SELAMA hidup saya, baru dua kali saya menjamah tangan Bung Karno. Yang pertama waktu saya masih duduk di bangku sekolah menengah pada zaman revolusi di Yogya. Waktu itu hubungan antara para pemimpin kita dan rakyat sangatlah dekatnya. Bagaimana tidak. Hari demi hari para pemimpin itu bergantian berpidato menjelaskan arti revolusi dan memiliki republik yang merdeka. Media massa, meskipun masih sederhana dan sedikit, tidak kunjung berhenti memuat pidato, pernyataan, dan gambar-gambar mereka. Dan yang juga penting, rakyat, masyarakat luas, merasa terlibat dengan semua peristiwa yang dihidup-hidupkan itu. Tua, muda, anak-anak sekolah, tanpa kecuali seakan merupakan unsur yang tidak boleh ketinggalan dalam arus gelombang yang nyaris bergulung sepanjang waktu. Pada peringatan setahun kita merdeka, misalnya, Yogya tenggelam dalam lautan kegembiraan. Rumah ditinggalkan rakyat untuk ikut menyaksikan rapat raksasa di alun-alun, dan pada malam harinya ikut mondar-mandir di Malioboro memekikkan "merdeka" kepada siapa saja yang dijumpai. Dan waktu delegasi Belanda datang di Yogya untuk berunding dengan para pemimpin kita, kami beramai-ramai datang ke stasiun Tugu. Kendaraan mereka, yang di mata kami sangatlah bagus dan mulusnya, kami kepung, kami gedor-gedor pintu dan slebornya. Dan yang kasihan pemimpin boneka delegasi itu, Raden Abdulkadir Widjojoatmodjo. Di samping mobilnya kami gedor pintunya, orangnya kami soraki dan kami ejek, jendela mobilnya yang tertutup itu kami ludahi. Keruan saja, para pemimpin kita, Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, memarahi rakyat yang kali itu kelewatan luapan emosinya. Bagaikan bapak memarahi anak yang bengal, beliau-beliau itu mengingatkan kami bahwa republik yang sedang kita bangun adalah republik yang beradab. Dan rakyat mendengarkan petuah itu dengan saksama dan mematuhinya. Jarak antara Bung Karno dan para pemimpin waktu itu memang terasa sangat dekat. Peristiwa tatap muka antara mereka dan rakyat hampir merupakan peristiwa sehari-hari. Gedung Agung di Jalan Malioboro, yang waktu itu menjadi istana presiden dan pusat pemerintah RI, bukanlah tempat yang angker dan susah dijamah rakyat. Para pemimpin rakyat dengan gampang keluar masuk istana itu untuk bertemu dengan Bung Karno atau pemimpin lainnya. Dan sebulan sekali pada hari Minggu, para pemimpin itu menyelenggarakan ceramah politik terbuka bagi para pelajar. Pada waktu itulah saya mendapat kesempatan menjamah tangan Bung Karno. Selama satu jam mendengarkan ceramah beliau dengan duduk nglesot di lantai yang dingin itu, saya dan kawan-kawan memang telah bersepakat untuk menyerbu beliau sehabis ceramah. Rasanya, satu jam itu lama sekali usai. Bung Karno waktu itu tampil dengan gagahnya dalam setelan baju putih yang waktu itu kami sebut dengan "setelan Bung Karno". Dengan penuh gusto, beliau bercerita tentang kebesaran dan kehebatan revolusi dan republik kita. Kami semua mendengarkan dengan khusyuk, penuh perhatian, dan dengan serius mencatat semua yang diceramahkan itu pada notes kami. Waktu akhirnya ceramah usai, kami pun berebut menjabat tangan beliau. Di rumah, di sekolah, di mana-mana hampir tanpa hentinya saya mengecap: saya sudah menjabat tangan Bung Karno, presiden kita. Memang, kalau kita kenang sekarang, republik kita waktu itu serasa satu rumah tangga besar yang seatap, tempat semua anggotanya membagi suka-dukanya dengan akrab dan hangatnya. Karena itu, alangkah sedih kita waktu pada tanggal 20 Desember 1948, sehari sesudah Belanda menduduki Yogya, di pamflet selebaran Belanda kita melihat gambar Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan para pemimpin lainnya ditawan oleh Belanda dan kemudian dinaikkan ke dalam jip untuk diangkut dengan pesawat terbang ke pembuangan. *** Kesempatan kedua menjabat tangan Bung Karno adalah pada tahun 1965, pada waktu beliau sudah di ambang senja kekuasaannya. Atau meminjam metafor Gabriel Garcia Marquez, novelis cemerlang dari Colombia itu, pada waktu beliau sudah berada dalam kondisi the autumn of the patriarch. Waktu itu saya bersama dengan para anggota pengurus Ikapi diterima beliau di Istana Bogor untuk berkenalan, makan malam, serta berlenso bersama para anggota kabinet. Alangkah lain Bung Karno yang saya jabat tangannya di Yogya dengan Bung Karno pada malam itu di Bogor. Di Yogya saya melihat dengan penuh kekaguman seorang presiden muda, gagah, penuh greget. Di Bogor saya melihat dengan perasaan sedih dan iba seorang presiden yang capek, yang tahu bahwa kekuasaannya sudah menjelang akhir, tetapi belum mau menerima semua itu sebagai suatu proses yang pasti tiba. Beliau berlenso dan berlenso dengan para anggota kabinet serta ibu-ibu hingga larut malam. Saya tidak tahu apa saja yang berkecamuk dalam pikiran dan perasaan bapak-bapak selagi mereka berlenso. Esok harinya, Emil Salim, yang harus khusus datang dari Jakarta pada kongres Ikapi untuk berceramah, memberi tahu bahwa lautan mahasiswa dan pelajar sudah mulai menguasai jalan-jalan di Jakarta. Musim gugur sang patriarch agaknya sudah datang .... * * * Pada satu hari pada tahun 1982, Arifin C. Noer begitu saja datang ke rumah menawarkan peran Bung Karno dalam film Pengkhianatan G-30-S/PKI. Tidak banyak waktu yang diberikan Arifin kepada saya. Esok harinya saya sudah berada di Istana Bogor untuk dibotak kepala saya mirip dengan kepala Bung Karno. Muka dirias, diusahakan untuk mendekati sedekat mungkin wajah beliau. Selebihnya terserah kepada saya bagaimana saya mesti memasukkan Bung Karno ke dalam tubuh saya. Pengalaman berjabat tangan yang hanya dua kali dalam kurun waktu yang hampir 20 tahun itu pastilah tidak cukup untuk memberi bahan penghayatan yang mendalam. Tetapi waktu Arifin memerintahkan kepada saya agar berdiri merenung di jendela menggambarkan kebimbangan serta kegamangan Bung Karno, saya jadi teringat wajah Bung Karno menjelang lenso dan menjabat tangan saya. Dan waktu satu adegan harus diambil di pavilyun Istana Bogor, di tempat tinggal yang sesungguhnya dari Bung Karno dan Bu Hartini, saya terkejut melihat kesahajaan rumah itu, rumah yang pada hakikatnya adalah rumah seorang presiden. Saya tidak habis pikir bagaimana Bung Karno yang pesolek, suka kecantikan dan keindahan, nrimo, puas dengan rumah yang sederhana dan kecil begitu. Kemewahan yang saya lihat hanyalah lukisan-lukisan Basoeki Abdullah yang terpancang di tembok-tembok rumah itu. Dan menurut para pembantu rumah tangga presiden di pavilyun itu, Bung Karno juga sederhana saja dalam makan sehari-hari. Pecel sayur lodeh, sambal terasi, tempe goreng, lalapan -- menu makanan sehari-hari rata-rata keluarga Jawa. Di antara pengambilan gambar, saya banyak mengobrol dengan para bekas pembantu rumah tangga Bung Karno di Istana Bogor. Maksudnya untuk mencoba lebih meresapkan penghayatan saya terhadap hidup sehari-hari di istana itu. Tetapi aneh sekali. Mereka melapor kepada saya, seperti saya Bung Karno sendiri, tentang bagaimana kebersihan serta kerapian rumah serta kebun sekarang sudah terbengkalai. Kalau Bapak dulu, mah, pasti sudah marah melihat itu semua, katanya. Dan beberapa ibu bekas pembantu itu memegang-megang tangan saya dengan mata yang berkaca-kaca. Bapak hidup lagi, kata mereka. Tahun yang lalu, 1987, sekali lagi Arifin C. Noer minta saya untuk main jadi Bung Karno dalam film Jakarta 1966. Juga kali ini tidak banyak waktu persiapan yang diberikan. Sambil jalan saya sekali lagi mesti "masuk" menjadi Bung Karno. Alangkah melelahkan peran itu kali ini. Bung Karno dalam film ini adalah Bung Karno yang beringas, yang belum mau menyerah dengan perkembangan yang jelas menjurus kepada keruntuhannya. Adegan demi adegan menggambarkan Bung Karno dengan penuh gusto marah (atau pura-pura marah) kepada seratus menteri, para jenderal, dan para mahasiswa. Sungguh satu peran yang dahsyat dan sangat menantang. Tapi toh ada dua adegan yang tidak akan mungkin saya lupakan untuk seumur hidup saya. Yaitu pada waktu akhirnya Bung Karno berhadapan sendiri dengan Jenderal Soeharto, waktu semua kartu di tangannya sudah tampak mulai rontok semua. Beliau bertanya, "Har, aku ki arep kok apakake?" (Har, aku ini mau kau apakan?). Dan jenderal itu dengan tenang mengatakan bahwa dia akan diperlakukan sebagai orang tua yang dihormati. Jenderal itu berjanji, sebagai layaknya seorang anak Jawa yang tahu menghormati orangtuanya, akan mikul duwur lan mendem jero, menjunjung tinggi (kehormatan keluarga) dan menanam dalam (aib keluarga). Dan adegan kedua yang akan terus saya kenang adalah adegan pada waktu Bung Karno pamit kepada sederet pelayan istana yang berdiri berjajar di dekat tangga. Mobil R.I. sudah siap untuk membawa Bung Karno pindah dari Istana Merdeka ke Wisma Yaso. Bung Karno dengan langkah pelan menjabat tangan para pelayan itu satu demi satu. Dengan akrab dan sekali-sekali menepuk pundak dan memeluk bahu pelayan-pelayan tersebut. Saya melihat beberapa pelayan itu menitikkan air mata. Dan mereka bukan aktor. * * * Saya menatap lukisan sablon yang saya beli bertahun lalu di Malioboro. Ia terpancang di atas lemari buku saya. Bung Karno dengan uniform panglima tertinggi dengan tangan sebelah memegang keris tampak gagah. Kutitipkan Negara dan Bangsa Kepadamu, kata lukisan sablon itu ....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini