Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOMISI Yudisial sebaiknya tak perlu ngotot meminta Bagir Manan sudi datang ke kantor Komisi, kendati lembaga ini memerlukan keterangan darinya. Tak perlu pula melempar kasus mangkirnya Bagir atas panggilan Komisi kepada DPR, apalagi presiden. Yang diperlukan, jalan alternatif yang lebih bijak dan elegan, tanpa mengurangi esensi yang menjadi tujuan Komisi, yaitu mendapatkan keterangan yang memang diperlukan, menyangkut dugaan pelanggaran etika peradilan.
Tak bisa dimungkiri, masyarakat berharap dan menuntut agar kasus suap di lingkungan Mahkamah Agung, yang kini ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dapat terkuak. Dan siapa pun pelakunya–tak terkecuali para hakim agung–diajukan ke pengadilan. Karena itu, keterangan dari berbagai pihak, termasuk Bagir yang namanya disebut-sebut terkait, sangat diperlukan.
Benar, menurut Undang-Undang No. 22/2004, komisi ini bertugas menegakkan martabat dan menjaga perilaku hakim. Dan benar pula, sesuai dengan Pasal 22 undang-undang itu, komisi ini punya wewenang memanggil dan meminta keterangan hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim. Hanya, memang di pasal-pasal tersebut tidak tercantum secara tegas bagaimana terhadap hakim agung. Dan wilayah abu-abu inilah masalahnya.
Ketegangan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung ini jika tidak cair, seperti yang ada sekarang, jelas tidak produktif. Apalagi, dalam tugasnya sebagaimana dititahkan undang-undang, komisi tersebut akan banyak berhubungan dengan Mahkamah Agung. Misalnya soal sanksi atau hukuman yang diberikan komisi ini kepada para hakim. Hukuman itu hanya berlaku jika yang memerintahkan Mahkamah Agung.
Sebagaimana Komisi Yudisial, KPK sebelumnya juga sudah memanggil dan memeriksa Bagir Manan. Kendati sejak awal Bagir menyatakan tak terlibat kasus ini dan mempersilakan KPK memeriksa dirinya, pemanggilan Bagir oleh KPK tidak berjalan mulus. Tak seperti Parman Suparman dan Usman Karim, dua hakim lain yang juga saat itu menangani kasus kasasi Probosutedjo, Bagir menolak datang ke KPK. Sempat terjadi ketegangan, tapi KPK kemudian memilih ”mengalah”. Mereka mendatangi Bagir dan memeriksa Bagir di kantornya. Tidak hanya sekali, tapi pemeriksaan itu sampai dua hari berturut-turut.
Di luar sikapnya yang tak mau datang ke KPK, Bagir terbukti cukup kooperatif dan menepati janjinya. Ia mempersilakan KPK memeriksa ruang kerja semua hakim agung atau pejabat Mahkamah Agung yang dinilai tersangkut kasus suap Probosutedjo. Ia bahkan juga tak melarang KPK memfotokopi pendapat hukum (adviesblaad) hakim agung Parman Suparman dan Usman Karim.
Kita setuju dan memuji langkah Komisi Yudisial yang kini terus menegakkan martabat hakim dengan memanggil puluhan hakim untuk diperiksa karena dinilai melanggar kode etik. Tetapi, untuk kasus Bagir Manan ini, tak ada salahnya Komisi Yudisial meniru langkah Komisi Pemberantasan Korupsi, memeriksa dan meminta keterangan Ketua Mahkamah Agung itu di kantornya. Apalagi, Bagir Manan sendiri sudah menyatakan membuka lebar-lebar pintu ruang kerjanya jika komisi itu ingin meminta keterangan dari dirinya perihal kasus Probo. Ibarat pepatah, tak ada ruginya Komisi Yudisial memilih mundur selangkah, tetapi kemudian bisa maju dua atau lima langkah ke depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo