Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Golput, Gejala dan Masa Depannya

19 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arief Budiman Sosiolog, Pengajar Ilmu Sosial di Universitas Melbourne , Australia

Setiap menjelang pemilihan umum, masalah golput atau golongan putih muncul kembali. Golput adalah gerakan informal yang menganjurkan masyarakat agar tidak memilih. Alasannya macam-macam.

Golput dicetuskan pada 1971. Pada tahun itu diselenggarakan pemilu pertama sejak Soeharto berkuasa. Setelah menjatuhkan Presiden Sukarno pada 1965 (yang menjadi otoriter sejak 1959 dengan konsep Demokrasi Terpimpin-nya), Soeharto diharapkan bisa membawa negara ini kembali menjadi demokratis. Karena itu, banyak orang mengharapkan bahwa Pemilu 1971 demokratis.

Tapi rupanya bagi Soeharto masih belum waktunya rakyat Indonesia diberi demokrasi. Dalam konsep Trilogi Pembangunan, dia menyatakan bahwa prioritas pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik, dan pemerataan pendapatan. Masalah pertumbuhan dan pemerataan ekonomi adalah urusan para teknokrat ekonomi, sedangkan stabilitas politik ditangani militer. Demokrasi bukanlah sebuah prioritas.

Militer menyelenggarakan stabilitas politik melalui represi. Pemilu memang mereka agendakan pada 1971, tapi atas nama stabilitas politik, hanya sepuluh partai hasil seleksi militer yang diizinkan ikut. Orang-orang partai yang bersikap kritis terhadap pemerintah juga tidak diperbolehkan menjadi anggota legislatif.

Dengan undang-undang pemilu yang seperti saat itu, demokrasi tidak dapat diharapkan bisa terjadi. Karena itu, saya dan beberapa teman mahasiswa/aktivis melancarkan gerakan golput, yang menganjurkan "memilih untuk tidak memilih" terhadap partai dan orang-orang yang "disediakan" oleh Soeharto. Gerakan ini segera disambut masyarakat luas, dan juga media massa. Golput sepertinya mewakili nurani masyarakat pada waktu itu.

Ada tiga macam golput. Pertama, golput karena alasan politik. Misalnya golput yang memprotes undang-undang pemilu yang tidak demokratis. Atau semua calon yang ada dianggap tidak layak. Kedua, golput karena apatis terhadap pemilu. Politik di Indonesia dianggap sangat elitis, sehingga siapa pun yang terpilih, dampaknya tidak akan berguna bagi masyarakat luas, karena para elite cuma memikirkan kepentingan mereka sendiri. Ketiga, karena "kecelakaan". Ada banyak orang yang tidak paham aturan pemilu. Misalnya mereka tidak boleh mencoblos di luar gambar partai/calon, atau mencoblos lebih dari satu calon.

Lalu, berapa kekuatan golput? Dari catatan yang dikumpulkan harian Kompas (16 Juli 2004), orang yang tidak datang mencoblos sejak pemilu pertama tahun 1955 berjumlah kurang dari 10 persen. Mereka termasuk ketiga kategori di atas, dari golput yang bersifat politik sampai yang "kecelakaan". Sayangnya, data Kompas tidak memasukkan persentase suara yang rusak, yang dibuat oleh orang yang datang mencoblos tapi sengaja merusak kartu suara.

Tapi rasanya cukup aman untuk mengatakan bahwa suara golput pada setiap pemilu berkisar 10 persen.

Yang menarik adalah gejala pada Pemilu 2004. Pada Pemilu legislatif tanggal 5 April, sekitar 16 persen pemilih tidak ikut mencoblos. Kemudian, pada pemilu presiden tanggal 5 Juli, diperkirakan yang tidak ikut mencoblos bahkan bisa mencapai 20 sampai 30 persen (Kompas, 16 Juli 2004). Jelas sekali, jumlah golput meningkat.

Sayang, data Kompas merupakan data kasar. Kita tidak bisa mengetahui secara persis mengapa orang tidak ikut memilih. Apakah mereka sedang melakukan aksi protes, atau karena apatisme, atau ini sekadar "kecelakaan" karena kurang memahami aturan pemilu.

Di tengah peningkatan jumlah golput, saya justru memutuskan untuk ikut pemilu dan membatalkan golput saya. Bahkan, sejak 1999 saya sudah mulai mencoblos. Saya memutuskan hal itu karena menganggap undang-undang pemilu saat itu sudah bagus dan demokratis, serta masih ada partai-partai yang bisa dipilih. Begitu pula pada Pemilu 2004. Pada pemilihan presiden 5 Juli lalu saya juga ikut mencoblos karena saya menganggap ada calon presiden yang masih bisa diterima meski tidak ideal.

Menurut saya, mereka yang tidak mencoblos banyak didasarkan pada protes politik (tidak ada calon yang layak), atau sikap apatis terhadap politik yang dikuasai oleh kelompok elite. Ini disebabkan para pemilih Indonesia sudah menjadi makin kritis dan tingkah laku (politiknya) banyak didasarkan pada perhitungan rasional yang menyangkut kepentingan mereka. Bukankah "kemenangan" pasangan SBY-JK, yang mesin politiknya lemah, juga dijelaskan karena rakyat Indonesia sekarang sudah makin kritis, tidak lagi bergantung pada pemimpin-pemimpin kelompok tempat mereka tergabung?

Maka dapat diperkirakan, di masa depan, golput akan bertambah kalau masyarakat politik kita tidak bisa menampilkan calon-calon pemimpin yang berkualitas, dalam arti bisa benar-benar melayani kepentingan masyarakat luas. Ini jelas sebuah kemajuan. Golput adalah sebuah protes damai dari masyarakat yang tidak berdaya, yang dipinggirkan oleh sistem politik yang ada.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus