RONGGENG DUKUH PARUK
Karya Ahmad Tohari
PT Gramedia, Jakarta, 1982, 174 halaman.
JUDUL novel ini menyuratkan bahwa tokoh utama adalah seorang
ronggeng, yakni Srintil, yang dilahirkan dan menjadi tenar di
sebuah dukuh, Paruk. Dukuh itu sendiri mirip sebuah negeri
dongeng sebagai sebuah dukuh yang sekalian warganya masih
mempunyai pertalian darah, ia boleh dikatakan sama sekali
terasingkan dari dukuh dan desa lain -- dan dengan demikian
memiliki tata nilai tersendiri yang rupanya diusahakan untuk
dilestarikan oleh warganya.
Sebagai dukuh "terasing" semacam itulah sebenarnya Paruk menjadi
latar yang menguntungkan Tohari untuk menggarap alur dan
tokoh-tokohnya. Dan novelis ini memang menggarapnya dengan baik
sekali pada bagian pertama dari empat bagian buku ini.
Bagai tukang dongeng yang trampil, Tohari mengisahkan munculnya
seorang ronggeng di Paruk, setelah tempat yang unik itu selama
lebih dari sepuluh tahun tidak memiliki ronggeng. Paruk dan
ronggeng selama ini tidak bisa dipisahkan dukuh itu tanpa
ronggeng berarti tanpa denyut hidup, tanpa daya tarik.
Dan munculnya seorang gadis sebelas tahun, Srintil, secara
tiba-tiba sebagai ronggeng, jelas diterima dengan lega oleh
seluruh warga desa. Kakeknya, Sakarya, percaya bahwa Srintil
telah mendapat indang, semacam wahyu untuk menjadi ronggeng.
Ronggeng hanya bisa dilahirkan, tidak bisa dididik -- demikian
keyakinan di dukuh itu.
Kemampuan gadis cilik itu kemudian ditangani lebih lanjut oleh
dukun dukuh itu, suami istri Kartareja. Dalam waktu singkat
seluruh dukuh menyadari bahwa telah lahir seorang ronggeng dalam
kehidupan mereka sehari-hari dan bahwa desa mereka akan memiliki
wibawa lagi.
Bersamaan dengan itu, warga juga seperti tiba-tiba diingatkan
pada musibah yang terjadi sekitar sebelas tahun lalu. Dalam
peristiwa itu berpuluh-puluh warga dukuh Paruk meninggal karena
keracunan tempe bongkrek si pembuat tempe bongkrek adalah ayah
Srintil, Santayib. Kedua orangtua Srintil juga meninggal setelah
sengaja makan tempe buatan sendiri, sebaga semacam penebus dosa
terhadap warga desa.
Di balik itu semua, sebenarnya diam-diam warga Paruk beranggapan
bahwa semua peristiwa di dukuh itu ada kaitannya dengan almarhum
Ki Secamenggala, nenek moyang mereka semua. Meski tinggal berupa
nisan, bekas bromocorah itu dianggap masih memiliki kekuasaan
atas anak-cucunya. Peristiwa lahirnya ronggeng dan musibah tempe
bongkrek itu pun ada kaitannya dengan Ki Secamenggala.
Dongeng tentang Dukuh Paruk itu disampaikan dengan sangat lancar
oleh Tohari ia mempergunakan teknik dia-an atau orang ketiga.
Dengan teknik itu pencerita bagai dalang bebas meloncat ke sana
ke mari melampaui waktu dan tempat, dan bebas pula keluar-masuk
pikiran tokoh-tokohnya. Teknik ini sesuai dengan dunia dongeng
yang diciptakan pengarang: adegan kelahiran Srintil sebagai
ronggeng yang disaksikan teman-teman sebayanya, dan adegan
musibah tempe bongkrek, misalnya, merupakan bagian-bagian yang
sangat hidup.
Diam-diam pembaca mengharapkan Tohari tetap mendongeng sampai
akhir. Ternyata dunia dongeng itu hanya sampai pada akhir bagian
pertama pada bagian kedua dan selanjutnya Tohari mempergunakan
teknik akuan, si aku menjadi pencerita. Pak Dalang tiada lagi
dengan demikian yang diceritakan terbatas pada yang diketahui
si aku. Pergantian teknik dalam titik pandang tersebut jelas
mempengaruhi fokus.
Pada bagian peruma si pencerita tahu segala. Yang disorotinya
adalah Srintil yang lahir sebagai ronggeng. Mulai bagian kedua,
pencerita adalah si aku, Rasus, tokoh yang di bagian pertama
muncul sebagai salah seorang kawan sepermainan Srintil.
Masalah yang timbul bagi sang novelis adalah, si aku ternyata
tidak hanya berfungsi sebagai pencerita yang mengamati tokoh
utama, tetapi juga sebagai tokoh utama. Srintil, yang menjadi
fokus, mulai bagian kedua sedikit demi sedikit terdesak ke
belakang. Sebab Rasus si aku, ternyata juga memiliki persoalan
yang ditonjolkan. Akibatnya novel ini tidak hanya mendongengkan
ronggeng, tetapi juga mencoba menganalisis persoalan kejiwaan si
aku.
Dongeng yang mula-mula lancar itu, mulai bagian kedua lamban
tiba-tiba. Si aku mempunyai masalah kejiwaan yang penting: ia
sebenarnya tidak mempunyai gambaran pasti tentang emaknya yang
sejak musibah tempe bongkrek itu tidak pernah kembali ke
kampung. Ada dua kemungkinan emaknya mati lalu mayatnya
dijadikan bahan penelitian, atau emaknya hidup lalu kawin dengan
mantri jururawat yang menyelamatkan nyawanya. Gambaran kabur
tentang emaknya itu ternyata kemudian mendapat sangkutan, yakni
Srintil. Ronggeng cilik itu mengingatkan Rasus pada emaknya.
MESKI pada bagian kedua pencerita mengambil teknik akuan, tak
urung dalam beberapa adegan atau pristiwa pencerita khilaf bahwa
si aku tidak bisa bersifat maha tahu. Pada adegan terakhir
bagian ketiga, misalnya, pencerita berkisah tentang peristiwa
bukak klambu antara Sulam dan Srintil.
Pergeseran titik pandang itu seperti tidak disadari pengarang,
karena memang pada adegan-adegan itu dunia dongeng kembali
menguasai novelnya. Dan juga pada bagian-bagian itu, peristiwa
bukak klambu, semua berjalan lancar seperti dalam sebuah
dongeng. Di situ Tohari tidak bisa berpegang terlalu teguh pada
teknik akuannya kecenderungannya menjadi dalang senantiasa
membayang dalam bagian ini.
Bahwa tokoh utama adalah Srintil, tampaknya tidak perlu
dipersoalkan lagi namun pembaca cenderung bertanya: apakah
Rasus juga tokoh utama? Srintil, sebagai tokoh, sebenarnya tidak
bisa dikembangkan menjadi tokoh bulat yang penuh dengan
liku-liku sikap dan pikiran ia semacam wayang yang watak dan
sikapnya sudah ditentukan lebih dahulu dan tidak untuk
dikembangkan. Ia pipih.
Sebaliknya si aku, Rasus, lebih memiliki kemungkinan menjadi
tokoh bulat ia dirundung persoalan kejiwaan sehubungan dengan
ibunya -- ditambah hubungannya dengan Srintil, yakni gambaran
tentang ibunya. Dan nyatanya dalam novel ini Rasus tampil lebih
bulat. Persoalan kejiwaan Rasus muncul jelas ketika Srintil
menyerahkan keperawanannya kepadanya, ketika ia memutuskan
meninggalkan Desa Paruk, dan ketika ia dengan senjata pinjaman
(waktu itu Rasus sudah ikut tentara) menembak sebongkah batu
yang dibayangkannya sebagai mantri jururawat yang telah
melarikan ibunya.
Dengan demikian, semakin jauh novel ini dibaca, semakin jauh
pula dunia dongeng ditinggalkan -- semakin jauh pula gambaran
kehidupan ronggeng yang menjadi judul novel. Persoalan yang
tampil kemudian masalah pergeseran tata nilai, terutama sekali
yang disadari dan terjadi dalam diri Rasus.
Kalau Srintil merupakan gambaran khas Desa Paruk yang belum
dijamah pengaruh luar, Rasus adalah gambaran warga desa yang
berketetapan meninggalkan desanya dan menderita semacam culture
shock, 'kejutan budaya'. Ternyata ada tata nilai yang berbeda
dengan yang ada di Paruk! Dilihat dari pandangannya yang 'baru',
Paruk tampak sebagai desa yang jorok, cabul, bodoh, dan penuh
takhyul.
Diam-diam yang menjadi pahlawan dalam novel ini Rasus, pemuda
yang menerima penyerahan keperawanan Srintil sebelum upacara
bukak klambu dilaksanakan, yang tidak bisa lagi meyakini tata
nilai Dukuh Paruk, dan yang akhirnya menjadi anggota tentara
setelah berhasil membunuh perampok. Dongeng yang cekatan
mengenai ronggeng ini ternyata akhirnya menjadi gambaran tentang
proses sikap dan kesadaran seorang pemuda. Sayang sekali
tokohnya seorang Rasus tidak jarang ia tampak terlalu bodoh,
tidak jarang pula terlalu pintar, dalam memahami nilai-nilai
yang dihadapinya.
Dibandingkan dengan Kubah, novelnya terdahulu, Ronggeng Dukuh
Paruk ini menunjukkan bahwa Tohari bisa sangat lancar
mendongeng. Seperti juga dalam Kubah, latar, peristiwa, dan
tokoh-tokoh yang terdiri dari orang-orang desa yang sederhana
digambarkanya dengan menarik, bahkan tidak jarang sangat
menarik. Ini merupakan kebolehan Tohari yang tampaknya pantas
dipertahankan. Seorang novelis sebaiknya tidak perlu
berpura-pura menulis tentang segala yang di luar jangkau
dunianya betapapun sempit dunia yang dijangkaunya, penggarapan
yang cermat dan tekun akan bisa menghasilkan novel besar.
Akhirnya perlu dicatat bahwa dalam novel ini banyak dipergunakan
kata-kata Jawa ada yang dijelaskan artinya, ada juga yang
dipakai begitu saja Bahkan diselipkan beberapa tembang.
Penggunaan bahasa Jawa tidak begitu mengganggu, karena jelas
fungsinya namun ada kesalahan kecil dalam tembang yang dikutip.
Pada halaman 42 dikutip sebait kidung dalam dandanggula. Baris
kedua kidung itu berbunyi Teguh ayu luputing lara, seharusnya
Teguh ayu luputa ing lara. Sebab larik kedua tembang dandanggula
menuntut sepuluh suku kata, sesuai dengan aturan guru wilangan,
'bilangan suku kata', yang berlaku.
Sapardi Djoko Damono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini