Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEWINDU lalu, ketika dilantik pertama kali sebagai presiden, Joko Widodo berjanji mewujudkan kedaulatan pangan. Sayangnya, sampai hari ini, jangankan mencapai kemandirian pangan, membuat neraca beras nasional yang kredibel, transparan, dan akuntabel saja pemerintah tampaknya kewalahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Silang pendapat antara Kementerian Pertanian dan Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) tentang angka produksi dan stok beras nasional adalah buktinya. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo hakulyakin produksi beras masih mencukupi, termasuk untuk mengisi cadangan beras pemerintah, sehingga menilai impor tak diperlukan. Sedangkan Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso menyatakan cadangan beras pemerintah tinggal 594 ribu ton, kurang dari separuh target stok minimal 1,2-1,5 juta ton. Berpegang pada data itu, Bulog menilai impor beras kudu segera dilakukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini sebenarnya cerita lama. Kisruh seperti ini muncul saban tahun di sepanjang dua periode pemerintahan Jokowi. Data beras yang dimiliki antarinstansi pemerintah, dari produksi, konsumsi, stok tahunan, luas tanam, hingga perkiraan panen, tak pernah sinkron. Alih-alih berkoordinasi dan membenahi masalah krusial ini, para pemangku kebijakan pangan memilih berfokus pada pencapaian target masing-masing. Ego sektoral masih jadi tembok besar yang menghambat koordinasi lintas kementerian.
Dari berbagai pernyataan publik mereka, jelas bahwa keengganan utama Kementerian Pertanian mendukung rencana impor beras bersumber dari kekhawatiran bakal dituding gagal mencapai swasembada pangan. Sebaliknya, Bulog juga ogah dianggap tak cakap mengelola cadangan beras pemerintah. Itu yang membuat Bulog berkeras mendorong pengadaan dari luar negeri meski tahu betul bahwa kebijakan impor pangan kerap ditunggangi para pemburu rente. Ketimbang mencari solusi yang paling rasional demi kepentingan rakyat, kedua lembaga itu memilih ngotot di posisi masing-masing agar terlihat paling becus mengurus beras.
Presiden Joko Widodo harus segera membereskan kekisruhan ini. Buruknya tata kelola perberasan dapat menjadi sumber malapetaka. Rendahnya ketersediaan beras sangat rentan memicu kenaikan harga. Pengalaman 1998 semestinya cukup menjadi pelajaran. Kala itu, krisis moneter meletus beriringan dengan kenaikan harga beras lebih dari dua kali lipat. Gejolak ekonomi pun mengguncang stabilitas politik dan keamanan nasional.
Kenaikan harga beras sangat berisiko bagi perekonomian karena komoditas pangan ini sangat fundamental dan berkaitan erat dengan kesejahteraan masyarakat. Studi Bank Dunia memperkirakan setiap kenaikan harga beras sebesar 10 persen akan menambah angka kemiskinan sebesar 1,1 persen. Bertambahnya jumlah penduduk miskin pada akhirnya bakal menambah beban anggaran negara. Sejurus dengan itu, daya beli masyarakat yang merosot akibat inflasi berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Yang paling merana tentu petani. Seperti yang sudah-sudah, polemik antara Kementerian Pertanian dan Bulog bakal menyebabkan realisasi impor beras terlambat. Akibatnya, beras impor bisa-bisa datang bersamaan dengan musim panen, Maret tahun depan. Tanpa rantai distribusi yang melindungi petani dari tengkulak, banjir beras impor pasti memukul harga gabah. Petani rugi, warga rugi, kita semua rugi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo