasan dalam lonceng Bapa Yakub? Bukan kebetulan bahwa lagu anak-anak itu bercerita tentang Bapa Yakub, tentang Frere Jacqes dengan kata lain, tentang orang dalam satu kelompok yang semata-mata mengabdi Tuhan. Ada seorang guru besar sejarah dan ekono dari Harvard yang suatu hari tertarik kepad jam. Ia pun menelaah sejarah perkakas manusia itu, dan menulis sebua buku yang memikat: David S Landes dalam Revolstion in time. Sang profesor menunjukkan bahwa kehidupan beribadat di biaralah yang memulai pembagian waktu ke dalam jangka yang terinci - hingga akhirnya ada arloji, ada Piagte dan ada Seiko. Agama memang cenderung tak membiarkan manusia hidup dengan waktu yang dila laikan. Waktu adalah pedang dan umur terpotong tanpa terlihat dalan nasibnya yang tak abadi (ditandai oleh pergantian hari), manusia harus membandingkan diri dengan Yang Abadi. Pada saat yang sama pula, ia harus menunggu, tapi tanpa kepastian, apa saja yang akan menyusul. "Lalu waktu, bukan giliranku, " kata sebuah kalimat dalam sajak Amir Hamzah. "Time won't wait for me, " kata sebuah lagu Mick Jagger. Maka, beduk mendahului bang, bunyi mengingatkan kita akan detik yang pergi. Tapi tentu saja bunyi mengingatkan kita juga akan kapal yang berangkat ke negeri jauh yang barangkali menggairahkan. Tidak semua kita adalah Bapa Yakub, tidak semua kita rahib dalam biara. Tidak semua kita dan tak selamanya kita bersiap siaga di antara ding-ding-dong. Tiap tahun trompet-trompet kertas ditiup dan sumbat botol sampanye seperti meletup dan gelas-gelas berdenting. Ramai-ramai. Kegembiraan, kecemasan: barangkali semuanya itu tidak penting. Kita membaca ru bayat Omar Khayyam dan kita akan tahu bahwa kegembiraan dan kecemasan itu du sisi dari kopeng uang yang sama: anggru yang diminum hari ini adalah untuk merayakan mawar yang besok layu. Ada sesuatu yang mengasyikkan, tapi juga yang kasihan memang, pada manusia. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus