Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Hukum pidana zaman majapahit

Salah satu produk hukum gemilang zaman majapahit ialah kitab undang-undang kutara manawadharmasastra. menurut hukum ini, mencuri hukumannya pidana mati. ancaman hukum bagi tukang santet lebih berat lagi.

4 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI mereka yang gemar memukau diri terhadap masa lalu, tertib hukum zaman Majapahit dapat juga menjadl bahan kebanggaan. Di samping saat itu sudah ada hukum tertulis, relatif lengkap dan mengatur seluk beluk pidana-perdata secara menyeluruh, juga banyak norma hukumnya yang masih relevan. Terutama untuk masyarakat dan penegak hukum di bekas kerajaan besar itu. Salah satu produk hukum gemilang zaman kebesaran Majapahit ialah Kitab Undang-Undang Kutara Manawadharmasastra. Sesuai dengan panjangnya nama, hukum itu juga mencerminkan panjangnya akal. Untuk ukuran zaman itu. Uraian lengkap mengenai masalah ini dimuat dalam buku: Unlang-Undang Madjapahit karangan Prof. Dr. Slamet Mulyana. Ada 19 bab, masing-masing mengatur soal ketentuan umum, kejahatan pembunuhan, perlakuan terhadap kawula, pencurian, paksaan, jual beli, gadai, utang-piutang dan sebagainya, sampai masalah subversi (Tatayi) fitnah dan caci maki. Yang menarik pada zaman Majapahit tidak dikenal pidana kurungan. Yang ada pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana potong anggota badan, denda dan ganti rugi. Pidana tambahan, yaitu tebusan, penyitaan dan patibajampi (uang pembeli obat). Yang lebih menarik lagi pelaksanaan pidana mati itu dapat dilaksanakan oleh orang yang diserahi tugas mengejar orang buruan, di luar petugas resmi (dipamanggahan). Subversi Menurut pasal 11 Kitab Undang-Undang Kutara Manawadharmasastra, yang dimaksud dengan tindakan subversi atau tatayi ialah: membakar rumah orang, terutama rumah raja yang berkuasa, meracun sesama manusia, menenung sesama manusia, mengamuk, memfitnah raja yang berkuasa, dan merusak kehormatan wanita. Ancaman hukumannya bukan main beratnya. Jika kesalahan itu terbukti, harus dijatuhi pidana mati tanpa proses apa pun. Sebaliknya, kemajuan sikap pemerintah zaman Majapahit, ialah dianutnya asas keseimbangan perlakuan hukum antara rakyat dan penguasa. Sebab menurut Kitab Undang-Undang Kutara Manawadharmasastra, lawan dari tindakan subversi dapat juga dilakukan oleh alat kekuasaan negara. Jenis kejahatan ini disebut astadusta, atau delapan dusta. Menurut pasal 6 undang-undang itu, hamba raja, meski ia menteri sekalipun, jika menjalankan dusta, supaya diperlakukan sebagai penjahat. Apakah yang dimaksud dengan astadusta? Menurut pasal 3, astadusta dapat berupa: membunuh orang yang tidak berdosa menyuruh membunuh orang yang tidak berdosa melukai orang yang tidak berdosa makan bersama dengan pembunuh itu mengikuti jejak pembunuh bersahabat dengan pembunuh, memberi tempat kepada pembunuh dan memberi pertolongan kepada pembunuh. Tiga yang pertama tadi, ancamannya pidana mati. Sebagai contoh, pelaksanaan ancaman hukuman bagi tindak kejahatan yang dilakukan oleh alat kekuasaan negara, salah seorang menteri Majapahit telah dikenakan tuntutan hukuman mati, berdasarkan pasal astadusta karena membunuh Mahesa Anabrang. Bromocorah Bromocorah tentunya orang yang menjalankan tindakan corah atau mencuri. Dalam Kitab Undang-Undang Kutara Manawadharmasastra, masalah corah ini diatur dalam pasal 52 sampai dengan pasal 80. Dalam undang-undang itu dikenal adanya astacorah, atau delapan perbuatan yang digolongkan tindak pencurian. Menjalankan perbuatan mencuri, menyuruh mencuri, memberi makan kepada pencuri memberi tempat kepda pencuri, bersahabat dengan pencuri, menolong pencuri dan menyembunyikan pencuri. Ancaman hukuman bagi dua jenis corah pertama, mencuri dan menyuruh mencuri amatlah berat. Kedanya, jika terbukti, dikenakan pidana mati. Anak, istri dan hartanya menjadi hak penguasa untuk dijual atau dibagi-bagi. Jika terpidana mohon hidup, ia harus menebus pembebasannya, membayar denda empat laksa pada penguasa di samping membayar kerugian kepada yang kena curi. Jika seorang pencuri yang terbukti melarikan diri, harus dikejar dan dibunuh oleh penduduk desa. Jika kepala desa mengetahui dan tetap tinggal diam, karena segan membunuh pencuri, maka orang yang demikian dikenakan denda empat laksa. Tukang Santet Perkara tukang santet, diatur dalam pasal 13, Kitab Undang-Undang Kuntara Manawadharmasastra. Ancaman hukuman bagi tukang santet tidak ada bandingannya dalam sejarah perundang-undangan tertulis di mana pun juga. Sebab apabila perbuatan itu terbukti, bukan hanya pelaku, tetapi juga anak, cucu, ibu, bapak semuanya yang masih tinggal tidak akan dibiarkan hidup, demi keselamatan negara. Semua harta miliknya disita. Bagaimana cara membuktikan tenung atau santet? Pasal 13 undang-undang itu menjelaskan. Barang siapa menulis nama orang lain di atas kain orang mati atau di atas peti mati atau di atas dodot yang berbentuk boneka, atau barang siapa menanam boneka tepung yang bertuliskan nama di kuburan, menyangsangkannya di atas pohon, di tempat angker, atau di jalan silang, orang yang demikian itu sedang menjalankan tenung yang sangat berbahaya. Demikian juga, barang siapa menuliskan nama orang di atas tulang, di atas tengkorak dengan arang, darah dan kemudian merendamnya di dalam air, atau menanamnya di tempat penyiksaan, perbuatan itu disebut menenung. Pasal 14 mengatur ketentuan ancaman bagi tukang guna-guna bila maksudnya untuk menggali kasih sayang dan cinta serta persahabatan, hukumannya cuma denda delapan tali saja. Astabrata dan Bhirawa Anoraga Masih banyak aturan menarik, mencengangkan namun sangat memperjelas pengamatan terhadap perkembangan kesadaran hukum masyarakat. Kitab Undang-Undang Kutara Manawadharmasastra ialah tonggak sejarah. Namun ditilik umurnya, kitab undang-undang yang disusun pada abad ke-13 dan 14 itu, saya menduga banyak berisi norma yang sudah tidak sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat sekarang. Atau saya keliru. Mungkin kesadaran hukum masyarakat setempat masih mencerminkan norma abad ke-13 dan 14 itu. Karena apa boleh buat, mungkin baru sampai di situ itulah pencerminan dari hasil upaya kita untuk memajukan dan mencerdaskan bangsa selama ini. Tetapi bila Astabrata dan Bhirawa Anoraga masa kini masih diilhami untuk menegakkan norma hukum yang terkandung dalam Kitab Undang-Undang Kutara Manawadharmasastra, saya sungguh-sungguh ikut prihatin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus