Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Efek Lain Nasionalisme

Bung Karno dalam kongres di AS menyatakan bahwa nasionalisme merupakan sumber utama ikhtiar Asia dan Afrika. Nasionalisme menimbulkan efek lain, gerakan Asia-Afrika terpecah antar nation-states.

28 April 1979 | 00.00 WIB

Efek Lain Nasionalisme
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
MALAM itu seorang laki-laki dengan kencangnya mengendarai kuda. 18 April 1775. Wilayah pedusunan New England menyebarkan bau musim semi, biarpun dalam gelap, tapi laki-laki itu tak mengacuhkannya. Ia, Paul Revee, menanggung tugas yang diletakkannya sendiri secara sukarela di pundaknya: malam itu juga ia harus membangunkan kaum revolusioner Amerika. Sebab pasukan kolonial Inggeris tengah mendekat. Mereka akan menangkap pemimpin kaum pejoang. Perjalanan malam itu pun kemudian menjadi bersejarah -- dan sekaligus jadi dongengan kaum patriot. Karena peringatan Paul Revere-lah, (seorang biasa saja, pandai perak yang mencintai kemerdekaan tanah airnya), para pejoang Amerika jadi siap. Pagi harinya di padang hijau di Lexington perang pecah. Bedil pertama yang meledak kemudian jadi perang kemerdekaan yang mengubah dunia. 180 tahun kemudian, Bung Karno mengenangkan kejadian itu. Dan itu terjadi di Bandung, ketika ia membuka Konperensi Asia-Afrika 18 April 1955. Ia menyebut perang kemerdekaan Amerika sebagai "perang anti-kolonial pertama yang berhasil dalam sejarah." Dan dikutipnya sajak termashur penyair Longfellow tentang Revere: Satu teriakan perlawanan, bukan ketakutan Satu suara dalam kegelapan Satu ketukan pada pintu Dan sebuah dunia, yang menggemakannya bertalu-talu Memang bukan aneh, bahwa revolusi Amerika -- hampir seratus tahun lebih tua ketimbang perang Diponegoro di Jawa Tengah -- mengilhami orang seperti Bung Karno. Kita ingat gambar terkenal ketika pemimpin Indonesia itu berkunjung ke Amerika di tahun 1956. Di depan patun besar Lincoln, dua sosok tubuh nampak dari belakang: yang satu seorang bapak, yang lain seorang anak. Bapak itu adalah Bung Karno. Anak itu Guntur. Sang bapak, seraya merangkul sang anak, agaknya tengah, berkisah tentang kebesaran tokoh sejarah yang diabadikan di hadapan itu. Memang. Seperti diceritakan kembali oleh Ganis Harsono dalam bukunya Recollections of an Indonesian Diplomat in The Sukarno Era, Bung Karno datang ke sana bukan sebagai turis. Ia berziarah. Buku Ganis Harsono (waktu itu atase pers di KBRI di Washington) juga dengan mengasyikkan mengisahkan kembali adegan-adegan lain. Tapi yang menarik ialah membaca bagaimana tanggapan pers ketika Bung Karno berbicara di depan Kongres yang dapat sambutan hangat itu: "Bagi kami, dari Asia dan Afrika, nasionalisme adalah sumber utama ikhtiar kami. Mengertilah ini dan anda akan memperoleh kunci di sebagian besar sejarah sebelum perang. Bila anda gagal mengertinya, maka hetapapun banyaknya fikiran yang dikerahkan, betapapun lebatnya kata-kata diucapkan dan betapa derasnya pun Niagara dollar dicurahkan, hasilnya hanya akan berupa rasa pahit dan kecewa." Banyak benarnya kata-kata itu. Amerika Serikat, terikat oleh aliansinya dengan negara-negara bekas penjajah, terseret oleh kepentingannya sendiri, dan kebingungan dalam menghadapi Dunia Ketiga, berkali hanya menemui kepahitan dan kekecewaan orang lain terhadap dirinya. Ia belajar dengan hebat dari Vietnam. Ia rupanya masih harus belajar berat lagi di Timur Tengah. Nasionalisme -- tidak seperti diramal (atau diinginkan) orang di Eropa setelah Perang Dunia ke-II -- tak kunjung mati. Bahkan ketika orang mencita-citakan sebuah Eropa yang damai dan satu dalam bentuk negara federal, Charles de Gaulle menampik. Ia menyerukan l'Europe des patries -- Eropa pelbagai tanah air. Eropa yang tanpa "nasionalisme" akhirnya memang tak kunjung terbukti. Tapi ironisnya nasionalisme juga menimbulkan efek lain: gerakan Asia-Afrika kini terpecah-pecah oleh pertikaian antar nation-states yang ada. Bahkan juga negara-negara komunis, seperti Cina-Vietnam-Kamboja, tak bisa menghindarkannya. Tiga windu setelah Bandung, tiap-tiap perbatasan nampaknya punya Paul Revere yang berjalan malam dengan cerita sendiri-sendiri. Apakah karena itu kita jadi rindu kepada masa silam? Atau tidakkah karena itu kita membutuhkan pandangan sejarah baru?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus