IA tokoh yang tak selesai-selesainya dibicarakan. Ia sosok sejarah yang kontroversial dan kompleks. Suatu masa para pengikutnya menjadikannya tokoh kultus yang dipuja. Menjelang akhir hayatnya, ia dicaci di jalan-jalan. Kini setelah lebih dari 10 tahun ia wafat, beribu-ribu anak muda malah mengaguminya. Anehnya, mereka ini umumnya tak mengenalnya, tak pernah membaca tulisan-tulisannya, tak pernah mendengar gelegar retorik pidatonya, dan hanya mengenal potretnya. Tampaknya bagi generasi muda sekarang, ia bagaikan sosok bayang-bayang yang besar, sangat besar. Dan bayang-bayang itulah yang hadir ketika namanya kembali muncul bulan lalu dalam buku Sewindu Dekat Bung Karno susunan Bambang Widjanarko, bekas salah seorang ajudan presiden pertama republik itu. Kemudian awal bulan ini, muncul Siapa Menabur Angin karangan Soegiarso Soerojo, yang sejak dua pekan lalu ramai dibicarakan orang itu. Buku Sewindu, yang Selasa ini didiskusikan oleh Lingkaran Studi Indonesia di Jakarta, tak banyak memancing reaksi. Mungkin karena Widjanarko masih belum mau bercerita semuanya. Tapi buku Menabur cukup menggemparkan. Di situ diungkap Bung Karno sebagai "komunis", sekaligus orang yang mendalangi "Gerakan 30 September" (disingkat G-30-S atau "Gestapu") yang membunuh sejumlah jenderal TNI-AD itu. Menarik, bawa buku itu menimbulkan reaksi. Jauh sebelumnya, keterlibatan Bung Karno dalam komplotan kekerasan di tahun 1965 itu pernah diungkap oleh sementara pers pada tahun 1967 dan 1968. Mungkin orang sudah melupakannya, sementara generasi kini tak sempat membaca dokumentasi. Tahun lalu hal itu juga dibeberkan dalam buku: Memenuhi Panggilan Tugas jilid VI oleh Jenderal (Purn.) A.H. Nasution. Dan sebelumnya, 1978, Kopkamtib menyebut-nyebutnya dalam buku putih mengenai G-30-S/P Hanya saja, buku Nasution dan Kopkamtib kurang populer dan dikenal luas. Menuduh Bung Karno sebagai "terlibat G-30-S" memang bukan hal baru, tapi menuduhnya "komunis"? Yang pasti, Soekarno seorang Marxis. Ia mengikuti teori Karl Marx, pemikir masalah sosial ekonomi Jerman abad ke-19 yang melahirkan paham dan gerakan sosialisme yang oleh pengikutnya dianggap "ilmiah". Teori ini dikembangkan oleh Lenin di Uni Soviet menjadi Marxisme-Leninisme, yang kemudian juga disebut komunisme. Tapi adakah Soekarno pernah tercekam oleh itu? Di dalam otobiografinya, ia berkata, lewat penulis Hollywood Cindy Adams "bahwa ia buat pertama kali belajar kenai dengan teori Marxisme dari seorang guru HBS yang berhaluan sosial-demokrat ...." Sejak itu ia menganggap teori Marxisme satu-satunya teori "kompeten" buat memecahkan soal sejarah, dan kemasyarakatan. Ia memang anak zaman yang telah lama berlalu, yang tumbuh di tahun 1920-an. Ketika tinggal (mondok) di rumah H.O.S. Tjokroaminoto di Surabaya, ia juga sering terlibat dalam diskusi politik. Tjokroaminoto, pendiri Sarekat Islam, dan godfather kaum pergerakan menentang penjajahan itu, membawanya lebih jauh ke sosialisme -- yang bagi Tjokroaminoto bersemangat sama dengan Islam. Sementara itu, kawan-kawan sepemondokannya seperti Alimin dan Muso -- yang kelak mendirikan Partai Komunis Indonesia -- "memperkenalkanku kepada Marxisme", seperti tutur Bung Karno sendiri. "Aku seorang sosialis. Aku seorang kiri," katanya lagi. "Kiri", menurut terminologi Marxisme, berarti maju, "progresif", yang menghendaki perubahan sosial. Lawannya ialah "kanan", ialah kaum "reaksioner" atau "kontrarevolusi". Menurut Soekarno, "Kehendak untuk menyebarkan keadilan sosial adalah kiri". Memang, "kiri" bisa punya daya tarik bagi anak muda bahkan sering jadi semacam mode kalau bukan keyakinan. Apalagi di awal abad ke-20 di Indonesia, tatkala api protes mengendap-endap. Keadaan sosial ekonomi rakyat memang bobrok. Ketika itu, terutama di kota-kota besar, perbedaan upah begitu timpang, antara pribumi dan kulit putih biarpun untuk pekerjaan yang sama. Dan di bawah itu, hidup memang terhimpit. Menurut penelitian pada 1926, yang dikutip oleh John Ingleson dalam sebuah buku sejarah gerakan buruh di Indonesia yang baru-baru ini terbit, In Search of Justice, biaya hidup tiap kepala keluarga orang Indonesia saat itu kurang dari 100 gulden. Sepuluh tahun kemudian keadaan tak beranjak. Penelitian di Jakarta pada 1937 terhadap para pekerja kota menunjukkan bahwa 63% dari mereka membayarkan upah mereka sebagai cicilan utang kepada tuan tanah atau rentenir. Mereka tinggal di kawasan kumuh dengan fasilitas yang sangat tidak memadai. Menurut Soekarno, keadaan sebenarnya bisa lebih parah. Penghasilan rata-rata orang Indonesia ketika itu melorot lagi jadi 2,5 sen alias sebenggol sehari. "Aku melihat rakyat tani dengan kaki ayam berjalan lesu menuju pondoknya yang buruk. Aku melihat kolonialis Belanda duduk mencekam di atas kereta terbuka yang ditarik oleh dua ekor kuda yang mengkilat," katanya lagi dalam otobiografi (dalam versi Indonesia) Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat itu. Tapi seraya Bung Karno mengambil garis "kiri" -- seperti banyak pemimpin pergerakan nasional waktu itu -- pada saat yang sama ia berseru untuk persatuan. Persisnya, persatuan antara kekuatan yang melawan penjajahan. Dalam hubungan inilah ia ingin mempersatukan kaum nasionalis, Islam, dan Marxis yang waktu itu sudah punya pengikut di masyarakat jajahan yang tengah marah. Bahkan ketiga aliran itu hendak disatukannya dalam satu program partai. Kemudian dicobanya untuk jadi satu falsafah hidup. Ketika didirikan Perserikatan (kemudian Partai) Nasional Indonesia pada 1927, asasnya ialah: Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi. Lalu katanya, "Saya tetap nasionalis, tetap Islam, tetap Marxis. Sintesa dari tiga hal inilah yang memenuhi saya punya dada." Sintesa seperti itu, bagi banyak orang, konon mustahil. Tapi tidak bagi Bung Karno. Ketika itu, 1927, pergerakan nasional mandek. Sarekat Islam -- partai massa yang pertama dan besar -- mulai susut. Sementara itu, beratus-ratus pemimpin pergerakan dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda ke Boven Digul di Irian, gara-gara kegagalan pemberontakan PKI (yang baru berusia 6 tahun) pada November 1926. Dalam keadaan seperti itulah ia mencoba membangkitkan kembali perlawanan melawan kolonialisme, dengan mempersatukan semua golongan. Maka, lewat Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, artikel yang ia tulis ketika baru berusia 25 tahun, ia yakin "bahwa kapal yang membawa kita ke Indonesia Merdeka itu yalah Kapal Persatuan adanya". Cuma yang jadi soal, bisakah dengan kapal besar itu Soekarno mengangkut kaum nasionalis, Islam, dan Marxis sekaligus. Golongan Marxis sendiri, sesuai dengan doktrinnya, harus selalu siap untuk menentang kekuatan lain dan jadi pemimpin. Dapatkah mereka diharapkan setuju berdamai di kapal itu? Di situlah agaknya perbedaan Bung Karno dengan kaum komunis. Kelak hal ini akan menimbulkan kesulitan besar, dan kegagalannya, dalam memimpin jalannya Republik Indonesia yang bersatu. Terutama di hari-hari tuanya, ketika gagasan lama itu benar-benar ia laksanakan dalam "persatuan Nas-A-Kom" (nasionalis, agama, dan komunis) yang mewarnai politik Indonesia menjelang pertengahan tahun 1960-an. Soalnya, bagi kaum komunis, perjuangan kelas adalah suatu kenyataan yang mutlak. Juga, sekaligus, sebuah tugas sejarah. Kaum komunis menamakan diri pembawa suara "kelas proletariat", yakni kelas buruh yang, seperti di dalam pandangan Marx, berada di pusat-pusat industri yang kapitalistis. Karena dalam posisinya itu ia dianggap lebih "maju" ketimbang golongan masyarakat lain, termasuk petani. Jadi buruh-lah yang harus memimpin perjuangan melawan "feodalisme" dan "kolonialisme". Artinya, menurut mereka, Partai Komunis-lah yang memimpin, sebab partai ini sertamerta dianggap wujud tertinggi organisasi kaum proletar. Tapi sampai akhir hayatnya, Bung Karno belum pernah menyatakan bahwa Partai Komunislah yang harus memimpin perjuangan. Bung Karno memang tak pernah menyelesaikan soal, partai manakah yang harus jadi penggerak utama dalam perjuangan -- meskipun ia pernah berbicara tentang perlunya "partai pelopor". Ia sendiri, meskipun oleh orang Partai Nasionalis Indonesia (PNI) disebut pemimpin mereka, tak nampak mau memihak partai apa pun akhirnya. Di situ pula ia berbeda dengan kaum komunis, yang menganggap partai sebagai bentuk tertinggi alat perjuangan. Perbedaan lain antara pendirian Bung Karno dan kaum komunis terletak dalam cara memandang agama. Bung Karno yang pernah berpesan agar keranda jenazahnya ditutupi dengan bendera gerakan Muhammadiyah -- suatu ketika mengatakan, sosialisme Indonesia adalah sosialisme "yang dikurangi dengan pengertian materialistisnya yang ekstrim, karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang terutama takut dan cinta kepada Tuhan". Ia memang mencoba melahirkan sesuatu yang lebih cocok dengan kondisi Indonesia. Ia memang, kadang-kadang, mencoba mengutarakan teori revolusi yang tersendiri. Berbeda dengan para pemimpin gerakan komunis di negeri-negeri lain, ia tak pernah merencanakan suatu revolusi dengan senjata. Di dalam pidato Indonesia Menggugat, ia menegaskan bahwa revolusi yang hendak dilancarkannya bukanlah revolusi dengan kekerasan. Itu juga yang menyebabkan Bung Karno -- di seluruh tulisannya -- tak pernah membahas peran militer dalam perjuangan. Kelak, hal ini juga yang tambah mempersulitnya dalam menentukan hubungan dengan ABRI. Pada saat yang sama, tak adanya konsepsi tentang itu yang menyebabkan ia berbeda dengan PKI. Sebab, meskipun PKI sejak awal gagal membangun "sayap militer" bagi kekuatannya, partai ini punya "resep" yang diambil dari pengalaman Soviet, Cina, ataupun Vietnam. Yakni, tentara harus dikendalikan oleh Partai Komunis. Dengan pandangan yang lain dari kaum komunis itulah suatu ketika Bung Karno sendiri mengatakan kepada Cindy Adams, "Tidak, aku bukan komunis. Aku seorang sosialis. Aku seorang kiri." Dan di depan kongres PNI, 1960, ia menjelaskan, "Saya orang beragama, saya bukan komunis." Tapi toh pada titik-titik lain, orang bisa melihat betapa dekatnya Bung Karno dengan PKI, tapi juga dalam isi pikirannya. Bung Karno sendiri pernah berkata, "Terus terang saja, antara PKI dengan saya di dalam hal cita-cita sosialisme, di dalam banyak hal banyak sekali persamaan." Bung Karno meman terkenal sebagai penganjur "paham Marhaenisme". Marhaenisme -- berawal dari kata "Marhaen", konon nama seorang petani yang ditemui Bung Karno suatu hari di bumi Jawa Barat -- memang dalam arti tertentu sering dibedakan dari Marxisme-Leninisme. Tapi membaca tulisan Bung Karno sendiri di tahun 1933, tentang perbedaan "marhaen dan proletar" dalam Di Bawah Bendera Revolusi, orang bisa melihat justru pengaruh Marxis-Leninis dalam pikiran Bung Karno. "Marhaen", bagi Bung Karno, adalah semua kaum melarat di Indonesia -- termasuk petani dan pedagang kecil. Pak Marhaen toh seorang yang punya alat produksi, seperti sebidang tanah sempit dan sebuah cangkul. Dengan demikian, ia bukan seorang proletar, yang cuma punya tenaga untuk disewakan. Tapi dalam pengertian "marhaen" sebagai "kaum", oleh Bung Karno dimasukkan juga kaum proletar. Yang membawa ajaran Bung Karno ini dekat sekali dengan Marxisme-Leninisme ialah tentang posisi "kaum proletar". Seperti PKI, di sini Bung Karno juga menaruh "kaum proletar" sebagai "pelopor". Ibarat dalam perang, kata Bung Karno, "tentara kita adalah tentaranya Marhaen . . ., tetapi barisan polopor kita adalah barisannya kaum buruh, barisannya kaum proletar". Persamaan yang lebih menentukan antara pikiran Soekarno dan PKI ialah yang menyangkut "teori" adanya dua tahap dalam revolusi. Dalam "teori" ini, revolusi terdiri atas dua tahap. Yang pertama tahap "nasional", atau juga disebut "nasional-demokratis". Yang kedua tahap "sosialistis". Dengan jelas hal ini dikemukakan Mao Zhedong ketika ia menulis tentang masyarakat Cina dan revolusi Cina -- sebuah risalah yang dijiplak begitu saja oleh Ketua Umum PKI D.N. Aidit. Sumbernya setidaknya sama: tulisan Plekhanov atau Lenin. Yang menarik ialah bahwa "teori" tentang dua tahap revolusi itu juga ada dalam buku Bung Karno di tahun 1947, Sarinah. Di situ Bung Karno berkata, "Kewajiban atau tugas bersejarahnya revolusi nasional kita ini ialah mendirikan satu negara nasional Indonesia. Tugas bersejarah ini harus selesai lebih dulu sebelum revolusi nasional itu minta diri, untuk diganti dengan revolusi sosial." Soal dua tahap itu kemudian diulang lebih jelas dalam pidato Tahun Vivere Pericoloso atau Tavip di tahun 1964 -- yang dikutip oleh koran PKI Harian Rakjat, waktu kaum komunis mengganyang tulisan Sajuti Melik yang mencoba menafsirkan ajaran Bung Karno di pelbagai harian. Tapi toh berbeda dengan PKI, pada Bung Karno masih samar soal ini: bagaimana, dan di bawah pimpinan siapa, tahap pertama revolusi itu harus dilalui dan digantikan oleh tahap kedua. Bagi PKI jelas: di seluruh proses itu, yang memimpin adalah PKI sendiri, partai "kelas proletar". Golongan lain hanya boleh ikut sebagai embel-embel dalam "Front (Persatuan) Nasional". Bagi Bung Karno? Entahlah -- meskipun ia juga, seperti PKI, mengatakan bahwa yang pelopor adalah "barisannya kaum buruh". Ada memang kekaburan ide Bung Karno di soal ini. Memang akhirnya mungkin, karena adanya titik-titik persamaan antara idenya dan ide PKI, Bung Karno pun jadi terbujuk lebih dekat ke kalangan komunis. Setidaknya, ia jadi erat kepada Nyoto, ahli ideologi PKI itu. Bahkan menurut buku kenangan Ganis Harsono, Cakrawala Politik Era Sukarno, April 1965, Bung Karno telah menyerahkan naskah pidato resminya untuk ditulis Nyoto. Meskipun, kata Ganis juga, pada saat yang sama Bung Karno mulai berkonflik dengan tokoh PKI yang satu lagi, Aidit. Tapi jika ada yang masih kabur dalam ide Bung Karno, mungkin karena ia adalah tokoh yang belum selesai pada suatu kesimpulan. Sampai akhir hayatnya, "saya kira ia belum selesai mencari," kata Soerjanto Poespowardojo, dosen filsafat FS UI. Menurut Soerjanto, Bung Karno lebih banyak memecahkan persoalan dengan melakukan tindakan politik praktis, tidak lagi mengembangkan ideologi yang mendasar. Mungkin juga karena ia anak dari suatu zaman yang telah surut. Zaman ketika ia menumbuhkan pikirannya adalah zaman ketika orang mencoba memberi jawabanjawaban besar. Sosialisme, misalnya, dalam versi Marxisme-Leninisme maupun bukan, adalah ikhtiar memberikan jawaban besar itu. Terbukti kemudian, komunisme gagal. Marxisme makin kelihatan kekeliruannya -- bahkan ide sosialisme yang nonkomunis di Barat juga macet. Bung Karno memang sudah meninggal ketika di Cina orang mulai menggugat ide Mao dan Marxisme mulai dibenci. Tapi sebelum ia wafat pun sudah nampak, dalam kondisi zaman yang berubah, ajaran Marxisme yang diyakininya sudah tak mampu menyelesaikan keterbelakangan ekonomi Indonesia. Bersalahkah Bung Karno? Yang jelas, dia tokoh sejarah, bukan mitos. "Ia adalah orang besar dengan perbuatan dan jasa besar serta kesalahan besar pula," kata Sejarawan Taufik Abdullah. Tragisnya, begitu menurut Sejarawan Onghokham, Republik Indonesia akhirnya menjadi realitas -- tanpa satu pun cita-cita dan ideologi Soekarno sepenuhnya dipraktekkan. Tapi, biarpun kian lamat-lamat, ia tetap sebuah inspirasi. Hasratnya untuk kesatuan bangsa, misalnya, yang menyebabkan ia menentang bila hak-hak asasi manusia dicantumkan dalam konstitusi, tetap sering bergema sampai kini. Kebesaran pandangannya untuk tak membedakan suku, ras, dan agama, tetap jadi fondasi yang amat berharga sampai sekarang. Ia memang seorang pahlawan -- bukan hanya karena dimaklumkan demikian. Goenawan Mohamad, Budiman S. Hartoyo, Priyono B. Sumbogo, Budiono Darsono (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini