Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KELANGKAAN solar yang kembali menggila semestinya menjadi momentum bagi pemerintah untuk segera menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Saat ini, di sejumlah daerah di Jawa dan luar Jawa, antrean aneka kendaraan mengular di stasiun pengisian bahan bakar untuk mendapatkan solar.
Ada berbagai faktor penyebab kelangkaan solar. Salah satunya perbedaan harga solar bersubsidi dan nonsubsidi yang sangat besar. Penimbunan dan penyelewengan solar bersubsidi untuk digunakan oleh industri atau diselundupkan pun marak. Kuota dan pembatasan tak mampu mencegah kenaikan konsumsi solar yang diboncengi penyimpangan ini. Akibatnya, solar menghilang dari pasar.
Pemberian subsidi BBM selama ini jelas salah sasaran. Hasil kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Universitas Indonesia memperlihatkan: lebih dari 70 persen penikmat subsidi adalah kalangan menengah-atas. Mereka adalah pemilik mobil pribadi yang kebanyakan berada di kota-kota besar, kalangan industri, dan penyelundup.
Setelah melalui serangkaian rapat, pemerintah kabarnya sudah hampir memutuskan penetapan dua harga BBM bersubsidi. Kendaraan pelat kuning untuk transportasi umum dan pengangkut barang kebutuhan masyarakat serta kendaraan roda dua tetap dapat menikmati BBM dengan harga Rp 4.500 per liter. Sedangkan mobil pribadi harus membayar BBM Rp 6.500-7.000 seliter. Adapun kendaraan pelat merah dan industri tetap membayar BBM nonsubsidi Rp 10.000 seliter.
Solusi dua harga BBM bersubsidi itu pasti tidak memuaskan semua pihak. Namun keputusan yang sudah mengerucut itu jangan sampai kembali dimentahkan. Tiap pilihan kebijakan pasti me¡©ngandung risiko, tapi keputusan tetap harus diambil segera. Apalagi saat ini pemerintah dijepit situasi ekonomi yang kurang menguntungkan. Harga minyak dunia masih tinggi. Pertumbuhan ekonomi lebih rendah daripada perkiraan semula. Tak ada peningkatan penerimaan pajak, sebaliknya lifting minyak terus turun. Sedangkan nilai rupiah cenderung melemah.
Dengan situasi yang memburuk itu, rasio defisit anggaran kita terhadap produk domestik bruto diperkirakan bisa melebihi angka 3,7 persen. Padahal batas maksimal defisit anggaran terhadap produk domestik bruto yang diizinkan oleh undang-undang adalah tiga persen. Jika tak ada keputusan yang tegas, pemerintah bisa dipastikan akan melanggar undang-undang. Soalnya, akibat impor minyak yang terus meningkat, pada dua bulan pertama tahun ini saja neraca perdagangan minyak dan gas sudah mencatat defisit US$ 2,5 miliar. Padahal semula pemerintah memperkirakan defisit perdagangan minyak dan gas paling tinggi hanya US$ 400 juta.
Selain dapat menjaga defisit anggaran, solusi dua harga BBM bersubsidi diperkirakan tidak menimbulkan tekanan inflasi yang berlebihan. Maka daya beli masyarakat, terutama golongan miskin, tidak terganggu secara signifikan. Sebaliknya, uang hasil pengurangan subsidi bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan membangun pelbagai infrastruktur, terutama di kawasan timur Indonesia.
Pemerintah tak perlu khawatir ada penolakan terhadap keputusan mengurangi subsidi BBM. Berdasarkan Pasal 8 ayat 10 Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2013, pemerintah sudah mengantongi mandat mutlak untuk menaikkan harga BBM tanpa syarat. Tanpa harus menunggu persetujuan para politikus-legislator di Senayan.
berita terkait di halaman 126
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo