Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Negeri dongeng, selamat tinggal

Pengarang: ahmad tohari jakarta: gramedia, 1982 resensi oleh: sapardi djoko damono. (bk)

19 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RONGGENG DUKUH PARUK Karya Ahmad Tohari PT Gramedia, Jakarta, 1982, 174 halaman. JUDUL novel ini menyuratkan bahwa tokoh utama adalah seorang ronggeng, yakni Srintil, yang dilahirkan dan menjadi tenar di sebuah dukuh, Paruk. Dukuh itu sendiri mirip sebuah negeri dongeng sebagai sebuah dukuh yang sekalian warganya masih mempunyai pertalian darah, ia boleh dikatakan sama sekali terasingkan dari dukuh dan desa lain -- dan dengan demikian memiliki tata nilai tersendiri yang rupanya diusahakan untuk dilestarikan oleh warganya. Sebagai dukuh "terasing" semacam itulah sebenarnya Paruk menjadi latar yang menguntungkan Tohari untuk menggarap alur dan tokoh-tokohnya. Dan novelis ini memang menggarapnya dengan baik sekali pada bagian pertama dari empat bagian buku ini. Bagai tukang dongeng yang trampil, Tohari mengisahkan munculnya seorang ronggeng di Paruk, setelah tempat yang unik itu selama lebih dari sepuluh tahun tidak memiliki ronggeng. Paruk dan ronggeng selama ini tidak bisa dipisahkan dukuh itu tanpa ronggeng berarti tanpa denyut hidup, tanpa daya tarik. Dan munculnya seorang gadis sebelas tahun, Srintil, secara tiba-tiba sebagai ronggeng, jelas diterima dengan lega oleh seluruh warga desa. Kakeknya, Sakarya, percaya bahwa Srintil telah mendapat indang, semacam wahyu untuk menjadi ronggeng. Ronggeng hanya bisa dilahirkan, tidak bisa dididik -- demikian keyakinan di dukuh itu. Kemampuan gadis cilik itu kemudian ditangani lebih lanjut oleh dukun dukuh itu, suami istri Kartareja. Dalam waktu singkat seluruh dukuh menyadari bahwa telah lahir seorang ronggeng dalam kehidupan mereka sehari-hari dan bahwa desa mereka akan memiliki wibawa lagi. Bersamaan dengan itu, warga juga seperti tiba-tiba diingatkan pada musibah yang terjadi sekitar sebelas tahun lalu. Dalam peristiwa itu berpuluh-puluh warga dukuh Paruk meninggal karena keracunan tempe bongkrek si pembuat tempe bongkrek adalah ayah Srintil, Santayib. Kedua orangtua Srintil juga meninggal setelah sengaja makan tempe buatan sendiri, sebaga semacam penebus dosa terhadap warga desa. Di balik itu semua, sebenarnya diam-diam warga Paruk beranggapan bahwa semua peristiwa di dukuh itu ada kaitannya dengan almarhum Ki Secamenggala, nenek moyang mereka semua. Meski tinggal berupa nisan, bekas bromocorah itu dianggap masih memiliki kekuasaan atas anak-cucunya. Peristiwa lahirnya ronggeng dan musibah tempe bongkrek itu pun ada kaitannya dengan Ki Secamenggala. Dongeng tentang Dukuh Paruk itu disampaikan dengan sangat lancar oleh Tohari ia mempergunakan teknik dia-an atau orang ketiga. Dengan teknik itu pencerita bagai dalang bebas meloncat ke sana ke mari melampaui waktu dan tempat, dan bebas pula keluar-masuk pikiran tokoh-tokohnya. Teknik ini sesuai dengan dunia dongeng yang diciptakan pengarang: adegan kelahiran Srintil sebagai ronggeng yang disaksikan teman-teman sebayanya, dan adegan musibah tempe bongkrek, misalnya, merupakan bagian-bagian yang sangat hidup. Diam-diam pembaca mengharapkan Tohari tetap mendongeng sampai akhir. Ternyata dunia dongeng itu hanya sampai pada akhir bagian pertama pada bagian kedua dan selanjutnya Tohari mempergunakan teknik akuan, si aku menjadi pencerita. Pak Dalang tiada lagi dengan demikian yang diceritakan terbatas pada yang diketahui si aku. Pergantian teknik dalam titik pandang tersebut jelas mempengaruhi fokus. Pada bagian peruma si pencerita tahu segala. Yang disorotinya adalah Srintil yang lahir sebagai ronggeng. Mulai bagian kedua, pencerita adalah si aku, Rasus, tokoh yang di bagian pertama muncul sebagai salah seorang kawan sepermainan Srintil. Masalah yang timbul bagi sang novelis adalah, si aku ternyata tidak hanya berfungsi sebagai pencerita yang mengamati tokoh utama, tetapi juga sebagai tokoh utama. Srintil, yang menjadi fokus, mulai bagian kedua sedikit demi sedikit terdesak ke belakang. Sebab Rasus si aku, ternyata juga memiliki persoalan yang ditonjolkan. Akibatnya novel ini tidak hanya mendongengkan ronggeng, tetapi juga mencoba menganalisis persoalan kejiwaan si aku. Dongeng yang mula-mula lancar itu, mulai bagian kedua lamban tiba-tiba. Si aku mempunyai masalah kejiwaan yang penting: ia sebenarnya tidak mempunyai gambaran pasti tentang emaknya yang sejak musibah tempe bongkrek itu tidak pernah kembali ke kampung. Ada dua kemungkinan emaknya mati lalu mayatnya dijadikan bahan penelitian, atau emaknya hidup lalu kawin dengan mantri jururawat yang menyelamatkan nyawanya. Gambaran kabur tentang emaknya itu ternyata kemudian mendapat sangkutan, yakni Srintil. Ronggeng cilik itu mengingatkan Rasus pada emaknya. MESKI pada bagian kedua pencerita mengambil teknik akuan, tak urung dalam beberapa adegan atau pristiwa pencerita khilaf bahwa si aku tidak bisa bersifat maha tahu. Pada adegan terakhir bagian ketiga, misalnya, pencerita berkisah tentang peristiwa bukak klambu antara Sulam dan Srintil. Pergeseran titik pandang itu seperti tidak disadari pengarang, karena memang pada adegan-adegan itu dunia dongeng kembali menguasai novelnya. Dan juga pada bagian-bagian itu, peristiwa bukak klambu, semua berjalan lancar seperti dalam sebuah dongeng. Di situ Tohari tidak bisa berpegang terlalu teguh pada teknik akuannya kecenderungannya menjadi dalang senantiasa membayang dalam bagian ini. Bahwa tokoh utama adalah Srintil, tampaknya tidak perlu dipersoalkan lagi namun pembaca cenderung bertanya: apakah Rasus juga tokoh utama? Srintil, sebagai tokoh, sebenarnya tidak bisa dikembangkan menjadi tokoh bulat yang penuh dengan liku-liku sikap dan pikiran ia semacam wayang yang watak dan sikapnya sudah ditentukan lebih dahulu dan tidak untuk dikembangkan. Ia pipih. Sebaliknya si aku, Rasus, lebih memiliki kemungkinan menjadi tokoh bulat ia dirundung persoalan kejiwaan sehubungan dengan ibunya -- ditambah hubungannya dengan Srintil, yakni gambaran tentang ibunya. Dan nyatanya dalam novel ini Rasus tampil lebih bulat. Persoalan kejiwaan Rasus muncul jelas ketika Srintil menyerahkan keperawanannya kepadanya, ketika ia memutuskan meninggalkan Desa Paruk, dan ketika ia dengan senjata pinjaman (waktu itu Rasus sudah ikut tentara) menembak sebongkah batu yang dibayangkannya sebagai mantri jururawat yang telah melarikan ibunya. Dengan demikian, semakin jauh novel ini dibaca, semakin jauh pula dunia dongeng ditinggalkan -- semakin jauh pula gambaran kehidupan ronggeng yang menjadi judul novel. Persoalan yang tampil kemudian masalah pergeseran tata nilai, terutama sekali yang disadari dan terjadi dalam diri Rasus. Kalau Srintil merupakan gambaran khas Desa Paruk yang belum dijamah pengaruh luar, Rasus adalah gambaran warga desa yang berketetapan meninggalkan desanya dan menderita semacam culture shock, 'kejutan budaya'. Ternyata ada tata nilai yang berbeda dengan yang ada di Paruk! Dilihat dari pandangannya yang 'baru', Paruk tampak sebagai desa yang jorok, cabul, bodoh, dan penuh takhyul. Diam-diam yang menjadi pahlawan dalam novel ini Rasus, pemuda yang menerima penyerahan keperawanan Srintil sebelum upacara bukak klambu dilaksanakan, yang tidak bisa lagi meyakini tata nilai Dukuh Paruk, dan yang akhirnya menjadi anggota tentara setelah berhasil membunuh perampok. Dongeng yang cekatan mengenai ronggeng ini ternyata akhirnya menjadi gambaran tentang proses sikap dan kesadaran seorang pemuda. Sayang sekali tokohnya seorang Rasus tidak jarang ia tampak terlalu bodoh, tidak jarang pula terlalu pintar, dalam memahami nilai-nilai yang dihadapinya. Dibandingkan dengan Kubah, novelnya terdahulu, Ronggeng Dukuh Paruk ini menunjukkan bahwa Tohari bisa sangat lancar mendongeng. Seperti juga dalam Kubah, latar, peristiwa, dan tokoh-tokoh yang terdiri dari orang-orang desa yang sederhana digambarkanya dengan menarik, bahkan tidak jarang sangat menarik. Ini merupakan kebolehan Tohari yang tampaknya pantas dipertahankan. Seorang novelis sebaiknya tidak perlu berpura-pura menulis tentang segala yang di luar jangkau dunianya betapapun sempit dunia yang dijangkaunya, penggarapan yang cermat dan tekun akan bisa menghasilkan novel besar. Akhirnya perlu dicatat bahwa dalam novel ini banyak dipergunakan kata-kata Jawa ada yang dijelaskan artinya, ada juga yang dipakai begitu saja Bahkan diselipkan beberapa tembang. Penggunaan bahasa Jawa tidak begitu mengganggu, karena jelas fungsinya namun ada kesalahan kecil dalam tembang yang dikutip. Pada halaman 42 dikutip sebait kidung dalam dandanggula. Baris kedua kidung itu berbunyi Teguh ayu luputing lara, seharusnya Teguh ayu luputa ing lara. Sebab larik kedua tembang dandanggula menuntut sepuluh suku kata, sesuai dengan aturan guru wilangan, 'bilangan suku kata', yang berlaku. Sapardi Djoko Damono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus