Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada larangan bagi lembaga pemerintah dan swasta mengembangkan vaksin Covid-19. Namun usaha mencari pembentuk imunitas tubuh ini semestinya dilakukan sesuai dengan aturan dan menggunakan prosedur penelitian standar. Ketentuan normatif ini seharusnya juga berlaku dalam pengembangan vaksin Nusantara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut penggagasnya, mantan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto, vaksin Nusantara dikembangkan buat orang berpenyakit penyerta atas permintaan Presiden Joko Widodo. Dalam perjalanannya, proses pengembangan vaksin ini tidak transparan. Tiba-tiba saja perusahaan Amerika Serikat, Aivita Biomedical, diumumkan sebagai mitra. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan kemudian juga menunjuk PT Rama Emerald Multi Sukses untuk menjalankan uji klinis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemilihan teknologi vaksin berbasis sel dendritik—komponen sel darah yang merupakan bagian dari sistem imun—ini juga memicu polemik. Pasalnya, belum ada vaksin Covid-19 berbasis sel dendritik yang diuji klinis fase III, apalagi disetujui oleh otoritas pengawas obat mana pun. Aivita Biomedical tak memiliki rekam jejak sebagai produsen vaksin sel dendritik. Tiga kandidat vaksin perusahaan itu dikembangkan buat immunotherapy sel kanker yang baru memasuki tahap uji klinis fase I/II.
Tidak ada salahnya keinginan menemukan vaksin Covid-19 sel dendritik di Indonesia agar sejajar dengan Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Rusia, dan Cina. Namun, perlu diingat, vaksin Nusantara tidak cocok dengan kebutuhan 181,55 juta penduduk Indonesia. Dengan jumlah penduduk besar itu, Indonesia memerlukan vaksin massal, bukan vaksin perorangan yang biasa dipakai pada terapi sel kanker ala Terawan.
Kebutuhan vaksin individual semacam Nusantara juga tidak mendesak. Sebab, vaksin yang saat ini digunakan di banyak negara terbukti efektif untuk kelompok lanjut usia dan orang dengan penyakit penyerta. Vaksin konvensional itu sudah mumpuni mencegah infeksi virus SARS-CoV-2. Harga vaksin itu jauh lebih murah daripada vaksin yang dikembangkan dengan sel dendritik.
Kita bisa menggunakan pendekatan India yang menjalankan vaksinasi secara cepat dan tepat sasaran. Memulai program tiga hari setelah Indonesia, sampai 28 Februari lalu pemerintah India telah memvaksin 14,3 juta orang. India, yang berpenduduk 1,38 miliar jiwa, menargetkan 300 juta penduduk—270 juta di antaranya berusia di atas 50 tahun atau berpenyakit penyerta—pada akhir Juli nanti.
Kesuksesan India disumbang oleh Serum Institute of India dan Bharat Biotech, yang mengembangkan vaksin Covid-19. Itu bukan vaksin canggih seperti vaksin Nusantara, melainkan vaksin berbasis virus yang dimatikan. Serum Institute bekerja sama dengan University of Oxford-AstraZeneca memproduksi vaksin Covishield. Adapun Bharat Biotech membuat vaksin Covaxin bersama National Institute of Virology India. Pemerintah India adalah contoh yang menggunakan pendekatan ilmiah dalam kebijakan.
Pengembangan vaksin Nusantara jelas bukan prioritas dan, karena itu, pemerintah tidak perlu melanjutkan pengembangannya. Sumber daya dan anggaran untuk “vaksin swasta” itu dapat dialihkan untuk berkonsentrasi pada program vaksinasi atau mendorong percepatan pengembangan vaksin Merah Putih yang sudah berjalan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo