Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Konflik PDIP dengan Joko Widodo membuat KPK berani menetapkan Hasto Kristiyanto sebagai tersangka.
Bukti keterlibatan Hasto dalam kasus suap Harun Masiku terang benderang sejak lima tahun lalu.
Konflik elite membuat hukum menjadi alat negosiasi.
SEJAK Komisi Pemberantasan Korupsi dilemahkan pada 2019, proses hukum di lembaga itu bergantung pada ke mana angin berembus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dulu perkara Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto—dalam kasus suap Harun Masiku kepada komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan—masuk peti es. Kini, setelah PDIP bukan bagian dari rezim dan komisioner KPK berganti, dia menjadi tersangka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peran Hasto dalam penyuapan Wahyu Setiawan sesungguhnya sudah terang benderang. Hasto ditengarai memerintahkan Harun Masiku menyerahkan duit kepada Wahyu agar KPU menetapkan Harun sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat pengganti antarwaktu.
Hasto pun dituduh merintangi penyidikan dengan menyembunyikan Harun ketika petugas KPK hendak menangkapnya. Penyidik mengajukan Hasto sebagai tersangka, tapi ditolak pemimpin KPK saat itu. Setelah itu, kasus membeku: Hasto melenggang, Harun Masiku hilang tak tentu rimba.
Perkara ini hidup kembali pada 2024 setelah PDIP dan Presiden Joko Widodo berpisah jalan. Seusai pemilihan umum, politikus PDIP, termasuk Hasto, getol menyerang Jokowi. Puncaknya terjadi pada pertengahan Desember 2024 ketika PDIP memecat Jokowi dan anggota keluarganya karena dianggap mengkhianati partai. Berselang hari, Hasto menjadi tersangka.
Sulit mengatakan kedua peristiwa itu tak berhubungan. Meskipun kasus Hasto terang benderang, penetapannya sebagai tersangka beberapa saat setelah dia dianggap mempermalukan Jokowi patut dianggap sebagai pembalasan. Pimpinan baru KPK tunduk pada Jokowi karena diseleksi pada era pemerintahan lama, meskipun dipilih DPR pada masa Presiden Prabowo Subianto.
Selain itu, Ketua KPK Setyo Budiyanto adalah polisi aktif berpangkat komisaris jenderal. Berstatus perwira yang belum pensiun, Setyo adalah bawahan Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo, orang kepercayaan Jokowi. Melalui kepanjangan tangannya di Kuningan—lokasi kantor KPK—dari level direktur hingga pimpinan, Kepala Polri beberapa kali dipercaya ikut menentukan berlanjut atau tidaknya perkara di KPK. Satu yang bisa disebutkan adalah terhentinya pengusutan korupsi Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej yang sebelumnya menyandang status tersangka.
Meskipun Jokowi bukan lagi presiden, pengaruhnya masih terasa dalam pemerintahan Prabowo. Selain karena adanya orang-orang Jokowi seperti Listyo Sigit, Prabowo tak bisa dipisahkan dari Jokowi, yang mendukungnya dalam pemilihan presiden lalu. Dengan kata lain, pemerintahan Prabowo adalah rezim Jokowi yang bersalin rupa. Kabar bahwa Istana dan pimpinan Komisi bidang Hukum DPR “merestui” Hasto menjadi tersangka harus dibaca sebagai manutnya kedua institusi itu pada kehendak Jokowi ketimbang tulus mengapresiasi penegakan hukum.
Praktik injak kaki ini bukan yang pertama kali terjadi. Semasa memerintah, Jokowi ditengarai menggunakan cara brutal untuk menaklukkan lawan politiknya. Pendongkelan Airlangga Hartarto dari kursi Ketua Umum Partai Golkar pada Agustus tahun lalu dan balik badannya Ketua Umum Perindo Hary Tanoesoedibjo dari penentang menjadi pendukung pemerintah diduga juga karena ancaman kasus hukum.
Sebaliknya, kecaman patut dialamatkan kepada Hasto. Ia baru sesumbar memiliki bukti bahwa Jokowi dan keluarganya terlibat pelbagai perkara setelah terimpit masalah. Ia menggertak dengan mengumpulkan kesalahan-kesalahan lawan politiknya. Jika tujuannya tercapai, berkas-berkas tersebut bukan tak mungkin kembali masuk laci. Menjadi tersangka atau tidak, Hasto seharusnya tak ragu membongkar kebobrokan pejabat negara. Yang dilakukan Hasto lebih tampak sebagai negosiasi agar dia lepas dari perkara.
Apalagi belakangan terdengar kabar bahwa Hasto bersedia mundur dari posisi Sekretaris Jenderal PDIP dan tak akan menyerang Jokowi lagi asalkan penanganan kasusnya dihentikan.
Pendapat yang menyatakan bahwa di Indonesia demokrasi dan penegakan hukum bisa terwujud jika terjadi konflik politik antarelite tampaknya harus dikoreksi. Dalam perkara Harun Masiku, konflik elite justru melahirkan negosiasi dan kesepakatan. Adapun hukum masuk comberan. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo