Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Draft Memo: 11 Masalah Stimulus Fiskal

30 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adrian Panggabean

  • Praktisi kebijakan ekonomi

    SEANDAINYA saya duduk sebagai anggota staf presiden bidang ekonomi dan diminta untuk menilai potensi efektivitas dari proposal stimulus fiskal yang dibuat tim ekonomi pemerintah, draft memo yang saya tulis kira-kira begini.

    1. Dengan membandingkan prinsip kebijakan ”tepat dosis, tepat arah, dan tepat dampak” dengan bentuk dan isi stimulus fiskal yang ditawarkan, saya berpendapat, kemungkinan besar paket stimulus itu tidak efektif. Dosisnya tidak tepat. Arah kebijakan mengundang banyak perdebatan. Struktur kebijakannya tidak rinci, bahkan banyak bolong. Probabilitas keberhasilannya mungkin lebih kecil dari fifty-fifty. Sementara itu, harga politik yang harus dibayar dari kebijakan yang tidak efektif boleh jadi sangat tinggi karena ini tahun pemilu.

    2. Stimulus fiskal adalah instrumen ekonomi yang dapat memberi keuntungan politik dalam jangka pendek bila didesain dan dijalankan dengan benar: para penerima bantuan akan mengingat si pemberi uang; pengusaha ingat kepada pemberi proyek; rumah tangga ingat kepada aparat pajak yang memberi ”tambahan tabungan”. Di semua negara, pemerintah yang membutuhkan dukungan populer sangat mafhum akan peran penting stimulus sebagai pendongkrak suara. Pengalaman menunjukkan, stimulus fiskal yang tidak efektif tidak jarang diikuti oleh kekalahan dalam pemilu. Artinya, pemburukan ekonomi pada tahun pemilu dan faktor sempitnya ruang manuver kebijakan ekonomi menghendaki tim ekonomi pemerintah bekerja lebih keras, lebih inovatif, dan lebih cepat untuk memastikan paket stimulus ini efektif.

    3. Data menunjukkan, situasi ekonomi terus memburuk. Resesi global diperkirakan mencapai titik terendah pada akhir kuartal ketiga 2009, sedangkan proyeksi terhadap awal proses pemulihan masih bervariasi mulai kuartal pertama sampai kuartal keempat 2010. Hal ini berimplikasi besar terhadap Indonesia: (1) pada lamanya penciutan dari 50 persen pasar ekspor Indonesia; (2) pada tingkat produksi dari hampir sepertiga industri manufaktur Indonesia yang berorientasi ekspor; (3) pada tingkat pengangguran sampai 2010; (4) pada tingkat volatilitas di pasar aset sampai 2010, termasuk kurs rupiah—terutama karena Amerika mulai menjual obligasi untuk menutup defisit; (5) pada tingginya profil risiko fiskal Indonesia dan imbasnya pada pembiayaan pembangunan.

    4. Ibarat sebuah kelereng, ekonomi Indonesia sedang menggelinding di ”papan luncur resesi” yang bersudut agak curam. Pada 2008, walaupun konsumsi masyarakat masih tinggi, momentum pertumbuhan sebenarnya turun signifikan. Pengukuran statistik momentum yang saya lakukan terhadap data Indonesia menunjukkan, konsumsi pada 2008 sudah 40 persen lebih rendah dari 2007, sudah mirip dengan situasi pada 2005 (kala harga bahan bakar minyak naik begitu tajam sehingga masyarakat menurunkan kualitas barang yang dikonsumsinya). Momentum pertumbuhan produk domestik bruto 2008 sudah 20 persen lebih rendah dibanding 2007, hampir mirip dengan 2005, serta 2002-2003 (saat Indonesia belum pulih dari deraan krismon). Bila tren PHK berlanjut, tingkat utilitas kapasitas produksi akan turun ke arah 70 persen dan pengangguran bisa lebih tinggi dari 2008. Pada gilirannya, instabilitas harga, kurs, dan lemahnya pertumbuhan ekonomi pada 2009-2010 akan memperburuk statistik kemiskinan Indonesia karena 75-80 persen orang miskin Indonesia masuk kategori ”transient poor” yang sensitif terhadap instabilitas makroekonomi. Semua angka ini berimplikasi penting terhadap dosis stimulus fiskal yang dibutuhkan.

    5. Dengan mengaplikasikan prinsip aritmetika fiskal dalam konteks Indonesia, saya melihat output gap yang muncul (bila tingkat utilisasi produksi 70 persen dan pengangguran 9-10 persen) adalah lebih-kurang 8 persen. Bila indeks multiplier agregat ekonomi Indonesia (terkadang didekati dengan indikator ICOR) sebesar 2,5-4, besarnya ”palu fiskal” untuk Indonesia (yang konsisten dengan output gap tersebut) seharusnya 2-2,5 persen dari produk domestik bruto untuk jangka tiga tahun. Palu fiskal sebesar inilah yang diperlukan untuk menghantam ”papan luncur resesi” agar lebih landai. Dalam bahasa teknis, dosis sebesar itulah yang konsisten dengan tujuan counter-cyclical. Stimulus yang terlalu kecil sama saja dengan duit habis tapi dampak tidak terasa. Dilihat dari perspektif ini, tim ekonomi agaknya keliru menghitung dosis yang pas.

    6. Pada 2007, saya pernah menghitung ruang fiskal APBN yang tersedia seandainya terjadi krisis. Ternyata ruangnya cukup sempit. Ini antara lain karena lemahnya manajemen utang kita di masa lalu. Saya pernah menulis di majalah ini 10 tahun lalu tentang isu kelembagaan fiskal Indonesia. Saya mengatakan, kelembaman birokrasi adalah penyebab rendahnya penyerapan APBN. Dilihat dari kacamata hari ini, isunya masih sama. Nah, bila realisasi APBN hanya 85-95 persen, pembenaran apa yang bisa diberikan tim ekonomi bahwa utang memang diperlukan untuk menambal ”asumsi defisit” yang muncul akibat stimulus—apalagi bila kita masukkan fakta penyerapan utang luar negeri juga rendah? Bukankah lebih efektif bila tim ekonomi fokus pada penyederhanaan mekanisme/prosedur pembayaran dan implementasi proyek ketimbang mengutak-atik asumsi defisit?

    7. Walaupun data ekonomi menunjukkan pemburukan signifikan sejak Oktober 2008, asumsi RAPBN 2009 masih sangat optimistis. Asumsi lalu disesuaikan ke bawah seolah-olah dengan cara itu masalah selesai. Proposal stimulus pun terus berubah sampai Maret 2009, dan palu fiskal baru diluncurkan April. Bila merujuk pada prosedur birokrasi, proyek yang dibiayai stimulus baru berjalan pada kuartal ketiga 2009, yaitu saat resesi global sudah atau hampir mencapai titik terendah. Pada saat seperti itu, tanpa stimulus pun, ekonomi pasti bergerak. Bukankah kebijakan stimulus ini salah timing dan amat terlambat?

    8. Saya sependapat bahwa stimulus yang berciri tax cut lebih realistis: lebih sederhana, tidak membutuhkan perangkat monitoring yang besar, memiliki income effect yang lebih langsung, dan efek transmisinya terhadap produk domestik bruto lebih singkat. Saya pernah mengusulkan pada Oktober 2008 agar Undang-Undang PPh baru yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat sebulan sebelumnya langsung diterapkan. Tujuannya agar undang-undang itu bisa disebut berciri ”front loading”, dus dapat dikategorikan sebagai stimulus. Bila baru diberlakukan pada 2009, paket itu sebenarnya tak layak diklaim sebagai bagian dari stimulus karena tanpa krisis pun, pasti dilaksanakan.

    9. Paket stimulus berciri tax cut, seperti kebijakan ekonomi lain, hanya efektif bila asumsi yang mendasarinya dipenuhi. Itu sebabnya, desain stimulus berciri tax cut harus rinci dan dipagari berbagai insentif pada tataran mikro agar dampaknya optimal. Di mana pun, termasuk di Indonesia, pengurangan beban pajak selalu direspons dengan tiga cara: ditabung, ditabung sampai 6-12 bulan lalu dibelanjakan, atau langsung dibelanjakan. Artinya, ada 65 persen probabilitas dana itu tidak dibelanjakan (atau dibelanjakan setelah 1-2 semester).

    10. Mari kita lihat datanya. Dengan undang-undang baru, dalam hitungan saya, keluarga berpendapatan Rp 5-10 juta akan menerima tambahan Rp 200-400 ribu sebulan. Keluarga berpendapatan Rp 20-30 juta memperoleh tambahan Rp 1,5-3,5 juta. Bila ekonomi tak menentu, sementara biaya kesehatan, asuransi masa tua, pendidikan, dan kebutuhan berjaga-jaga makin besar, apakah mereka akan belanja atau menabung? Studi perilaku konsumsi pada krisis 1998 mengindikasikan, masyarakat miskin cenderung menurunkan kualitas barang konsumsinya untuk menjaga tingkat tabungannya, akibat dari ketiadaan jaminan sosial. Masyarakat berpendapatan menengah pun cenderung menjaga tingkat konsumsinya dan menambah alokasi tabungan untuk berjaga-jaga. Insentif berjaga-jaga diperkuat oleh tingginya bunga deposito.

    Dus, mudah diduga, pengurangan itu akan direspons dengan cara meningkatkan tabungan atau akumulasi tabungan temporer selama 1-2 semester. Bila prognosis ini benar, kenaikan konsumsi paling cepat pada kuartal keempat 2009. Padahal, rakyat diharapkan berbelanja sekarang. Karena itu, instrumen kebijakan tambahan pendukung tax cut selalu diperlukan. Instrumen standar ala buku teks adalah dengan menurunkan bunga deposito agar tak ada insentif untuk menabung. Sistem voucher belanja dengan periode terbatas atau pemberian credit points yang dikaitkan dengan pengurangan pajak adalah dua contoh lain. Mengapa tim ekonomi tidak memunculkan inovasi kebijakan pendukung tax cut? Ada pepatah: ”Plan your policy down to details. Do not let your policy outcomes be determined by random events.”

    11. Sisi belanja dari paket stimulus pun mengkhawatirkan karena targetnya agak kabur. Apalagi, ada kasus anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terkait dengan proyek stimulus. Bentuk stimulus yang paling kontroversial adalah menyebar uang pakai helikopter, satu bentuk ”transfer payment”. Menurut teks, efektivitasnya lebih-kurang sama dengan membuat daftar proyek asal-asalan. Komposisi proyek stimulus kurang mencerminkan unsur dispersi geografis, perbedaan impedansi ekonomi antardaerah/sektor, stabilitas makro jangka menengah, penurunan biaya perdagangan, atau dimensi rate of return dari investasi fiskal. Saya teringat pada praktek ”reverse engineering” anggaran di banyak negara berkembang: buat dulu daftar proyek, lalu bikin analisis pembenarannya belakangan. Mohon maaf, tapi nuansa itu sangat kental.

    Belum terdengar pernyataan resmi dari tim ekonomi bahwa pembiayaan stimulus akan diimbangi dengan target eksplisit untuk membawa posisi fiskal ke arah netral dalam jangka menengah. Pernyataan ini penting didengar pasar dan masyarakat karena mereka ingin mendapat kepastian tentang profil risiko fiskal dalam jangka menengah, dan prospek harga obligasi Indonesia dalam jangka panjang.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus