PADA mulanya adalah sebuah demokrasi yang kacau. Orang kini menamakannya "demokrasi liberal", dan yang terjadi di tahun 1950-an itu memang sebuah imitasi dari demokrasi parlementer gaya Negeri Belanda. Kabinet bisa cuma berumur beberapa hari, lalu dijatuhkan dan diganti. Program tak ada yang berjalan. Lalu orang pun kesal. Dan lahirlah "Demokrasi Terpimpin". Ketika Presiden Soekarno memaklumkan sistem demokrasi baru itu di tahun 1959 dengan sebuah dekrit, ada seorang yang mengecamnya. Ia menulis sebuah brosur kecil, berjudul Demokrasi Ktta, terbit di tahun 1960. Di dalamnya tertulis, antara lain, bahwa ia tak meragukan Soekarno sebagai "seorang patriot", yang ingin melihat Indonesia jadi adil dan makmur "selekas-lekasnya". Bung Hatta tahu itulah yang mendorong Bung Karno memaklumkan sistem "demokrasi terpimpin". Tapi ia memperingatkan tabiat Bung Karno yang hanya suka "memandang garis besarnya saja". Sebab itu, kata Hatta, Soekarno "sering mencapai yang sebaliknya dari yang ditujunya". Hatta kini mungkin terbukti benar. "Demokrasi terpimpin", yang bagi Hatta adalah sebuah kediktaturan, tak menghasilkan keadilan dan kemakmuran. Bahkan cita-cita Bung Karno sendiri, untuk menggalang persatuan nasional -- sebuah obsesi lamanya -- berakhir dengan tragis. Soal pokok yang dihadapi Bung Karno dalam bidang politik ialah bagaimana mengelola hubungan antara ABRI dan PKI. Ia sendiri tak pernah merumuskan bagaimana peran ABRI di dalam suatu struktur politik yang dicita-citakannya. Pada sisi lain, ia juga tidak jelas mempunyai konsepsi, bagaimana meletakkan PKI dalam front persatuan nasional yang diinginkannya: sebagai partai pelopor atau bukan. Di masa itu, memang akhirnya dua kekuatan besar itu yang berhadapan frontal meskipun dengan sedikit pura-pura di sana-sini. Hanya tujuh tahun setelah "Peristiwa Madiun" (lihat Madiun 40 Tahun Silam) PKI telah tumbuh lagi. Setelah Pemilu 1955, PKI muncul sebagai si No. 4 dalam mengumpulkan suara. Dengan meraih 6,1 juta lebih pemilih, partai ini memperoleh 39 kursi, di bawah PNI, Masyumi, dan NU. Sepuluh tahun kemudian, raksasa itu jadi gergasi. 24 Mei 1965, dalam perayaan ulang tahunnya ke-45 di Stadion Utama Senayan, PKI muncul memamerkan kekuatannya sebagai partai politik terkuat di Indonesia. Hari itu Jakarta menjadi kota yang berwarna merah. Lambang palu-arit dipasang di mana-mana, dalam ukuran megah. Jalan-jalan kota disesaki pendukung partai itu. Dan Ketua CC PKI, D.N. Aidit, pagi itu mengumumkan partainya sudah memiliki tiga juta anggota dengan 20 juta simpatisan. Pada saat itu, tampak hadir Presiden Soekarno. Ia ikut melambai bersama Aidit. Ada yang mengatakan bahwa hubungan antara Aidit dan Bung Karno waktu itu mulai jelek. Tapi pada umumnya orang menduga bahwa bagaimanapun, Pemimpin Besar Revolusi telah jauh lebih dekat ke PKI ketimbang ke yang lain -- meskipun ia tak jelas-jelas memusuhi ABRI. PKI memang bertambah mekar saja sejak PSI, dan terutama Masyumi, yang selama ini jadi saingannya dibubarkan Presiden Soekarno, Agustus 1961, sebab dituduh terlibat dalam pemberontakan PRRI di Sumatera. Dalam pada itu hubungan Soekarno dengan partai "progresif-revolusioner" bertambah mesra. Tapi tak berarti bahwa Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang membawa Indonesia ke dalam "demokrasi terpimpin", cuma menaikkan peran PKI. Terutama setelah berlakunya undang-undang keadaan darurat (SOB), 1957. Ini terjadi setelah pecah pemberontakan Permesta di Sulawesi dan disusul PRRI di Sumatera. ABRI dengan cepat juga tumbuh sebagai suatu kekuatan politik. Dibentuknya Peperpu (Pelaksana Perang Pusat) di Jakarta dan Peperda Peperda (Pelaksana Perang Daerah) di daerah-daerah sebagai bagian dari pelaksanaan SOB menyebabkan para panglima di daerah memiliki tangan untuk menjangkau gerakan-gerakan PKI. Berikutnya kampanye pembebasan Irian Barat, yang semula berupa upaya diplomatis tapi menjadi operasi-operasi militer sejak akhir 1961, memberikan suasana yang lebih baik bagi ABRI. Tekanan yang dilakukan ABRI, berupa penyusupanpenyusupan pasukan ke daerah yang kini bernama Irian Jaya itu, disertai kegiatan diplomasi, membuat Belanda akhirnya bersedia maju ke meja perundingan. Pada 1963, Irian Barat diserahkan kepada Indonesia (lewat tangan PBB). Ini juga meningkatkan suhu politik -- dan peranan tentara. Dalam kabinet yang dibentuk pada 1959, misalnya, hampir sepertiga para menteri diangkat dari ABRI, dan pada 1960 lima gubernur berasal dari ABRI. Ini menyebabkan PKI kepanasan. Sebab itu, pada Juli 1960, PKI mengedarkan sebuah dokumen berjudul, "Sebuah Evaluasi Mengenai Kabinet Kerja Sesudah Satu Tahun Bekerja". Di situ PKI mengecam sejumlah besar menteri, termasuk Menteri Pertahanan-Keamanan Jenderal A.H. Nasution. Sukirman, tokoh CC PKI, memaki demokrasi terpimpin sebagai "suatu sistem politik dan ekonomi semifasis". Ucapan Sukirman didengar ABRI. Ia ditangkap. Juga beberapa pimpinan PKI lainnya ditahan untuk mempertanggungjawabkan dokumen yang menghina para menteri dan kabinet. Awal Mei 1962, Harian Rakjat -- koran resmi partai -- dibredel militer untuk beberapa lama karena menyiarkan dokumen tadi. Tapi Bung Karno cepat turun tangan. Soekarno mengumpulkan pimpinan ABRI dan meminta agar soal ini diselesaikan dengan membebaskan orang-orang PKI. Semula pimpinan ABRI sempat kompak bertahan pada sikap: PKI mesti dibubarkan dan konsep Nasakom tidak dapat dilaksanakan. Dalam buku Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, Soekarno sempat mencucurkan air mata mempertahankan PKI. Akhirnya, perdamaian tercapai. Para pimpinan PKI yang ditahan dibebaskan. Para tokoh PKI itu cuma diberi hukuman "teguran keras". Agustus tahun itu, Bung Karno juga kembali membela PKI. Panglima Kalimantan Selatan, Letnan Kolonel Jusi, diberinya ultimatim akan dipecat jika tidak mencabut keputusan yang melarang PKI bergerak di daerahnya. Jusi mencoba minta perlindungan pada KSAD Jenderal Nasution, tapi Nasution tak bisa berbuat apa-apa. Maka, PKI yang menang. Setelah berakhirnya kampanye pembebasan Irian Barat, pada tahun 1963, SOB dicabut, kekuasaan pun sekarang lebih besar di tangan Presiden. Berbareng itu, PKI kian leluasa. Semua yang tidak sealiran diganyangnya dengan tuduhan bertentangan dengan ajaran revolusi Bung Karno, yang dirumuskan sebagai "Manipol-Usdek". Ada yang dituduh agen CIA, ada yng dianggap "antek Nekolim", yang berarti "kaki tangan neokolonialisme". Hampir tiada hari tanpa pengganyangan. Kampanye Nasakom kian gencar. Bukan tak ada ucaha mengimbangi gerak maju PKI. Sejumlah koran independen di Jakarta dan di daerah-daerah pernah mencoba membuat front, dan sejak 1 September 1964 membentuk Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). Inilah gerakan yang ingin memisahkan ajaran Bung Karno dari komunisme PKI yang persamaannya kadangkadang nampak (lihat Ya, Siapa Dia Sebenarnya). Sajuti Melik, seorang yang pernah aktif dalam proklamasi kemerdekaan di tahun 1945, membuat tulisan yang diberi judul "Belajar Memahami Soekarnoisme". Tulisan itu dimuat bersambung secara serentak di koran-koran independen. Bersama itu, tokoh-tokoh BPS menemui Wakil Perdana Menteri I Subandrio, Ketua Front Nasional Chaerul Saleh, untuk mencari dukungan. Hasilnya? PKI segera menyerangnya, melalui pelbagai media massa yang dikuasainya. Tembakan yang telak ialah tulisan "Belajar Memahami Soekarnoisme" itu dituduh menyesatkan ajaran Bung Karno. Ternyata, Bung Karno menyetujui kampanye PKI. Agaknya, Bung Karno terpikat oleh argumen editorial Harian Rakjat yang ditulis oleh Nyoto, ideolog PKI -- seorang yang memang secara pribadi dekat dengan dia dan rajin membaca tulisan-tulisannya. Bung Karno bahkan menyejajarkan BPS dengan gerakan pemberontakan DI Kartosuwiryo dan Kahar Muzakkar. Desember 1964, BPS dinyatakan terlarang. Februari 1965, 21 koran yang mendukung BPS dicabut surat izin terbitnya. Selanjutnya, koran-koran hanya boleh memuat ajaran Bung Karno yang bersumber dari buku Di Bawah Bendera Revolusi. Melihat semua ini, Angkatan Darat secepatnya menerbitkan koran Angkatan Bersenjata, kantor berita PAB dan KNI untuk menampung wartawan-wartawan yang menganggur itu. Juga untuk menunjukkan bahwa perlawanan terhadap PKI didukung oleh ABRI, meskipun dengan cara yang agak terselubung. Sejak itu, pergulatan antara ABRI dan PKI seakan mencapai puncaknya. Sekitar April 1965, Subandrio, Waperdam I dan Ketua BPI (Biro Pusat Intelijen). mengaku menerima surat buta, yang kemudian disebut sebagai dokumen Gil christ. Ini berupa konsep surat Gilchrist, duta besar Inggris di sini pada waktu itu. Surat itu belum ditandatangani di atas kertas dengan kop kedutaan Inggris di Jakarta. Surat itu katanya "laporan" bahwa Gilchrist sudah mengadakan "suatu pembicaraan dengan duta besar AS di Jakarta tentang rencana penyerbuan Inggris dan Amerika ke Indonesia". Disinggung di situ seolah-olah mereka punya teman-teman dari Angkatan Darat di Indonesia, atau "our local Army friends". Subandrio mengatakan dokumen itu otentik. Ia telah melaporkan pada Presiden. Percayakah Bung Karno bahwa ia akan "dikhianati" tentara? Nasution kemudian menyebut semua ini fitnah. Sampai kini memang belum ada penjelasan buat apa ABRI akan membantu suatu "penyerbuan" ke Indonesia. Toh nampaknya Bung Karno percaya -- atau tak mau ambil risiko. Ia sudah enam kali, sejak 1957, mengalami percobaan pembunuhan. CIA juga terlibat dalam pemberontakan PRRI dan Permesta. Ia jadi mudah curiga. Ia pasti tahu bahwa tentara tak menyukai hubungannya dengan beberapa elemen dalam PKI, khususnya Nyoto, yang telah ia beri wewenang menuliskan pidatonya. Panglima Angkatan Darat, A. Yani, di panggil. Yani termasuk orang dekat Bung Karno, tapi juga seorang yang amat berani menghadapi gerak PKI. Ia membantah hubungan mereka dengan AS dan Inggris. Tak diketahui apakah Bung Karno percaya kepadanya. Yang jelas, fotokopi dokumen itu kemudian disiarkan dalam pers. Di Jakarta suasana memanas. Pelbagai organisasi mengutuk Amerika dan Inggris Pada 1965, Menteri Sekretaris Front Nasional Soedibjo berpidato melalui RRI, mengutuk maksud jahat imperialisme Inggris-Amerika, selain ingin menyerang Indonesia juga berencana meneror dan membunuh Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, Bung Karno. Masa itu memang masa "konfrontasi". Pada suatu masa, yakni di tahun 1963, ketika ia mewakili negara-negara yang tak memihak dalam perang dingin antara AS dan Uni Soviet, Bung Karno menampilkan "nonblok" sebagai alternatif. Itulah inti pidatonya di PBB, yang diberi nama To Build the World Anew. Tapi kemudian, di tahun 1964, Bung Karno tidak lagi memberi tekanan kepada semangat "nonblok". Ia malah memilih konfrontasi. Bersamaan dengan itu, di kalangan PKI, suara yang makin berpihak ke RRC -- dalam perselisihanya dengan Uni Soviet -- mulai terdengar. Pemimpin Soviet, Nikita Khrushchev, yang pernah berkunjung ke Indonesia, waktu itu menghindari semangat konfrontasi dengan AS. Ia menawarkan "hidup berdampingan secara damai". Tak ayal, Khrushchev dicap sebagai "revisionis", atau sejenis pengkhianat, oleh Partai Komunis Cina, diikuti oleh PKI. Di sini pun nampak, ada kesejajaran antara pandangan Bung Karno dan PKI. Dan sudah tentu keduanya kian keras menghantam AS dan Inggris -- temtama karena Inggris dituduh mau menggunakan Malaysia untuk menyerang Indonesia. Di sini pula "konfrontasi" dengan Malaysia dilancarkan -- suatu hal yang dengan setengah hati dijalankan oleh TNI-AD. Dalam suasana panas seperti itulah kemudian terbuka pelbagai jalan ke "Peristiwa G-30-S". Gerakan itu memang gagal. PKI kemudian hancur. Ikut hancur pula rencana dan ajaran Bung Karno untuk meneruskan revolusi dengan Nasakom. Di masa "demokrasi terpimpin" itu, ia memang semakin tua -- dan, pada saat yang sama, semakin berkuasa. Tak ada lagi yang memperingatkannya bahwa gagasan "persatuan" dengan sebuah Partai Komunis akan ditelan oleh partai yang merasa dirinya ditakdirkan sejarah untuk berkuasa itu. Amran Nasution
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini