Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KALI ini ujian nasional tidak hanya mengetes siswa, tapi juga menguji petinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Nilai siswa peserta tes penting ini masih dihitung. Tapi angka pejabat penyelenggara ujian sudah pasti jeblok. Mereka gagal menjalankan hampir semua elemen manajemen—merencanakan, mengorganisasi, menggerakkan, dan mengendalikan—sehingga perhelatan ujian amburadul.
Tes nasional itu meleset dari rencana. Celakanya, Menteri Pendidikan Mohammad Nuh baru mengetahuinya beberapa hari sebelum pelaksanaan ujian yang berlangsung Senin pekan lalu. PT Ghalia Indonesia Printing—salah satu pemenang tender pencetakan dan distribusi naskah ujian—tak mampu menyelesaikan pesanan. Akibatnya, ujian siswa SMA di sebelas provinsi harus diundurkan tiga hari. Kisruh pun berkepanjangan. Setelah dijadwal ulang, beberapa kabupaten di Sulawesi Utara dan Kalimantan Timur tetap tak bisa menggelar ujian karena belum memperoleh naskah soal.
Pelaksanaan ujian jauh lebih buruk dibanding tahun lalu, ketika pertama kali pemusatan pengadaan naskah soal SMA/SMP dilakukan. Sebelumnya, naskah ujian dicetak di tiap provinsi. Tahun lalu muncul problem seperti naskah soal yang tertukar dalam pengepakan atau jumlahnya kurang. Kini masalah serupa masih terulang, plus problem yang sangat memalukan: penjadwalan ulang ujian di sejumlah provinsi.
Boleh saja Menteri Nuh membentuk tim investigasi untuk mengusut kekacauan. Tapi persoalan sebenarnya sudah terang-benderang. Pejabat yang melelang pengadaan naskah ujian keliru besar mempercayakan pekerjaan berskala luas itu kepada PT Ghalia. Tahun sebelumnya, perusahaan ini hanya berpengalaman mencetak dan mendistribusikan naskah ujian untuk satu provinsi.
Problem yang muncul semestinya masih bisa diantisipasi andai pejabat penyelenggara ujian mengawasi ketat pencetakan naskah soal. Bukan hanya Kepala Badan Standardisasi Pendidikan Nasional yang bertanggung jawab, melainkan pula Kepala Badan Pendidikan dan Pengembangan di kementerian ini. Pemantauan penting karena waktunya amat mepet. PT Ghalia dan lima pemenang tender lainnya baru meneken kontrak pada awal Maret lalu. Dalam waktu singkat, perusahaan itu mesti mencetak naskah ujian, mengepak 20 variasi soal untuk setiap pelajaran, lalu menyebarkannya ke provinsi.
Mepet-nya persiapan ujian nasional itu akibat kesalahan Kementerian Pendidikan yang kurang akurat dalam menyusun anggaran. Sekitar 80 persen dari total anggaran kementerian ini, senilai Rp 73 triliun, sempat diblokir oleh Menteri Keuangan. Anggaran ujian sekitar Rp 600 miliar termasuk yang ditahan. Penyebabnya, antara lain, data peserta ujian yang kurang akurat. Versi Kementerian Pendidikan, jumlah peserta ujian sekitar 14 juta, tapi hitungan Kementerian Keuangan hanya 12 juta.
Blokir anggaran itu baru dibuka pada Maret lalu, setelah Kementerian Pendidikan memperbaiki isian anggaran. Dampaknya tentu besar. Setelah anggaran bisa cair, barulah perusahaan pemenang tender pencetakan meneken kontrak. Dana untuk pengawas ujian juga baru ditransfer ke semua provinsi beberapa hari sebelum ujian digelar.
Menteri Nuh mesti mengevaluasi pula kinerja anak buahnya, terutama dalam menyusun anggaran, mempersiapkan, dan mengawasi pekerjaan besar di kementerian ini. Pak Menteri harus berani mencopot pejabat yang tak kompeten atau siapa saja yang mempermainkan proyek naskah ujian. Bila ada indikasi korupsi, segera laporkan ke penegak hukum. Tanpa tindakan tegas, Menteri Pendidikan akan dinilai tak mampu mengendalikan kementerian yang memiliki anggaran berlimpah ini.
berita terkait di halaman 100
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo