Syamsuddin Haris
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
DI luar perkiraan publik, Partai Golongan Karya (Golkar) ternyata masih ada dan bahkan "berkibar" dalam Sidang Umum MPR 1999. Kekalahan "koalisi" PDI Perjuangan dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dalam beberapa kali voting di Sidang Umum MPR serta kemenangan Amien Rais (sebagai Ketua MPR) dan Akbar Tandjung (sebagai Ketua DPR) merupakan bukti atas hal itu. Di sisi lain, Habibie, calon presiden yang diajukan Golkar, sangat yakin bahwa mayoritas majelis masih memberikan kepercayaan kepadanya.
Ada apa rupanya? Mengapa partai warisan Orde Baru itu bisa menjadi "faktor penentu" bagi power sharing yang berlangsung di MPR, DPR, dan (juga) dalam pemilihan presiden?
Dalam kaitan dengan hal itu, ada banyak kekeliruan yang dilakukan sebagian pengamat dan para mahasiswa dalam melihat dan memberikan penilaian terhadap Golkar. Pertama, betapapun begitu besar kekesalan kita terhadap Golkar, sebagian rakyat dalam Pemilu 1999 yang lalu masih memberikan dukungan besar terhadap Golkar sehingga bisa merebut 120 kursi di DPR-MPR dan menjadi pemenang kedua—setelah PDI Perjuangan.
Dengan begitu, Golkar produk pemilu, betapapun sebagian orangnya masih sama, adalah partai yang memiliki legitimasi seperti partai-partai lain yang lolos ke DPR. Golkar memperoleh mandat dari sebagian rakyat dalam suatu sistem pemilu yang dinilai relatif adil, jujur, dan demokratis.
Kedua, dari jumlah kursi yang diraihnya itu, ditambah dengan sebagian utusan daerah yang bergabung ke dalamnya, Golkar yang pernah menjadi mesin politik Soeharto ini bisa melakukan apa pun dalam proses politik, baik di tingkat MPR maupun DPR. Karena itu, baik PDI Perjuangan maupun kubu poros tengah tetap tidak bisa mengabaikannya sebagai sumber dukungan untuk meraih suara mayoritas. Tak mengherankan jika kedua kubu tersebut tetap akan mengharapkan dukungan Golkar dalam meloloskan calon presiden mereka masing-masing. Kerja sama politik dengan partai warisan Orde Baru tersebut adalah tuntutan sekaligus realitas politik yang tak mungkin dielakkan oleh partai apa pun di MPR.
Ketiga, lebih dari partai mana pun, ternyata politisi Golkar memang "bekerja" dengan melakukan lobi-lobi politik yang diperlukannya. Mereka tidak tinggal diam dan berpangku tangan, tapi justru mencairkan ketegangan politik yang terjadi di antara tiga kubu pencalonan presiden, yakni PDI Perjuangan, poros tengah, dan Golkar sendiri. Aktivitas yang sama, sayangnya, tidak cukup dalam dilakukan oleh kubu Megawati, kecuali mengulang-ulang pernyataan bahwa pemenang pemilu sebaiknya diberi kesempatan memimpin pemerintahan.
Pertanyaannya: apakah "kerja keras" para politisi Golkar itu dilakukan untuk meloloskan Habibie sebagai presiden? Rasanya tidak ada argumentasi yang cukup kuat untuk itu. Sebagian kalangan Golkar sendiri sadar betul bahwa sulit bagi Habibie untuk mempertanggungjawabkan pekerjaannya selama 17 bulan ini. Dukungan PDI Perjuangan dan PKB bagi terpilihnya Akbar Tandjung sebagai Ketua DPR tentu saja tidak bersifat "gratis", kendati—secara publik—Akbar Tandjung menolak adanya konsesi politik bagi Megawati. Hubungan pribadi Akbar Tandjung dan Megawati-Taufik Kiemas yang cukup dekat adalah faktor yang perlu diperhitungkan, sehingga adanya konsesi politik di balik dukungan PDI Perjuangan terhadap Akbar sangat mungkin terjadi.
Karena itu, para politisi Golkar, terutama "pasukan" Akbar Tandjung dan Marzuki Darusman, pertama-tama tampaknya "bekerja" untuk karir politik mereka sendiri tanpa bayang-bayang Habibie di dalamnya. Bisa jadi tidak menjadi persoalan bagi mereka apakah pada akhirnya Megawati atau Gus Dur yang menjadi presiden. Soalnya relatif jelas, baik Megawati maupun Gus Dur kemungkinan besar mengajak Golkar minus Habibie sebagai pasangan duet dalam jabatan wakil presiden. Sebaliknya, peluang itu secara prematur sudah ditutup Habibie ketika memaksakan Jenderal Wiranto sebagai calon presiden yang bakal mendampinginya. Habibie lupa bahwa ia tidak mungkin menjadi calon presiden tanpa kerja keras Akbar Tandjung, baik dalam Rapat Pimpinan Golkar prapemilu maupun dalam Pemilu 1999 yang lalu.
Jadi, apa yang tengah dipersiapkan kelompok Akbar Tandjung, tampaknya, sudah merupakan forum "pengadilan" bagi Habibie ketimbang sebuah kursi kepresidenan baru bagi putra Parepare itu. Seperti dikatakan Arbi Sanit, Akbar Tandjung tengah menjadi anak Brutus yang pada saatnya menjadi Brutus itu sendiri. Semoga saja memang demikian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini