Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMBANGUNAN pembangkit listrik tenaga nuklir torium di Bangka Belitung terlihat sangat menjanjikan. Selain dianggap lebih ekonomis dan ramah lingkungan, cadangan bahan bakunya dimiliki Indonesia, menjadi terbesar kedua di dunia setelah India. Namun pemerintah perlu menyampaikan penjelasan yang utuh dan transparan tentang rencana penggunaan sumber energi ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia sudah lama memiliki rencana membangun pembangkit listrik tenaga nuklir, antara lain di Gunung Muria, Kudus, Jawa Tengah, pada 2007. Wilayah ini dianggap ideal karena aman dari gempa dan tsunami. Namun rencana itu tak berlanjut karena kuatnya penolakan masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alasan utama penolakan adalah keamanan. Ledakan fasilitas nuklir Chernobyl di Ukraina pada 27 April 1986 dan insiden serupa di PLTN Fukushima, Jepang, 11 Maret 2011, menjadi kampanye buruk bagi penggunaan nuklir. Ledakan itu melepaskan radiasi dan menyebabkan lebih dari 400 ribu warga kota di sekitarnya dievakuasi. Daerah yang ditinggalkan kemudian menjadi kota hantu tak lagi layak huni.
Kebijakan energi Indonesia menjauhi nuklir. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan peraturan pemerintah pada 2014 yang menyatakan pembangkit listrik menggunakan bahan uranium merupakan “pilihan terakhir”.
Setelah ada penolakan atas rencana pembangunan di Muria itu, pemerintah kemudian beralih ke torium, yang materialnya banyak terdapat di Bangka Belitung. Menurut Badan Tenaga Nuklir Nasional pada 2015, Indonesia memiliki cadangan torium sebesar 133 ribu ton. Jumlah itu 2 persen dari cadangan global. India memiliki cadangan 846 ribu ton.
Perusahaan asal Amerika Serikat, ThorCon International Pte Ltd, bersedia membangun pembangkit listrik tenaga torium 500 megawatt di Indonesia dan akan mengucurkan investasi awal sekitar Rp 17 triliun. Perusahaan ini juga meyakinkan bahwa produksi listriknya bisa lebih murah, yaitu sekitar US$ 3 sen per kilowatt-jam (kWh). Ini jauh lebih hemat dari ongkos pembangkit energi batu bara, US$ 5,6 sen per kWh.
ThorCon sudah meneken kesepakatan dengan Pemerintah Provinsi Bangka Belitung, 30 Juli 2020. Mereka juga sudah bekerja sama dengan perusahaan pembuat kapal, PT PAL Surabaya, untuk membangun reaktornya. Pembangunan pembangkit ini diharapkan rampung pada 2025 atau 2026.
Meski terlihat sangat menjanjikan secara ekonomi, hal itu perlu dipikirkan pemerintah secara matang. Seperti uranium, torium merupakan unsur radioaktif. Torium memerlukan uranium 235 agar dapat dikonversi menjadi uranium 232 dan siap digunakan sebagai sumber energi. Salah satu pembeda terpentingnya: torium tidak menghasilkan plutonium pada proses reaksi nuklirnya sehingga tak bisa dibelokkan untuk membuat senjata.
Pemerintah perlu transparan kepada masyarakat, terutama yang daerahnya akan menjadi lokasi pembangunan, agar tahu manfaat dan risikonya. Merekalah yang akan menjadi korban langsung jika hal buruk terjadi seperti di Chernobyl dan Fukushima. Risiko tinggi itu juga harus disadari betul oleh pemerintah agar mempersiapkan upaya mitigasinya.
Sampai saat ini, belum ada pembangkit listrik tenaga torium yang beroperasi dengan skala komersial sehingga keekonomiannya belum bisa dipastikan, termasuk risikonya. Kajian soal penanganan limbah torium juga belum ada. Indonesia memiliki pengalaman mengelola reaktor nuklir sebatas untuk kepentingan penelitian.
Perlu disebut, Indonesia belum menghadapi kondisi kekurangan pasokan listrik. Artinya, tak ada kebutuhan mendesak harus membangun pembangkit teknologi nuklir. Pemerintah perlu mengembangkan untuk lebih memprioritaskan pembangunan energi bersih yang materialnya juga melimpah, seperti surya, angin, dan panas bumi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo