INI kisah dari Palestina, di masa Perang Salib sekitar 900 tahun
yang lalu.
Di Kota Nabulus, yang dikuasai para kesatria dari Eropa, suatu
proses pengadilan terjadi. Seorang petani dituduh membantu
sekawanan bandit yang menyerang sebuah desa. Mendengar tuduhan
ini, pak tani itu pun melarikan diri. Tapi syahdan, para
penguasa menyandera anak istrinya, hingga terpaksalah orang tua
itu kembali.
Ia kembali, tapi di depan raja yang berkuasa di situ ia berkata:
"Beri hamba keadilan. Hamba menantang orang yang menuduh hamba."
Maka raja itu pun memerintahkan kepala desa memenuhi permintaan
itu. Oleh si kepala desa lalu didatangkanlah seorang pandai
besi. Ia kuat lagi muda -- dan mungkin karena itulah ia dipilih:
kepala desa itu agaknya tak hendak mengorbankan anggotanya yang
lain dalam perkelahian.
Di sebuah arena, kedua orang itu dipertemukan. Mereka
masing-masing dilengkapi dengan sebuah godam dan sehelai
perisai.
Si pandai bes memang kokoh, tapi nampaknya kecil nyalinya. Ia
kelihatan enggan bertempur. Sebaliknya si petani tua yang
dihadapinya -- yang merasa telah difitnah dan hendak
membersihkan nama baiknya nampak siap benar dalam sikap. Dalam
duel yang lamban itu, tapi penuh darah berceceran, beberapa kali
si petani dapat mendesak si pandai besi ke pojok. Melihat ini
bangsawan yang mengatur pertandingan pun rupanya tak sabar, dan
berteriak, "Ayo, cepatlah!"
Si pandai besi pun maju kembali. Ia tentu saja lebih
berpengalaman dengan godam, dan akhirnya satu hantaman
menyebabkan petani itu roboh. Si pemenang tak ayal lagi berdiri
mengangkangi tubuhnya yang tergeletak itu, lalu berulang kali
menggocoh kepala korbannya yang telah berlumur merah pekat
dengan godam, sampai tewas.
Setelah itu, tubuh petani tua yang telah setengah lumat itu pun
diseret dengan tali lalu digantung. Dalam adat masa itu di
tempat itu, keadilan telah dijalankan. Orang puas. Hanya seorang
pengamat yang menyaksikan peristiwa itu yang kemudian berkata,
"Semoga Tuhan mengutuknya".
Tak aneh. Pengamat itu seorang asing, Usama bin Munqidh namanya.
Ia datang dari Syria. Dalam kunjungannya menyaksikan cara hidup
orang-orang Eropa yang datang ke Tanah Suci dalam Perang Salib,
ia banyak menuliskan catatan. Di Nabulus itu, ia melihat sesuatu
yang memuakkan -- sesuatu yang tak pernah dialaminya di
negerinya sendiri.
Ia melihat suatu proses penghukuman yang tanpa mahkamah, tanpa
hakim dan tanpa argumentasi. Ia menyaksikan suatu keputusan
kebenaran yang hanya berdasarkan kekuatan fisik dalam tes yang
brutal. Ia menemukan orang divonis bersalah hanya karena kalah,
remuk, mati. Bukti? Saksi? Tak ada. Satu-satunya yang lumayan
hanya: bahwa si tertuduh diberi kesempatan membela diri. Ada
sedikit sikap kesatria: orang itu tak telanjang, lemah, dan
tinggal dibasmi.
Eropa, masa itu, memang berada pada taraf paling kasar dalam
soal peradilan. Ada orang yang harus memegang besi panas untuk
diuji ia berjusta atau tidak. Adapula yang dibuang ke air
dengan tangan dan kaki dikungkung: bila ia terapung, berarti ia
bersalah bila tenggelam, tak berdosa. "Mereka", tulis seorang
pengelana muslim ke Eropa di abad pertengahan itu, "memang punya
adat yang ganjil".
Tapi zaman berganti, Eropa berubah. Di abad ke-18, misalnya,
seorang pengamat muslim lain kagum akan cara pengadilan militer
Prancis di Mesir memproses seorang terdakwa. Orang itu
tertangkap basah, dengan senjata masih mengucurkan darah,
setelah membunuh Jenderal Kleber, pengganti Napoleon Bonaparte.
Tapi penguasa militer Prancis di Mesir itu toh mengadilinya
secara terbuka, dan tak sewenang-wenang.
"Mereka tak terburu-buru membunuh", begitu tulis sejarawan Mesir
Jabarti setelah menyaksikan proses itu, "meskipun mereka
menangkap pembunuh itu dalam keadaan bersenjata yang masih basah
oleh darah panglima mereka". Orang-orang Prancis itu juga rela
membebaskan orang yang dituduh terlibat tapi tak cukup terbukti.
Bagi Jabarti, betapa berbeda hal itu dengan yang pernah
disaksikannya di antara kaumnya sendiri. Ia tak urung menyebut
"pasukan yang menyatakan diri muslim", yang "berpura-pura
berperang jihad", tapi "membunuhi orang, dan merusak umat
manusia, hanya untuk memuaskan nafsu hewani".
Demikianlah, seperti dikisahkan oleh Bernard Lewis dalam The
Muslim Discovery of Europe, Usama bin Munqidh dan Jabarti hidup
di masa yang berbeda, mereka menemukan "adat" Eropa yang berbeda
pula. Tapi keduanya saksi yang sama-sama tersintuh untuk proses
yang lebih adil dalam menghukum orang -- suatu petunjuk bahwa
keprihatinan tentang ini bukan cuma hasil sebuah bangsa dari
sebuah zaman. Keprihatinan itu mungkin sekekal manusia -- karya
terbagus dan Tuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini