Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA yang ditulis Arkham Mukmin sebetulnya biasa saja. Katanya melalui akun Instagram @arkham_87, “Tau apa dia tentang sepakbola, taunya dikasih jabatan saja.” Ia memang sedang menulis tentang Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka perihal penyelenggaraan pertandingan sepak bola Piala Menpora di Solo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengkritik--mungkin dengan sinis. Tapi sinisme bukan perkara pidana. Lemahnya akurasi dalam kritik justru membuka kesempatan kepada pemerintah untuk menjelaskan. Bahwa Gibran sebenarnya tahu sepak bola dan jabatan wali kota itu bukan pemberian hanya karena ia anak Presiden. Demikianlah semestinya kritik diperlakukan di negara demokratis, tempat hak-hak publik dihargai dan polisi tidak terampil mencari muka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi Indonesia hari-hari ini adalah kebalikannya. Menghadapi Arkham, polisi bergerak cepat. Mereka memaksa Arkham meminta maaf kepada Gibran. Polisi menepuk dada dengan mengklaim toh Arkham tidak dipidana. Mereka lupa: memaksa pengkritik meminta maaf bertentangan dengan prinsip kebebasan berpendapat. Represi terhadap kritik hanya lazim terjadi di negara otoriter.
Laku lajak polisi terhadap Arkham lahir dari Surat Edaran Kepala Kepolisian RI Nomor SE/2/11/2021 tentang polisi virtual. Dikeluarkan pada pertengahan Februari lalu, berbekal surat itu polisi virtual memantau percakapan di media sosial dan grup-grup percakapan. Hasilnya, 125 konten negatif ditemukan, 89 di antaranya dinilai mengandung ujaran kebencian, termasuk unggahan Arkham.
Saat meluncurkan program ini, polisi mengklaim akan mengedepankan konsep keadilan restoratif untuk menyelesaikan perkara di ranah maya. Sebelumnya, keadilan restoratif banyak dipakai dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia. Dalam konsep keadilan restoratif, korban dan pelaku difasilitasi untuk bertemu dan berdialog untuk kemudian diharapkan saling memaafkan. Aparat penegak hukum membangun sistem yang bisa memulihkan keadilan bagi korban, pelaku, dan masyarakat. Keadilan restoratif mengedepankan perdamaian serta sebisa mungkin menghindari pemidanaan seseorang di pengadilan.
Dalam kasus Arkham, ceritanya sama sekali berbeda. Gibran bukan korban pelanggaran hak asasi dan ia bukan pelapor yang menjadi korban atas komentar yang dinilai sebagai ujaran kebencian. Padahal pidana pencemaran nama merupakan delik aduan yang seharusnya didahului oleh laporan korban.
Sulit untuk percaya pemerintah tidak memahami prinsip keadilan restoratif ini--juga Mahfud Md. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan itu menyampaikan gagasan tentang keadilan restoratif (yang salah kaprah tersebut) dalam rapat pimpinan Polri beberapa hari sebelum surat edaran Kapolri dikeluarkan. Dengan kata lain, kita bisa berwasangka: pemerintah ingin memberangus kritik dengan cara yang tak gaduh.
Walhasil, polisi virtual bakal menjadi alat pemukul pemerintah yang paranoia dan antikritik. Bersinergi dengan pendengung dan pemengaruh, mereka menyerang kritik dan memandulkan sikap kritis publik. Di tengah banyaknya program pemerintah yang kontroversial dan layak menuai kritik, sikap kritis sesungguhnya sangat diperlukan. Ketimbang memata-matai masyarakat, polisi siber hendaknya digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat. Misalnya menciptakan rasa aman publik dari bahaya kejahatan dunia maya, seperti teror, pembajakan, peretasan, dan penipuan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo