Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Jangan Asal Contreng

30 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siapa yang layak saya pilih? Pertanyaan seperti ini sedang mewabah di kalangan warga Indonesia, dan bukan perkara mudah untuk menemukan jawabnya. Maklum, dalam pemilihan anggota legislatif pada 9 April ini ada empat surat suara yang masing-masing memiliki puluhan nama—bahkan ada yang lebih dari seratus—dan hanya satu yang perlu dicontreng.

Persoalannya, bagaimana menentukan calon wakil rakyat terbaik dari deretan nama itu. Ini cukup sulit bahkan juga bagi penduduk Jakarta, yang fasilitas komunikasi dan ketersediaan informasinya paling baik dan hanya perlu mencontreng tiga nama karena tak memiliki DPRD tingkat dua. Bayangkan tingkat kesulitan yang dihadapi pemilih di daerah terpencil yang sarana publiknya minimal.

Menghadapi tantangan ini, segelintir warga telah menyuarakan niat mengibarkan bendera putih. Ketimbang repot berpikir dan menanggung risiko kecewa karena salah menyalurkan dukungan, kelompok ini merasa lebih baik tak berpartisipasi dan memanfaatkan libur panjang pekan ini untuk kegiatan lain. Pilihan ini tidak melanggar hukum tapi mencederai kualitas demokrasi kita.

Demokrasi adalah sebuah sistem politik yang meletakkan kekuasaan tertinggi pada aspirasi mayoritas warga. Itu sebabnya tugas merawat sistem ini pun berada di pundak orang ramai. Walhasil, derajat keberhasilan demokrasi sebagai instrumen untuk menyejahterakan rakyat juga amat bertumpu pada besarnya kepedulian masyarakat. Tolok ukur paling kasatmata tentang kepedulian ini adalah tingkat partisipasi dalam proses pemilihan umum, baik dari sisi keikutsertaan maupun keseriusan menentukan pilihan.

Ini soal penting. Terutama karena pertanggungjawaban warga atas kualitas wakil rakyat di parlemen nasional maupun lokal akan semakin besar dalam pemilihan kali ini. Pasalnya, Mahkamah Konstitusi telah mengubah mekanisme penentuan peringkat calon anggota legislatif yang dahulu ditetapkan partai menjadi berdasarkan jumlah suara yang diperoleh. Agaknya para hakim lembaga terhormat ini terpengaruh oleh pemikiran George Bernard Shaw, aktivis politik dan dramawan termasyhur Inggris, yang mengatakan, ”Demokrasi mengubah cara menentukan penguasa dari penunjukan oleh kelompok kecil yang korup menjadi pemilihan oleh orang banyak yang tak kompeten.”

Kutipan kritis G.B. Shaw itu sempat terlontar karena rasa frustrasi pegiat demokrasi ini terhadap apatisme dan ketidakacuhan kaum pekerja Inggris yang amat miskin pada akhir abad ke-19 dalam menggunakan hak politik mereka. Akibatnya, hasil sistem demokrasi saat itu hanya menguntungkan golongan berpunya, yang sebetulnya secara demografis adalah kelompok minoritas. Hasil mengecewakan seperti ini mungkin saja akan berulang di Indonesia jika mayoritas warganya bersikap seperti kaum pekerja Inggris pada masa sulit itu.

Kita tentu tak ingin pengalaman pahit seperti yang terekam dalam berbagai novel Charles Dickens itu terjadi di negeri ini. Untuk menangkalnya memang tak mudah tapi bukan pula mission impossible. Menapak tilas G.B. Shaw adalah salah satu caranya. Negarawan ini menolak cara reformasi kelompok Federasi Sosial Demokrat, yang menghalalkan cara kekerasan dan memilih aktif di gerakan Masyarakat Fabian, yang percaya reformasi harus dilakukan secara bertahap dan melalui jalan damai.

Sebagai penulis andal, G.B. Shaw menyebarluaskan gagasannya melalui surat kabar, jurnal, dan penyebaran pamflet. Ia aktif membantu terbentuknya partai buruh dan menulis novel serta mementaskan drama sebagai alat pendidikan politik bangsanya. Peraih anugerah Nobel di bidang sastra ini menyumbangkan hadiahnya untuk membiayai penerjemahan buku-buku bermutu Swedia—yang ketika itu dianggap amat progresif—ke bahasa Inggris.

Semua hal ini dilakukannya karena keyakinan bahwa sistem demokrasi adalah wahana yang paling logis dalam mentransformasikan sebuah bangsa yang mayoritas rakyatnya miskin menjadi sejahtera. Keyakinan itu kini terbukti dan seharusnya menginspirasi kita untuk melakukan hal yang sama.

Tentu tak semua orang pandai menulis, mementaskan drama, atau berpidato seperti G.B. Shaw. Tapi semua orang pasti memiliki kelebihan yang dapat disumbangkan untuk meningkatkan kompetisi orang ramai dalam memilih wakil dan pemimpinnya. Seperti dikatakan para leluhur, ”lebih baik menyalakan sebatang lilin ketimbang mengumpat kegelapan”.

Memilih dengan serius dapat diibaratkan menyalakan sebatang lilin. Bayangkan betapa terang-benderangnya masa depan bangsa ini bila semua pemilih, yang jumlahnya lebih dari 170 juta itu, menggunakan hak politiknya dengan saksama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus