Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA yang salah dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Sebagai pemilik saham, mereka membiarkan praktik koruptif yang terang-terangan berlangsung di PT Asuransi Kredit Indonesia (Persero) atau Askrindo, satu dari tujuh perusahaan penjaminan pelat merah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dugaan kejahatan itu diungkapkan Dewan Komisaris PT Askrindo (Persero). Mereka menemukan terjadinya data penggelembungan nilai komisi agen. Pada 2019, Askrindo membayar Rp 195,9 miliar kepada PT Askrindo Mitra Utama, anak usaha mereka. Nilai itu jauh di atas laba dan beban operasional Askrindo Mitra sebesar Rp 61,38 miliar. Oleh pengurus anak perusahaan, selisih nilai itu disetorkan ke dua direktur Askrindo dalam bentuk dolar Amerika Serikat tunai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan total biaya komisi Rp 463 miliar, aliran uang ke pos lain juga disinyalir mereka gelapkan. Uang Rp 267 miliar mendarat di PT Penas Mitra Utama, kantor agen asuransi yang dikelola pensiunan pegawai Askrindo. Dewan Komisaris mendapati bukti perjanjian yang menyatakan, dari 15 persen komisi yang didapatkan PT Penas, 13 persennya harus diserahkan kepada kantor cabang Askrindo. Total gratifikasi yang diterima petinggi Askrindo dari dua perusahaan agen asuransi tersebut diperkirakan mencapai Rp 200 miliar.
Setumpuk bukti dan dokumen itu tak cukup untuk menggerakkan Kementerian Badan Usaha Milik Negara, juga Indonesia Financial Group—holding BUMN perasuransian. Laporan yang Dewan Komisaris layangkan pada November dan Desember tahun lalu tak kunjung direspons. Memang dugaan korupsi ini tidak menyentuh nasabah seperti kasus Jiwasraya. Pada paruh pertama 2020, neraca keuangan mereka tetap sehat dengan premi Rp 1,7 triliun dan pembayaran klaim Rp 641,2 miliar.
Askrindo memiliki peran strategis dalam ekonomi nasional. Berdiri sejak 1971, tugas utama mereka adalah menjamin kredit yang disalurkan bank kepada pengusaha mikro, kecil, dan menengah. Agar bisa menambah kapasitas penjaminan kredit usaha mikro, kecil, dan menengah itu, pemerintah menggelontorkan penyertaan modal negara senilai Rp 3 triliun. Suntikan dana ini merupakan bagian dari Pemulihan Ekonomi Nasional untuk membangkitkan kembali usaha kecil di masa pandemi.
Kementerian BUMN semestinya lebih sigap membenahi manajemen Askrindo, perusahaan negara yang memiliki peran mulia dalam menopang pertumbuhan usaha kecil. Berbekal temuan Dewan Komisaris, Kementerian semestinya melaporkan dugaan kejahatan ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Tidak akan sulit menunjuk orang-orang yang berlaku lancung dalam sangkaan gratifikasi internal ini. Terlebih modusnya tergolong sederhana. Putar-putar uang perusahaan yang berujung di kantong petinggi ini jelas lebih mudah ditelusuri ketimbang, misalnya, penempatan dana investasi ilegal yang dilakukan dua petinggi Askrindo bersama empat orang lain pada 2011 dengan kerugian Rp 400 miliar.
Sangat aneh, yang terjadi malah sebaliknya. Dua komisaris yang sejak awal aktif meneliti dugaan korupsi ini diberhentikan hanya beberapa jam menjelang rapat umum pemegang saham pada November 2020. Dengan keputusan itu, sulit menepis penilaian bahwa memang ada yang salah di Kementerian BUMN.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo