Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Gaji Tinggi, Korupsi Tak Berhenti

Harta tak wajar pegawai pajak bukti nyata kegagalan reformasi birokrasi. Perlu pengetatan pengawasan.

5 Maret 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ada keyakinan reformasi birokrasi akan berhasil jika pegawai negeri mendapat gaji tinggi.

  • Gaji tinggi pegawai pajak gagal mencegah mereka terlibat kasus korupsi.

  • Kasus Rafael Alun Trisambodo membuktikan reformasi birokrasi gagal dengan memberikan gaji selangit.

REFORMASI birokrasi yang dicanangkan Kementerian Keuangan lebih dari satu dasawarsa lalu telah diolok-olok oleh Rafael Alun Trisambodo. Memiliki harta “resmi” Rp 56 miliar, Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Selatan II ini dipercaya jauh lebih tajir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rafael telah dicopot Menteri Keuangan Sri Mulyani dari jabatannya. Ia adalah pejabat eselon III Direktorat Jenderal Pajak. Profilnya mencuat setelah anaknya, Mario Dandy Satriyo, 20 tahun, menyiksa Cristalino David Ozora, 17 tahun, hingga tak sadarkan diri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tugas mengutip pajak memang pekerjaan menggoda. Itu sebabnya, sejak program remunerasi digulirkan pada 2007, petugas pajak mendapat tunjangan kinerja paling besar. Saat ini tunjangan pejabat pajak berkisar Rp 21-117 juta. Pejabat eselon III seperti Rafael mendapatkan Rp 34-46 juta di luar gaji pokok.

Pemerintah meyakini gaji besar akan menjauhkan petugas pajak dari korupsi. Nyatanya korupsi sudah berurat-berakar di Direktorat Pajak. Remunerasi berkali-kali lipat dari rata-rata penghasilan penduduk Indonesia tersebut sama sekali tidak menyurutkan nafsu lancung mereka.

Indonesia Corruption Watch mencatat, sejak reformasi birokrasi bergulir hingga 2019, sekurangnya ada 13 kasus korupsi yang melibatkan 24 pelaku di Direktorat Jenderal Pajak. Bisa jadi itu cuma puncak gunung es. 

Tahun lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis mantan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak, Angin Prayitno Aji, sembilan tahun penjara karena terbukti menerima suap Rp 50 miliar untuk merekayasa nilai pajak PT Gunung Madu Plantations, PT Bank Pan Indonesia, dan PT Jhonlin Baratama. Sebelumnya, pada 2010, kita pernah dikejutkan oleh kasus suap Gayus Tambunan, pegawai pajak eselon terendah yang memiliki harta hingga Rp 100 miliar. 

Pajak adalah hasil keringat masyarakat yang diberikan untuk penyelenggaraan negara. Perilaku lancung petugas pajak, selain merugikan pendapatan negara, mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Karena itu, Presiden Joko Widodo dan Sri Mulyani semestinya menggunakan momen ini untuk perbaikan besar-besaran. 

Banyak studi membenarkan bahwa remunerasi yang tinggi dapat mengurangi korupsi. Cuma, langkah tersebut harus disertai pengetatan pengawasan dan perbaikan institusi. Ini yang tidak terjadi dalam reformasi birokrasi. Inspektorat Jenderal gagal melawan tipu-tipu petugas pajak—boleh jadi Inspektorat cuma berlagak pilon. Sementara mekanisme eksternal tidak sepenuhnya berjalan, Komisi Pemberantasan Korupsi, setelah dilemahkan lewat revisi Undang-Undang KPK, kini laksana kerupuk melempem.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah melaporkan harta mencurigakan Rafael pada 2012 dan 2019. Namun tidak ada yang bertindak. KPK dan Kementerian Keuangan baru grasah-grusuh setelah pemberitaan ramai.

Kementerian Keuangan selayaknya memiliki sistem baku dalam mengecek kepemilikan harta mencurigakan pegawainya. Inspektorat Jenderal dan KPK, dengan bantuan PPATK, mesti aktif dan bahu-membahu menelisik harta tak wajar pejabat negara. Petugas pajak sebagai pegawai pemerintah mesti terbuka untuk diselidiki asal-usul kekayaannya. Lebih bagus lagi kalau ada aturan pembuktian terbalik. 

Prosedur dan keputusan perpajakan juga mesti transparan dan mudah diakses publik. Pengarsipan elektronik (e-filling) dan sistem pembayaran digital sebaiknya diberlakukan menyeluruh sehingga tidak ada lagi interaksi fisik antara pembayar pajak dan petugas yang memungkinkan persekongkolan. 


Artikel:


Di luar itu, kita dukung Dewan Perwakilan Rakyat segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana. Budaya korupsi dan kolusi yang sudah mendarah daging di semua lapisan aparat pajak tidak akan hilang hanya dengan membubarkan kelompok sepeda motor gede dan mengimbau mereka tidak pamer kekayaan—solusi dangkal yang diambil Sri Mulyani.

Sudah saatnya koruptor dijatuhi hukuman terberat, yakni merampas barang yang paling mereka sukai: harta benda. Tanpa itu, reformasi birokrasi bak menggantang asap.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus