Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ikhsan Yosarie
Peneliti Hak Asasi Manusia dan Sektor Keamanan Setara Institute
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persekusi rasial yang diiringi tindakan main hakim sendiri terhadap mahasiswa Papua di beberapa daerah di Jawa Timur belakangan ini telah mencederai rasa kemanusiaan karena terjadinya dehumanisasi melalui kata-kata dan perlakuan yang tidak pantas. Hal ini juga menunjukkan gagalnya keamanan manusia terhadap saudara-saudara Papua, khususnya yang berada di Jawa Timur. Padahal secara eksplisit UUD 1945 telah menjamin bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan serta berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia. Jaminan ini juga sesuai dengan dua komponen utama dalam keamanan manusia, yakni bebas dari rasa takut dan bebas atas apa yang diinginkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam perspektif keamanan manusia, subyek atas keamanan bukan lagi negara (state oriented), melainkan manusia (human oriented). Perubahan perspektif ini, karena ancaman tidak lagi hanya berupa ancaman militer atau berkaitan dengan teritorial, tapi juga meliputi ancaman politik, sosial, ekonomi, maupun ekologis. UNDP (2004) menempatkan keamanan komunitas (community security) sebagai salah satu dari tujuh komponen keamanan manusia. Indikator-indikator keamanan komunitas berkaitan dengan politik identitas dan konflik berbasis suku, agama, ras, dan antar-golongan.
Penerapan Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 66/290 pada 10 September 2012 menjadi tonggak penting untuk penerapan keamanan manusia. Dalam paragraf ketiga dari resolusi tersebut, Majelis menyetujui dengan konsensus bahwa keamanan manusia adalah suatu pendekatan untuk membantu negara-negara anggota dalam mengidentifikasi dan mengatasi tantangan yang meluas dan lintas sektoral untuk kelangsungan hidup, mata pencarian, dan martabat rakyat mereka.
Peristiwa persekusi rasial terhadap orang Papua tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya praktik rasialisme masih hidup di tengah masyarakat kita. Praktik dan narasi rasialisme ini destruktif dan hidup dalam bingkai kemajemukan dan keberagaman kita, yang tentu saja menjadi dua narasi yang paradoksal. Lebih dari itu, pencegahan dan penanggulangan praktik rasialisme yang berbasis dan berperspektif keamanan dan stabilitas negara justru membuat praktik rasialisme bak api dalam sekam, yang tinggal menunggu waktu untuk meletup.
Mengapa menjadi api dalam sekam? Perspektif keamanan dan stabilitas negara mengedepankan cara bagaimana membuat kondisi yang tengah bergejolak kembali stabil dan kondusif. Basis dan perspektif ini dapat dilihat dari respons pemerintah yang cenderung menguatkan narasi bahwa ketegangan terjadi karena tersebarnya hoaks dan provokasi melalui media sosial serta akan menangkap oknum-oknum penyebar hoaks dan perusakan fasilitas umum ketika terjadi demonstrasi di Manokwari. Puncak dari narasi itu adalah keadaan kembali normal seperti sedia kala.
Sebaliknya, perspektif keamanan manusia mengedepankan bagaimana memastikan rasa aman dan keamanan masyarakat. Dalam kasus ini, praktik rasialisme menjadi penyebabnya. Sehingga yang diupayakan adalah bagaimana praktik tersebut tidak terjadi lagi. Untuk menjamin terpenuhinya keamanan masyarakat Papua, yang paling utama dilakukan tentu memproses secara hukum orang-orang yang melakukan persekusi tersebut. Mereka secara nyata melakukan dehumanisasi dan menimbulkan rasa tidak aman terhadap masyarakat Papua. Bila mereka diproses secara hukum, secara otomatis stabilitas pun akan kembali karena pokok persoalannya terselesaikan. Pada titik inilah, pendekatan keamanan manusia (human security) menjadi penting dalam upaya pencegahan dan penanggulangan praktik rasialisme.
Dalam studi keamanan kritis, keamanan hadir ketika masyarakat bebas berkeinginan dan bebas dari ketakutan, bukan dengan memantapkan stabilitas melalui daya paksa dan tata keamanan tertentu yang cenderung membatasi kebebasan masyarakat. Perspektif ini mengeliminasi kekuatan bersenjata sebagai solusi atau memecahkan masalah keamanan.
Kewajiban negara dalam melindungi warga negaranya tidak dapat dilakukan setengah-setengah. Apa yang dialami masyarakat Papua menjadi preseden buruk bagi tanggung jawab negara dalam melindungi dan menjamin rasa aman warga negaranya. Perubahan perspektif negara mengenai persoalan keamanan, dari orientasi negara menuju orientasi manusia, patut dilakukan secepat dan semaksimal mungkin, mengingat persoalan keamanan mutakhir berpusat pada masalah-masalah kemanusiaan.
Imbauan Presiden Joko Widodo untuk saling memaafkan memang menjadi solusi dalam kerangka kemajemukan dan keberagaman bangsa Indonesia. Meskipun, di sisi lain, tindakan negara yang berperspektif keamanan manusia juga harus dilakukan. Setara Institute telah mengatakan bahwa pelanggengan rasialisme dan stigmatisasi menjadi akar rantai kekerasan yang berulang kali dialami oleh masyarakat Papua, baik secara struktural, kultural, maupun secara langsung.