Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Oasis Bernama Bioskop

Pameran Sejarah Bioskop Indonesia menapak tilas perjalanan bangsa. Ada masa kelam, ketika pengunjung bioskop dipilah berdasarkan ras.

30 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suatu hari pada 1962. Misbach Yusa Biran dan S.M. Ardan menjajal menonton di Rivoli. Kala itu bioskop di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, ini tergolong ”kelas dua”: spesialis memutar film India dan sesekali film Indonesia. Di dalam teater, dua sastrawan itu menyaksikan bagaimana para penonton ”terlibat” dalam film. Mereka ikut berdiri, bernyanyi, dan bertepuk tangan. Suasana makin riuh karena tukang jualan juga lalu-lalang di dalam.

”Saya tak hanya menonton film, tapi juga menikmati reaksi penonton,” kata Misbach, sutradara dan penulis skenario senior.

Sepotong tulisan Misbach—kini 75 tahun—tentang pengalamannya itu terpampang di deretan depan Pameran Sejarah Bioskop Indonesia. Acara yang digelar di Graha Cipta III Taman Ismail Marzuki dan Komunitas Salihara, Jakarta, ini berakhir pekan lalu.

Pameran di Salihara hanya menyajikan deretan foto dan cuplikan tulisan berdasarkan pembabakan sejarah bioskop (dan perfilman) Indonesia. Yang unik, teks dan gambar ini tak hanya dipajang di selasar maupun ruang pamer, melainkan menyebar di dinding kafe, toilet—di samping wastafel dan di atas urinoir—juga di dinding tempat menempelnya hidran air.

Graha Cipta III di TIM memuat lebih lengkap. Dalam suasana remang-remang yang terkesan lebih mewah dan nostalgik, pameran ini menjejerkan poster film Indonesia tempo doeloe. Tersedia pula layar yang secara bergilir menayangkan film-film itu.

Pameran ini membuka mata kita bahwa, ya, bioskop memiliki banyak rupa—dari masa ke masa. Pada zaman dulu wujud fisik bioskop di Tanah Air beragam, dari rumah biasa hingga gedung berarsitektur mewah. Capitol dan Astoria (di seberang Masjid Istiqlal), Globe (di Jalan Pintu Air, Pasar Baru), serta Garden Hall (kini jadi kompleks Taman Ismail Marzuki), misalnya. Sayang, sebagian besar bioskop itu sudah dihancurkan dan berganti dengan bangunan ”modern”. Salah satu bioskop tua yang masih berdiri tegak hingga kini adalah Metropole (kini Megaria) di Jalan Diponegoro.

Foto-foto yang dipamerkan menunjukkan penampakan bioskop mewah itu serupa dengan gedung teater di Eropa. Bedanya, bioskop tua di sana masih terpelihara hingga kini, misalnya Tuschinski Theater di Amsterdam, Belanda, yang dibuka pada 1921, sementara di sini sebagian besar sudah dihancurkan atau dibiarkan kumuh.

Dahulu, bioskop umumnya bersanding dengan taman hiburan yang di dalamnya ada pertunjukan wayang orang, komedi stambul, bahkan pertandingan tinju. Sungguh berbeda dengan sekarang: bioskop identik dengan mal.

Ekky Imanjaya, pengamat film lulusan Universitas Amsterdam, Belanda, membagi pengunjung bioskop dalam dua kelompok: moviegoers dan moviebuff. Yang pertama adalah orang-orang yang datang ke mal untuk ”bergaul”, lalu menonton bioskop, apa pun filmnya. Kelompok kedua adalah mereka yang secara spesifik datang untuk menonton film tertentu.

Ada kisah lain dari pameran itu, yakni tentang bioskop sebagai saksi masyarakat, yang dipilah berdasarkan ras dan kelas. Penonton kelas I orang-orang Eropa, kelas II Jepang dan Cina, serta kelas yang paling bawah untuk pribumi. Tak hanya itu. Pernah juga ada masa ketika orang pribumi hanya boleh menonton film yang disensor. Hanya orang Eropa yang boleh menonton film tanpa sensor.

Masa-masa kelam itu, tentu saja, sudah berlalu. Apalagi pada dasawarsa terakhir ini, film Indonesia berkembang sangat pesat, baik secara kuantitas maupun mutu. Sebelumnya, film lokal hanya ditayangkan di bioskop pinggiran, tapi kini mereka sudah bersanding dengan film Hollywood di 21 atau Blitz Megaplex—dua pemain besar bisnis bioskop Indonesia. ”Generasi sekarang juga sudah membuat film yang berorientasi internasional sehingga bisa diputar juga di bioskop luar negeri,” kata Misbach.

Perkembangan positif itu juga dirasakan Ekky. Namun ia menyorot jarangnya bioskop spesialis di sini. Ia berharap ada bioskop yang khusus memutar film India, Mandarin, atau box office masa lalu. Ia mencontohkan Belanda. Di sana ada bioskop yang khusus memutar film legendaris, seperti Godfather atau seri awal James Bond. Meski sudah tersedia cakram digital (DVD), toh penonton tetap berminat menyaksikannya di layar lebar.

Andari Karina Anom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus