SYAHDAN, pada 3 Agustus 1948, di Bukittinggi, Sumatera Barat, mendaratlah sebuah pesawat terbang, konon datang dari Praha, Cekoslovakia. Penumpangnya dikenal sebagai Suripno, seorang komunis muda yang pada 1947 dikirim oleh PM Amir Sjarifuddin sebagai duta besar RI guna mencari pengakuan diplomatik di Eropa Timur. Suripno datang disertai seorang yang lebih tua yang disebutnya sekretarisnya. Pada 11 Agustus, Suripno dan sekretarisnya sampai di Yogyakarta. Di Yogya inilah Suripno membuka kartu. Sang sekretaris ternyata adalah Muso. Ia anggota politbiro PKI pada awal 1920-an, tokoh pemberontakan PKI 1926 dan setelah mendirikan PKI gelap pada 1935, tokoh ini raib. Selama sekitar 13 tahun ternyata ia bersembunyi di Uni Soviet. Kedatangan Muso disambut hangat para anggota PKI. Secara aklamasi ia terpilih sebagai sekjen partai menggantikan Sardjono. Tampilnya Muso dengan segera mengubah cara perjuangan PKI. Amir Sjarifuddin, yang waktu itu memimpin Sayap Kiri (kelompok partai dan ormas yang beraliran kiri dan Marxis) mengakui, "Kedatangan oude heer Muso berarti percepatan proses yang telah dijalankan selama ini." Percepatan proses itu termasuk beberapa kejutan: pada 29 Agustus, Amir Sjarifuddin secara terbuka mengumumkan bahwa sebenarnya ia telah menjadi anggota PKI Gelap sejak 1935 di Surabaya. Pada hari yang sama Setiadjit, ketua umum Partai Buruh, kemudian juga Abdulmadjid dan Tan Ling Djie dari Partai Sosialis, mengungkapkan bahwa mereka sebenarnya juga anggota PKI. Kedatangan Muso menunjukkan bahwa Moskow meningkatkan perhatiannya pada Indonesia. Situasi Indonesia saat itu memang gawat. Akibat Persetujuan Renville yang didukungnya, Kabinet Amir Sjarifuddin jatuh. Sebagai gantinya Presiden Soekarno menunjuk Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk membentuk kabinet baru. Program kabinet baru untuk melakukan rasionalisasi mengguncangkan tentara. Demi penghematan, jumlah tentara (TNI dan puluhan kelompok laskar) yang sekitar 460 ribu akan dikurangi menjadi tinggal 160 ribu. Celakanya, sebagian besar laskar ini merupakan bagian dari partai atau ormas dengan ideologi masing-masing. Hizbullah, misalnya, dianggap "pasukan" Masyumi. Sedang Pesindo dan Tentara Laut Republik Indonesia berada di bawah pengaruh Sayap-Sayap Kiri menentang kebijaksanaan Kabinet Hatta dan menggunakan berbagai cara untuk menjatuhkannya. Beleid ini ditentang keras oleh kelompok Sjahrir, yang kemudian memutuskan keluar dari Partai Sosialis dan mendirikan Partai Sosialis Indonesia pada 13 Februari 1948. Sayap Kiri kemudian berganti nama menjadi Front Demokrasi Rakyat (FDR), tetap dipimpin oleh Amir Sjarifuddin. Anggotanya antara lain sejumlah partai dan ormas seperti Partai Sosialis, PKI, Pesindo, Partai Buruh, dan SOBSI. Kegagalan FDR menjatuhkan pemerintah lewat cara politis tampaknya mendorong mercka merencanakan merebut kekuasaan lewat cara militer. Diduga strategi ini digariskan pada pertengahan Juli 1948. Strategi ini sebetulnya masuk akal. Sekitar sepertiga kekuatan tentara saat itu diperkirakan berada di bawah pengaruh FDR. Tampaknya, mereka memperhitungkan, dengan memanfaatkan isu rasionalisasi mercka bisa menunggangi ketidakpuasan tentara untuk kepentingan FDR. Meski saat itu rencana FDR belum terungkap, pemerintah dan pimpinan TNI sudah mulai curiga terhadap gerak-gerik FDR. Sejumlah perwira yang dikenal pro atau simpati pada FDR dipindahkan ke posisi yang kurang menentukan. Kedatangan Muso mempercepat gerakan FDR. Langkah pertama Muso adalah melakukan konsolidasi dan membentuk PKI baru dengan penggabungan partai dan ormas yang selama ini sehati, seperti Partai Sosialis dan Partai Buruh. Secara terbuka Muso kemudian mengajak RI agar bergandengan tangan dengan Moskow menentang imperialisme AS. Sementara itu, tindakan pemerintah menggeser para perwira yang pro-FDR rupanya membuat kelompok itu waswas. Apalagi setelah Pesindo dan Tentara Laut RI di Solo -- yang merupakan kekuatan utama Divisi IV (Senopati) -- diperintahkan segera melaksanakan demobilisasi, yang selama ini mereka tunda-tunda. Ketegangan menjadi jadi setelah Letkol. Sutarto, Komandan Divisi IV, tewas ditembak orang tak dikenal. Pada awal September, sejumlah perwira Divisi IV yang dikenal sebagai anggota PKI raib. Letkol. Suadi, Komandan Divisi IV yang menggantikan Sutarto, menuduh Batalyon Siliwangi yang dipimpin Letkol. Sadikin bertanggung jawab atas penculikan. Suadi kemudian memerintahkan pasukannya menyerbu markas Siliwangi, tapi dipukul mundur. Pasukan Pesindo kemudian menculik pimpinan Barisan Banteng, Dr. Muwardi. Keadaan makin kacau. Meski Panglima Besar Sudirman berusaha menengahi, pertempuran antara pasukan pro-FDR dan Siliwangi terus berlanjut. Akhirnya pemerintah pusat turun tangan, dan menunjuk Kolonel Gatot Subroto menjadi gubernur militer wilayah Solo, untuk mengembalikan ketertiban. Perkembangan di Solo itu rupanya membuat pimpinan pusat Pesindo di Madiun waswas. Kekhawatiran bahwa mereka akan didemobilisasikan dan dibersihkan mendorong mereka bertindak, melaksanakan strategi PKI yang telah digariskan sebelumnya: merebut kekuasaan pemerintahan. Pada 18 September, pasukan Pesindo yang disertai pasukan TNI yang pro-PKI di bawah komando Kolonel Djokosujono menduduki Madiun. "Dari Madiun kemenangan akan dimulai," kata pimpinan Pesindo, Sumarsono, melalui radio Madiun, tatkala mengimbau cabang-cabang PKI lain untuk mengikuti tindakannya. Sejumlah pimpinan PKI, antara lain Muso dan Amir Sjarifuddin, yang sedang berkampanye di sekitar Madiun, segera bergabung dengan Sumarsono dan Djokosujono. Esoknya, 19 September malam, Presiden Soekarno melalui RRI Yogyakarta mengucapkan pidatonya yang terkenal itu. Presiden mengumumkan bahwa PKI Muso telah melakukan kup dan mendirikan suatu pemerintahan Soviet di bawah Muso, sebagai awal usaha merebut seluruh pemerintah RI. Bung Karno lalu berseru, "Ikut Muso dengan PKI-nya, yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia Merdeka, atau ikut Soekarno-Hatta yang Insya Allah, dagan bantuan Tuhan, akan memimpin negara Republik Indonesia yang merdeka, tidak dijajah negara mana pun juga." Lewat radio juga, satu setengah jam kemudian. Muso ganti menyerang Soekarno dan Hatta sebagai budak-budak Jepang dan Amerika", yang akan menjual Indonesia dan rakyatnya pada imperialis Amerika. Beberapa jam kemudian radio Moskow menyiarkan pernyataan Muso, dan menyatakan dukungan pada "pemerintahan rakyat" yang dibentuk di Madiun. Pemerintah segerra mengumumkan keadaan darurat perang. Pimpinan TN pun bertindak, meski jumlah pasukan terbatas, karena sebagian besar ditempatkan sepanjang garis Van Mook untuk berjaga-jaga jika Belanda menyerang. Pasukan Siliwangi diperintahkan membebaskan kembali Madiun. Pada hari-hari pertama kudeta, tentara PKI meluaskan kekuasaannya ke beberapa kota lain, termasuk Purwodadi. Tapi "pemberontakan rakyat" yang diharapkan Muso akan meluas ke seluruh RI ternyata tak terwujud. Pemberontakan PKI tak berjalan lama. Pada 30 September, Madiun dikuasai kembali. Pasukan PKI yang kocar-kacir dan terus diburu semakin kejam. Ribuan orang di berbagai kota dan desa -- pejabat pemerintah, polisi tokoh masyarakat, dan rakyat biasa dibantai dengan kejam. Misalnya di Ponorogo, pada 4 Oktober, laskar Sarekat Rakyat yang pro-PKI memaksa ribuan rakyat "menamengi" mereka tatkala mau merebut kembali Ponorogo yang sudah dikuasai Siliwangi. Akibatnya, hampir 500 rakyat tewas. Pada 28 Oktober, 1.500 pasukan inti pemberontak ditawan. Tiga hari kemudian Muso tertembak dan tewas. Lalu pada 29 November Djokosujono dan Maruto Darusman ditangkap. Dua hari kemudian menyusul Amir Sjarifuddin. Pemberontakan Madiun pun patah. Namun, sejarah RI telah telanjur bersimbah darah. Susanto Pudjomartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini