MALAM itu seorang laki-laki dengan kencangnya mengendarai kuda.
18 April 1775. Wilayah pedusunan New England menyebarkan bau
musim semi, biarpun dalam gelap, tapi laki-laki itu tak
mengacuhkannya. Ia, Paul Revee, menanggung tugas yang
diletakkannya sendiri secara sukarela di pundaknya: malam itu
juga ia harus membangunkan kaum revolusioner Amerika. Sebab
pasukan kolonial Inggeris tengah mendekat. Mereka akan menangkap
pemimpin kaum pejoang.
Perjalanan malam itu pun kemudian menjadi bersejarah -- dan
sekaligus jadi dongengan kaum patriot. Karena peringatan Paul
Revere-lah, (seorang biasa saja, pandai perak yang mencintai
kemerdekaan tanah airnya), para pejoang Amerika jadi siap. Pagi
harinya di padang hijau di Lexington perang pecah. Bedil pertama
yang meledak kemudian jadi perang kemerdekaan yang mengubah
dunia.
180 tahun kemudian, Bung Karno mengenangkan kejadian itu. Dan
itu terjadi di Bandung, ketika ia membuka Konperensi Asia-Afrika
18 April 1955. Ia menyebut perang kemerdekaan Amerika sebagai
"perang anti-kolonial pertama yang berhasil dalam sejarah." Dan
dikutipnya sajak termashur penyair Longfellow tentang Revere:
Satu teriakan perlawanan, bukan ketakutan
Satu suara dalam kegelapan
Satu ketukan pada pintu
Dan sebuah dunia, yang menggemakannya bertalu-talu
Memang bukan aneh, bahwa revolusi Amerika -- hampir seratus
tahun lebih tua ketimbang perang Diponegoro di Jawa Tengah --
mengilhami orang seperti Bung Karno.
Kita ingat gambar terkenal ketika pemimpin Indonesia itu
berkunjung ke Amerika di tahun 1956. Di depan patun besar
Lincoln, dua sosok tubuh nampak dari belakang: yang satu seorang
bapak, yang lain seorang anak. Bapak itu adalah Bung Karno. Anak
itu Guntur. Sang bapak, seraya merangkul sang anak, agaknya
tengah, berkisah tentang kebesaran tokoh sejarah yang
diabadikan di hadapan itu. Memang. Seperti diceritakan kembali
oleh Ganis Harsono dalam bukunya Recollections of an Indonesian
Diplomat in The Sukarno Era, Bung Karno datang ke sana bukan
sebagai turis. Ia berziarah.
Buku Ganis Harsono (waktu itu atase pers di KBRI di Washington)
juga dengan mengasyikkan mengisahkan kembali adegan-adegan lain.
Tapi yang menarik ialah membaca bagaimana tanggapan pers ketika
Bung Karno berbicara di depan Kongres yang dapat sambutan hangat
itu: "Bagi kami, dari Asia dan Afrika, nasionalisme adalah
sumber utama ikhtiar kami. Mengertilah ini dan anda akan
memperoleh kunci di sebagian besar sejarah sebelum perang. Bila
anda gagal mengertinya, maka hetapapun banyaknya fikiran yang
dikerahkan, betapapun lebatnya kata-kata diucapkan dan betapa
derasnya pun Niagara dollar dicurahkan, hasilnya hanya akan
berupa rasa pahit dan kecewa."
Banyak benarnya kata-kata itu. Amerika Serikat, terikat oleh
aliansinya dengan negara-negara bekas penjajah, terseret oleh
kepentingannya sendiri, dan kebingungan dalam menghadapi Dunia
Ketiga, berkali hanya menemui kepahitan dan kekecewaan orang
lain terhadap dirinya. Ia belajar dengan hebat dari Vietnam. Ia
rupanya masih harus belajar berat lagi di Timur Tengah.
Nasionalisme -- tidak seperti diramal (atau diinginkan) orang di
Eropa setelah Perang Dunia ke-II -- tak kunjung mati. Bahkan
ketika orang mencita-citakan sebuah Eropa yang damai dan satu
dalam bentuk negara federal, Charles de Gaulle menampik. Ia
menyerukan l'Europe des patries -- Eropa pelbagai tanah air.
Eropa yang tanpa "nasionalisme" akhirnya memang tak kunjung
terbukti. Tapi ironisnya nasionalisme juga menimbulkan efek
lain: gerakan Asia-Afrika kini terpecah-pecah oleh pertikaian
antar nation-states yang ada. Bahkan juga negara-negara komunis,
seperti Cina-Vietnam-Kamboja, tak bisa menghindarkannya.
Tiga windu setelah Bandung, tiap-tiap perbatasan nampaknya punya
Paul Revere yang berjalan malam dengan cerita sendiri-sendiri.
Apakah karena itu kita jadi rindu kepada masa silam? Atau
tidakkah karena itu kita membutuhkan pandangan sejarah baru?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini