Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Periode pembantukan tradisi...

Jakarta: lp3es, 1980 resensi oleh: taufik abdullah. (bk)

4 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GERAKAN MODEREN ISLAM DI INDONESIA 1900-1942 Deliar Noer, LP3ES, Jakarta, 1980 358 + XIV halaman, termasuk indeks KETIKA semangat "restrukturalisasi politik" sedang menggebu-gebu dan keharusan menangnya pendukung Orde Baru" dalam pemilihan umum (1971) sedang keras dikampanyekan demi terwujudnya pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD '45 yang "murni dan konsekuen", setidaknya begitulah retorika -- saat itu pula keluar pertanyaan yang menantang: "Islam, yes, partai Islam, no?" Tentu tidak akan demikian keras dirasakan, jika saja yang mengatakan itu mereka yang dianggap secara politis bukan golongan Islam. Tapi suara itu malah muncul di kalangan pemuda terpelajar Islam, yang sesungguhnya diharap akan menjadi penerus cita politik Islam dalam kancah Orde Baru. Masalahnya rupanya bukan sekedar pertentangan persepsi tentang situasi politik. Tetapi menyangkut hal-hal yang lebih mendasar Sikap politik itu, yang tentu antara lain disebabkan oleh kekecewaan terhadap partai-partai, diberi pula alasan yang bertolak dari pengertian doktrin Islam. Maka keluarlah gagasan tentang keharusan "mengembalikan" hal-hal yang sifatnya sekuler, duniawi, kelapangan keduniawian. Timbul pula pertanyaan: bagaimana harus diartikan patokan dasar keberlakuan ajaran agama untuk seluruh zaman dan seluruh umat manusia? Bagaimana dimensi waktu dan tempat harus dikenakan? Dan ternyata, jawaban sementara yang diberikan, ada yang merasakannya sebagai mengurangi keabadian dan keberlakuan universal ajaran Islam. Kegelisahan Awal Ini terutama dengan keras dirasakan di kalangan yang biasa disebut "reformis lslam" -- atau kadang-kadang dinamakan juga golongan "modernis Islam". Tetapi mengapa justru dari kalangan reformis, bukan dari golongan "tradisionalis" reaksi itu muncul? Pengamatan yang teliti terhadap studi Deliar Noer akan memudahkan kita menjawab. Meski judulnya sederhana, Gerakan Moderen Islam di lndonesia, buku ini sebenarnya bisa dianggap studi paling lengkap tenrang periode pembentukan tra-disi "reformis Islam di Indonesia". Dengan memakai pendekatan historis Deliar Noer menguraikan munculnya cita-cita reformistis dalam kehidupan keagamaan. Dan dengan memakai berbagai organisasi Islam sebagdi saluran kisah, ia memperlihatkan kegelisahan masa awal pembentukan tradisi. Semuanya bermula dari sikap idealistis. Keyakinan bahwa pembebasan diri dari segala kebekuan dalam berpikir dan keterlepasan dari segala macam bid'ah -- pembelokan teologis dan praktek ritual dalam keagamaan -- bukan saja akan menimbulkan integrasi umat kembali pada ajaran agama yang murni, tetapi sekaligus memberinya dasar lebih kuat dalam memasuki "dunia modern". Dengan begini tampaklah bahwa, tanpa menjadikan akal sebagai ukuran yang serba menentukan, tradisi reformis bertolak dari keharusan akan berfungsinya akal dalam kehidupan beragama. Kepercayaan atau keyakinan teologis menjadi lebih berarti jika didukung oleh akal jika hal ini telah diselesaikan, yaitu antara akal dan percaya tidak dilihat sebagai suatu dikhotomi, maka dikhotomi lain juga dibereskan kerja demi dunia dan amal demi akhirat. Kesemuanya harus berpangkal pada keharusan berfungsinya kerangka konseptual ke-Islaman yang bersifat holistik, serba menyeluruh. Tentu, dalam proses pertumbuhannya dan penghadapannya dengan lingkungan sosial -- seperti terlihat jelas dalam tindak-tanduk berbagai organisasi reformis --tak selalu terdapat kesamaan dalam keterikatan mereka kepada tradisi intelektual yang sedang timbul ini. Persatuan Islam (Persis) yang dipimpin A. Hasan (Bandung), umpamanya, lebih keras daripada Muhammadiyah. Tetapi jika Muhammadiyah lebih menekankan pembinaan umat, dalam arti penciptaan "masyarakat yang diredhai, maka Sarekat Islam (dan penerusnya PSII) makin cenderung menghadapkan diri pada masalah kolonial. Dan tidaklah mengherankan jika PSSI, bersama Permi yang berpusat di Sumatera Barat adalah organisasi politik dari tradisi reformis yang paling awal menyelesaikan sikap awal ideologis yang ambivalen terhadap universalisme Islam dan nasionalisme Indonesia. Gebrakan Pentolan Salah satu hal menarik yang juga ditonjolkan Deliar Noer ialah fakta bahwa muncul dan berkembangnya tradisi reformis, atau menurut istilah Deliar Noer "gerakan modern Islam" berbeda-beda. Jika di Minangkabau kehadirannya ditandai oleh gebrakan pentolan-pentolan agama yang muda usia, maka di Jawa bermula secara tenang dalam organisasi pendidikan dan sosial. Juga tekanan berbagai corak tantangan yang dihadapi berbeda-beda meskipun, sebagaimana studi Deliar Noer cenderung untuk melihatnya, semua corak tantangan itu dirasakan. Adapun tantangan terhadap tradisi reformis baik dari sudut sikap politis, sosiologis, ideologis ataupun doktrin (dalam pengertian sikap terhadap ijtihad), datang dari pihak pemerintah Belanda, "penguasa adat" atau penguasa pribumi, nasionalis netral terhadap agama (dan komunis), kaum tradisionalis agama. Dan dengan jelas diuraikan pula proses aksi-reaksi dari berbagai gerakan reformis, dengan tantangan-tantangan itu. Hanya saja jika diingat bahwa masalah yang menjadi perhatian pokok masing-masing tantangan itu tidak sama gambaran aksi-reaksi itu kadang-kadang terasa kurang realistis. Ketika Deliar Noer mengerjakan edisi Inggris studi ini, yang semula diajukan sebagai disertasi Ph.D.-nya (1963), ia belum dimungkinkan mempelajari arsip Belanda. Hingga ia lebih memberatkan studinya pada bahan tertulis yang tercetak dan hasil wawancara. Mungkin ini suatu kekurangan, tetapi kekurangan yang menguntungkan. Jika saja ia harus membuka arsip, maka berapa tebalkah buku yang harus ditulisnya atau berapa jilid yang harus dihasilkannya untuk bisa mencakup ruang lingkup studi ini? Mungkin berbagai hal tak bisa diuraikan secara seimbang. Namun dengan ruang lingkup studi yang demikian menyeluruh, buku Deliar Noer bukan saja yang terlengkap tentang "gerakan modern Islam". Tetapi juga sekaligus "buku wajib" bagi siapa pun yang ingin mendalami salah satu gejala sosial-kultural-politik yang terpenting di abad ini. Juga berharga bagi para mahasiswa ilmu politik, sejarah dan sosiologi. Taufk Abdullah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus