Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Wujud konkret lemahnya regulasi di pengendalian tembakau di Indonesia adalah rokok menjadi barang normal, dijual di mana pun dengan cara apa pun.
Cuan besar industri rokok diikuti dengan melambungnya prevalensi merokok pada anak dan remaja di Indonesia, yang kini mencapai 9,1 persen.
Dimensi pengendalian sebagai upaya mitigasi risiko untuk melindungi masyarakat terhadap produk adiksi rokok selama 10 tahun terakhir mati suri.
BUKAN hal yang aneh jika industri rokok kerap menangguk cuan besar. Apalagi untuk perusahaan rokok yang termasuk kategori level A, seperti PT Djarum Kudus, PT HM Sampoerna, dan PT Gudang Garam.
Keuntungan besar perusahaan rokok ini, salah satunya, terlihat dari rapat umum pemegang saham PT Gudang Garam Tbk (GGRM) pada 29 Juni 2024 di Hotel Grand Surya, Kediri, Jawa Timur. Dalam rapat itu, cuan GGRM pada 2023 dilaporkan mencapai Rp 5,8 triliun, naik dua kali lipat dibanding cuan pada 2022 yang sebesar Rp 2,5 triliun.
PT HM Sampoerna (HMSP) juga mengeduk untung yang ciamik. Labanya tumbuh 28 persen pada 2023 menjadi Rp 8,1 triliun. Saat ini PT HMSP menjadi pemimpin pasar rokok, dengan pangsa pasar 28,6 persen. Jadi, cuan besar yang dicapai PT GGRM, PT HMSP, dan perusahaan rokok lain di Indonesia sejatinya bukanlah "berita besar". Mudah saja untuk menguliti perihal fenomena cuan besarnya itu. Apa sebabnya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka, industri rokok, menjual produk adiksi, produk yang menimbulkan ketergantungan bagi konsumennya. Lidah konsumen akan tercekat manakala menyeruput produk adiksi nikotin ini. Apalagi kandungan nikotin jenis rokok (kretek) di Indonesia sangat tinggi, lebih dari 3,5 miligram. Sifat adiksi inilah yang membuat lidah konsumen loyal terhadap produk rokok. Sampai kapan pun.
Industri adiksi itu kini tak hanya memproduksi dan memasarkan rokok konvensional, tapi juga rokok elektrik, yang sama bahayanya dengan rokok konvensional. Berkelindan dengan bisnis adiksi itu, kiprah industri rokok sebagai penjaja produk adiksi di Indonesia makin berkibar, dengan lemahnya regulasi yang berdimensi pengendalian terhadap produknya.
Regulasi pengendalian produk tembakau di Indonesia adalah yang terlemah di dunia. Tidak ada upaya serius untuk membatasi produksi, penjualan, pemasaran, iklan, dan promosinya. Hal inilah yang menjadikan produksi dan penjualan rokok sebagai produk adiksi di Indonesia terus melambung, yang diikuti dengan jumlah perokok di Indonesia yang juga menjulang setinggi langit. Tidak mengherankan, saat ini jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai 35 persen dari total populasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wujud konkret lemahnya regulasi pada pengendalian tembakau di Indonesia adalah rokok menjadi barang normal, dijual di mana pun dengan cara apa pun. Beli rokok di mana pun bisa. Bahkan rokok bisa dijual secara ketengan, plus masih digelontor dengan iklan dan promosi yang sangat deras. Industri rokok terkenal paling royal dalam hal ini. Sesungguhnya hal ini sangat paradoks; produk adiksi tapi menjadi barang normal, dijual bebas, plus masih dipromosikan pula!
Berbasis cuan besar dari bisnis komoditas adiksi itulah mereka juga sukses mengepakkan sayap bisnisnya di sektor lain. PT Djarum Kudus sukses besar bisnis di sektor keuangan (BCA), properti, retail modern, bahkan industri elektronik. PT Gudang Garam pun tak ketinggalan, kini terjun di sektor bisnis infrastruktur, seperti Bandar Udara Dhoho di Kediri, berikut akses jalan tolnya yang sedang proses konstruksi. Demikian pula dengan PT HMSP yang banyak menggeluti bisnis di sektor lain, termasuk sektor pendidikan.
Tanpa disadari, klimaks di balik cuan besar perusahaan adiksi rokok adalah "rugi besar" bagi bangsa ini. Sebab, cuan besar itu diikuti dengan melambungnya prevalensi merokok pada anak dan remaja di Indonesia, yang kini mencapai 9,1 persen. Jumlah ini meningkat dari lima tahun sebelumnya yang sebesar 8,5 persen. Dan fenomena ini akan terkerek hingga 15 persen. Hal inilah yang menjadi "misi suci" industri rokok.
Kerugian besar berikutnya adalah manakala cuan besar industri rokok menjadi penyebab kemiskinan masyarakat. Data menunjukkan bahwa rumah tangga miskin di Indonesia menghabiskan pendapatannya mayoritas untuk mengkonsumsi rokok daripada untuk membeli lauk-pauk.
Ironisnya, angka kemiskinan di Indonesia masih sangat signifikan, yakni 9,31 persen dari total populasi. Bahkan 3 juta di antaranya masih mengalami kemiskinan ekstrem. Kategori versi pemerintah itu pun tergolong masih sangat moderat. Angkanya akan melambung hingga lebih dari 30 persen jika menggunakan parameter kemiskinan ala Bank Dunia. Angka kemiskinan selama 10 tahun terakhir hanya turun 1,35 persen.
Berkorelasi dengan kemiskinan adalah angka stunting pada anak yang bertengger di angka 21,6 persen, masih di atas standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Pemicu stunting, apalagi kalau bukan faktor gizi buruk dan kemiskinan. Plus prevalensi penyakit tuberkulosis (TB) di Indonesia yang bertengger di urutan kedua di dunia setelah India.
Kementerian Kesehatan mencatat setidaknya saat ini terdapat sekitar 717 ribu orang Indonesia yang mengidap penyakit TB. Angka faktual di lapangan bisa tiga kali lipat. Lagi-lagi, faktor gaya hidup tidak sehat (merokok), gizi buruk, dan kemiskinan menjadi tersangka utamanya.
Cuan besar perusahaan rokok sejatinya menjadi antitesis terhadap jargon besar pemerintah yang ingin mencapai bonus demografi pada 2030 dan generasi emas pada 2045. Mitos untuk mencapai hal tersebut jika generasi mudanya digelayuti oleh konsumsi produk adiksi, yang jelas kontraproduktif terhadap kesehatan, kecerdasan, dan kesejahteraannya.
Sungguh ironi manakala kebijakan dan regulasi yang ada justru memberikan karpet merah kepada perusahaan rokok, industri yang menjual adiksi, sehingga mendapat cuan besar setiap tahun. Dimensi pengendalian, sebagai upaya mitigasi risiko untuk melindungi masyarakat terhadap produk adiksi rokok, selama 10 tahun terakhir mati suri.
Karena itu, sudah sepantasnya Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan, yang merupakan mandat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, segera disahkan oleh Presiden Joko Widodo. Saat ini naskah RPP Kesehatan sudah di meja Presiden, tinggal ditandatangani (disahkah) menjadi PP Kesehatan. Presiden pun sudah menyetujui substansi RPP Kesehatan tersebut dalam rapat terbatas kabinet, satu bulan lalu.
RPP Kesehatan itu ke depannya akan menjadi instrumen agar negara bisa mendapat cuan besar yang sesungguhnya: anak-anak dan generasi muda yang cerdas, sehat, dan masyarakat yang sejahtera. Bukan masyarakat yang bodoh, sakit-sakitan, dan miskin pula karena digelayuti perilaku konsumsi produk adiksi (rokok) akibat lemahnya regulasi serta kebijakan negara.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.