Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERINGKUSAN Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung Setyabudi Tejocahyono membuka dimensi baru pengusutan korupsi di negeri ini. Secara mengejutkan, dalam konfrontasi Setyabudi dengan Toto Hutagalungtersangka lain kasus inidi depan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Toto mengatakan ¡±mitra rasuah¡±-nya itu tidak hanya sering menuntut setoran uang, tapi juga meminta layanan seksual.
Sebelum ditangkap di ruang kerjanya pada 22 Maret lalu, Setyabudi mungkin tak pernah berpikir menambah panjang daftar hakim yang dibekuk komisi antirasuah sejak 2010. Sebelum dia sudah ada Ibrahim, hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta; Syarifuddin, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; Imas Dianasari, hakim ad hoc hubungan industrial; Kartini Manurung, hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang; dan Heru Kusbandono, hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pontianak. Penangkapan Setyabudi terjadi menjelang ia dipromosikan sebagai hakim tinggi di Padang.
Setyabudi ditangkap lantaran diduga menerima suap perkara korupsi dana bantuan sosial Pemerintah Kota Bandung 2009-2010. Dalam kasus itu ia duduk sebagai ketua majelis, dengan anggota Ramlan Comel dan Jojo Johari. Adalah melukai rasa keadilan ketika tujuh terdakwa dalam perkara ini hanya divonis rata-rata satu tahun, padahal kerugian negara mencapai Rp 66,5 miliar.
Jika benar "nyanyian" Toto tentang layanan seksual itu, modus ini bisa dikategorikan gratifikasi. Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi didefinisikan sebagai sesuatu yang diberikan untuk penyelenggara negara dan pegawai negeri sipil. Kalau Setyabudi menerima layanan syahwat itu dalam kedudukannya sebagai hakim—apalagi yang sedang beperkara—perbuatan tak senonoh itu jelas merupakan gratifikasi.
Seperti didedahkan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 12, gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas. Pemberian itu bisa berupa uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lain. Direktur Gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi Giri Suprapdiono sudah menyatakan layanan mesum yang ditagih Setyabudi bisa masuk lingkup "fasilitas lain" dalam undang-undang tersebut.
Andai terbukti menerima suap berupa "abonemen" layanan seksual, Setyabudi tak hanya melakukan kejahatan luar biasa yang disebut korupsi, tapi juga mengkhianati kehormatan individu dan martabat jabatan profesionalnya. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim mengharuskan dia menjunjung sikap profesional demi menegakkan keadilan dalam menangani perkara. Sikap profesional itulah yang kini dipertaruhkan ketika ia "menegakkan keadilan" di tengah lumpur suap dan percabulan.
Sebelum Setyabudi, ada 49 hakim yang telah diberi sanksi oleh Mahkamah Agung selama periode Januari-Maret tahun ini. Tak semua sanksi itu memenuhi rasa keadilan publik, meskipun sebagian dari mereka dijatuhi sanksi berupa pemberhentian tidak hormat. Setyabudi tak hanya menambah panjang barisan itu, tapi juga membuka mata kita terhadap varian gratifikasi yang selama ini belum terjamah.
Para penyelidik dan hakim yang mengadili Setyabudi, kelak, tak perlu ragu memasukkan "layanan syahwat" sebagai gratifikasi. Bahkan, jika memang tujuannya mencari putusan yang seadil-adilnya, Setyabudi juga bisa dikenai pasal pelecehan terhadap perempuan—sesuatu yang tak dapat dihindarinya bila keterangan "kongsi" suapnya terbukti.
berita terkait di halaman 120
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo