BANYAK yang kaget dengan tindakan Imam Sofwan. Tokoh NU Jawa Tengah ini dua pekan lalu mengumumkan keputusannya untuk meninggalkan kepengurusan NU dan meneruskan kegiatannya di PPP. Pilihan itu diumumkan Imam Sofwan dalam konperensi wilayah NU Ja-Teng di Semarang 20 Desember, sebelum pemilihan pengurus baru. Imam sebelumnya menjabat Ketua NU Wilayah Ja-Teng dan juga Ketua MPP PPP. Menurut peraturan PB NU Nomor 72 Tahun 1985, semua personalia pengurus harian NU di tingkat pengurus besar dan wilayah pada 10 Januari 1986 harus menanggalkan jabatan rangkapnya pada kepengurusan harian organisasi politik. Bila sampai batas waktu itu perangkapan masih terjadi, otomatis ia dianggap melepaskan kepengurusan NU yang dijabatnya. Imam Sofwan, 62, termasuk yang pertama mengumumkan keputusannya. Padahal, sebagai Ketua MPP PPP, ia tidak termasuk pengurus harian PPP, hingga tak terkena larangan itu. Ia mengaku, sengaja melepaskan jabatan Ketua Umum NU Ja-Teng. Alasannya: perjuangan di partai dianggapnya punya ruang lingkup yang lebih besar. "Di PPP saya menjabat Ketua MPP. Itu 'kan scope nasional, sedang di NU cuma regional." Di samping itu, katanya, ia juga ingin memberi kesempatan pada yang muda. Kendati tak lagi menjabat pengurus NU, Imam mengaku masih tetap orang NU. "Ajaran NU sudah menjadi cara hidup saya," katanya. Pada 1937 Imam sudah aktif di kepanduan Ansor. Ia memimpin NU Ja-Teng sejak 1957, dan sejak 1971 menjadi anggota DPR. "Mungkin saya ini memang lebih cocok di partai," ujar tokoh yang dikenal dekat dengan Ketua Umum PPP Naro itu. Selain Imam Sofwan, tokoh NU Ja-Teng lain yang melepaskan jabatannya di pengurus harian adalah Karmani. Semula ia menjabat Wakil Ketua Umum NU Ja-Teng dan Ketua Tanfidziah. Ia kini menjabat anggota dewan penasihat, hingga masih bisa merangkap sebagai Ketua DPW PPP Ja-Teng. Yang terkena larangan PB NU tampaknya lebih banyak di daerah. Di tingkat pusat sejumlah tokoh NU tak tersabet. Ketua NU Mahbub Djunaidi lolos karena di PPP ia menjabat Wakil Ketua MPP. Begitu juga Sekjen NU Anwar Nurris karena di PPP ia cuma anggota pleno. Ketua PPP Zamroni juga tidak terkena karena di NU hanya menjadi anggota pleno PB. NU tampaknya akan tegas melaksanakan larangan itu. Menurut Ketua Umum PB NU Abdurrahman Wahid, dampak pemisahan itu positif. "Terjadi peremajaan di kalangan pimpinan NU. Juga penyegaran pandangan. Hubungan dengan pemerintah bagus sekali, khususnya di desa-desa," katanya. Sedang dampak jangka panjangnya: kaum Muslimin telah menuntaskan hubungan faktualnya dengan parpol. Yang paling maju menjalankan larangan ini rupanya Jawa Timur. Memutuskan pengurus pleno NU Ja-Tim, bukan cuma pengurus harian, tapi semua ketua bagian dan lembaga sampai tingkat cabang dan ranting dilarang merangkap Jabatan dl parpol dan Golkar. "Pengurus NU harus berkonsentrasi penuh mengurus NU," kata Ketua NU Ja-Tim Hasyim Latief. Akibatnya, sejumlah tokoh NU Ja-Tim, misalnya Koensolehoeddin, Syumli Syadli, dan Soelaiman Biyahimo, telah memutuskan melepaskan jabatannya di NU dan memilih tetap di PPP. Di samping melarang adanya perangkapan jabatan, PB NU juga melarang para ulama, pengasuh pesantren, dan mubalig NU berkampanye pada pemilu mendatang. Alasannya: agar tidak simpang-siur. Mubalig NU harus murni berdakwah Islamiyah. Namun, warga NU yang dicalonkan menjadi anggota DPR atau DPRD boleh berkampanye. Apakah dengan begitu NU akan betul-betul meninggalkan gelanggang politik? Tampaknya, tidak. Abdurrahman Wahid telah beberapa kali menegaskan: warga NU harus berpartisipasi dalam pemilu, dan tidak boleh menjadi golput (golongan putih) atau golpis (golongan pilih semua). Konon, penegasan ini dilakukan atas "imbauan" pemerintah. Pemilu tanpa NU memang bisa terasa sangat sepi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini