BAGI mereka yang gemar memukau diri terhadap masa lalu, tertib
hukum zaman Majapahit dapat juga menjadl bahan kebanggaan. Di
samping saat itu sudah ada hukum tertulis, relatif lengkap dan
mengatur seluk beluk pidana-perdata secara menyeluruh, juga
banyak norma hukumnya yang masih relevan. Terutama untuk
masyarakat dan penegak hukum di bekas kerajaan besar itu.
Salah satu produk hukum gemilang zaman kebesaran Majapahit ialah
Kitab Undang-Undang Kutara Manawadharmasastra. Sesuai dengan
panjangnya nama, hukum itu juga mencerminkan panjangnya akal.
Untuk ukuran zaman itu.
Uraian lengkap mengenai masalah ini dimuat dalam buku:
Unlang-Undang Madjapahit karangan Prof. Dr. Slamet Mulyana.
Ada 19 bab, masing-masing mengatur soal ketentuan umum,
kejahatan pembunuhan, perlakuan terhadap kawula, pencurian,
paksaan, jual beli, gadai, utang-piutang dan sebagainya, sampai
masalah subversi (Tatayi) fitnah dan caci maki.
Yang menarik pada zaman Majapahit tidak dikenal pidana kurungan.
Yang ada pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri
dari pidana mati, pidana potong anggota badan, denda dan ganti
rugi. Pidana tambahan, yaitu tebusan, penyitaan dan patibajampi
(uang pembeli obat). Yang lebih menarik lagi pelaksanaan pidana
mati itu dapat dilaksanakan oleh orang yang diserahi tugas
mengejar orang buruan, di luar petugas resmi (dipamanggahan).
Subversi
Menurut pasal 11 Kitab Undang-Undang Kutara Manawadharmasastra,
yang dimaksud dengan tindakan subversi atau tatayi ialah:
membakar rumah orang, terutama rumah raja yang berkuasa, meracun
sesama manusia, menenung sesama manusia, mengamuk, memfitnah
raja yang berkuasa, dan merusak kehormatan wanita. Ancaman
hukumannya bukan main beratnya. Jika kesalahan itu terbukti,
harus dijatuhi pidana mati tanpa proses apa pun.
Sebaliknya, kemajuan sikap pemerintah zaman Majapahit, ialah
dianutnya asas keseimbangan perlakuan hukum antara rakyat dan
penguasa. Sebab menurut Kitab Undang-Undang Kutara
Manawadharmasastra, lawan dari tindakan subversi dapat juga
dilakukan oleh alat kekuasaan negara. Jenis kejahatan ini
disebut astadusta, atau delapan dusta.
Menurut pasal 6 undang-undang itu, hamba raja, meski ia menteri
sekalipun, jika menjalankan dusta, supaya diperlakukan sebagai
penjahat.
Apakah yang dimaksud dengan astadusta? Menurut pasal 3,
astadusta dapat berupa: membunuh orang yang tidak berdosa
menyuruh membunuh orang yang tidak berdosa melukai orang yang
tidak berdosa makan bersama dengan pembunuh itu mengikuti
jejak pembunuh bersahabat dengan pembunuh, memberi tempat
kepada pembunuh dan memberi pertolongan kepada pembunuh.
Tiga yang pertama tadi, ancamannya pidana mati. Sebagai contoh,
pelaksanaan ancaman hukuman bagi tindak kejahatan yang dilakukan
oleh alat kekuasaan negara, salah seorang menteri Majapahit
telah dikenakan tuntutan hukuman mati, berdasarkan pasal
astadusta karena membunuh Mahesa Anabrang.
Bromocorah
Bromocorah tentunya orang yang menjalankan tindakan corah atau
mencuri. Dalam Kitab Undang-Undang Kutara Manawadharmasastra,
masalah corah ini diatur dalam pasal 52 sampai dengan pasal 80.
Dalam undang-undang itu dikenal adanya astacorah, atau delapan
perbuatan yang digolongkan tindak pencurian. Menjalankan
perbuatan mencuri, menyuruh mencuri, memberi makan kepada
pencuri memberi tempat kepda pencuri, bersahabat dengan
pencuri, menolong pencuri dan menyembunyikan pencuri.
Ancaman hukuman bagi dua jenis corah pertama, mencuri dan
menyuruh mencuri amatlah berat. Kedanya, jika terbukti,
dikenakan pidana mati. Anak, istri dan hartanya menjadi hak
penguasa untuk dijual atau dibagi-bagi. Jika terpidana mohon
hidup, ia harus menebus pembebasannya, membayar denda empat
laksa pada penguasa di samping membayar kerugian kepada yang
kena curi.
Jika seorang pencuri yang terbukti melarikan diri, harus dikejar
dan dibunuh oleh penduduk desa. Jika kepala desa mengetahui dan
tetap tinggal diam, karena segan membunuh pencuri, maka orang
yang demikian dikenakan denda empat laksa.
Tukang Santet
Perkara tukang santet, diatur dalam pasal 13, Kitab
Undang-Undang Kuntara Manawadharmasastra. Ancaman hukuman bagi
tukang santet tidak ada bandingannya dalam sejarah
perundang-undangan tertulis di mana pun juga.
Sebab apabila perbuatan itu terbukti, bukan hanya pelaku, tetapi
juga anak, cucu, ibu, bapak semuanya yang masih tinggal tidak
akan dibiarkan hidup, demi keselamatan negara. Semua harta
miliknya disita.
Bagaimana cara membuktikan tenung atau santet?
Pasal 13 undang-undang itu menjelaskan. Barang siapa menulis
nama orang lain di atas kain orang mati atau di atas peti mati
atau di atas dodot yang berbentuk boneka, atau barang siapa
menanam boneka tepung yang bertuliskan nama di kuburan,
menyangsangkannya di atas pohon, di tempat angker, atau di jalan
silang, orang yang demikian itu sedang menjalankan tenung yang
sangat berbahaya.
Demikian juga, barang siapa menuliskan nama orang di atas
tulang, di atas tengkorak dengan arang, darah dan kemudian
merendamnya di dalam air, atau menanamnya di tempat penyiksaan,
perbuatan itu disebut menenung.
Pasal 14 mengatur ketentuan ancaman bagi tukang guna-guna
bila maksudnya untuk menggali kasih sayang dan cinta serta
persahabatan, hukumannya cuma denda delapan tali saja.
Astabrata dan Bhirawa Anoraga
Masih banyak aturan menarik, mencengangkan namun sangat
memperjelas pengamatan terhadap perkembangan kesadaran hukum
masyarakat.
Kitab Undang-Undang Kutara Manawadharmasastra ialah tonggak
sejarah. Namun ditilik umurnya, kitab undang-undang yang disusun
pada abad ke-13 dan 14 itu, saya menduga banyak berisi norma
yang sudah tidak sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat
sekarang.
Atau saya keliru. Mungkin kesadaran hukum masyarakat setempat
masih mencerminkan norma abad ke-13 dan 14 itu. Karena apa boleh
buat, mungkin baru sampai di situ itulah pencerminan dari hasil
upaya kita untuk memajukan dan mencerdaskan bangsa selama ini.
Tetapi bila Astabrata dan Bhirawa Anoraga masa kini masih
diilhami untuk menegakkan norma hukum yang terkandung dalam
Kitab Undang-Undang Kutara Manawadharmasastra, saya
sungguh-sungguh ikut prihatin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini