Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ini dia, demokrasi

Pencalonan wakil presiden dalam sidang umum mpr berjalan sesuai dengan demokrasi pancasila. Inilah fenomena politik yang paling bersejarah selama 20 tahun. Mungkin menentukan masa depan demokrasi indonesia.

12 Maret 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMINGGU ini, koran apa saja enak dibaca. Dan perlu. Acara TV yang biasanya sering dilewatkan, kini menjadi menarik ditonton. Wajah-wajah tokoh yang biasanya membosankan sekarang tampak cakap dan memikul beban makna. Ucapannya, fotonya, kelakarnya, bahkan senyum atau ekspresi wajahnya. Orang merujukkan semua itu dengan kerangka pengetahuan dan pendengarannya tentang demokrasi yang sedang bekerja. Demokrasi yang rasanya tiba-tiba nongol menampakkan wajahnya. Cerah menggairahkan, dan memberi harapan. Banyak yang diharap tidak diberitakan di koran, radio, atau TV, tetapi yang tersirat cukuplah. Karena semua yang ada di media massa itu cukup memberi gambaran dan menyiratkan kerja wakil-wakil kita. Selamat, MPR. Saya bangga dengan penampilan Fraksi Karya Pembangunan. Siap, matang, tampak terencana, dan menampilkan tanpa keraguan politikus muda yang telah teruji komitmennya pada demokrasi. Sarwono Kusumaatmadja, Akbar Tanjung, dan Rahmat Witular tiba-tiba menjadi bintang lapangan yang cerdik, dingin, dan akomodatif. Mereka juga membuktikan kemampuannya menjadi political broker yang tangguh. Kesempatan berinisiatif tampak diberikan kepada bintang-bintang muda. Yang tua-tua, tuturi handayani. Sugandhi misalnya, tampak puas dengan peran sebagai pemain di belakang layar, dan menjadi jembatan komunikasi antara generasi tua dan generasi muda ini. Uji kematangan ini terbukti dengan lancarnya pencalonan wakil presiden dari Golongan Karya, issue politik riil yang dalam sidang umum MPR kali ini menjadi batu ujian ketahanan demokrasi Pancasila. Rakyat memang merasakan ada riak dan dinamika di dalam. Tetapi harus diakui, riak itu tampak bukan merupakan masalah berarti dalam proses politik di dalam tubuh Golkar. Yang tidak kalah menakjubkan adalah penampilan PPP yang elok dan kukuh. Sama sekali tidak tampak sisa-sisa kericuhan purnamuktamar, yang sampai sehari sebelum sidang MPR masih beredar nuansanya. Seolah perkembangan politik di sidang umum menyatukan semua unsur yang semula bersengketa. PPP tampak sadar partai ini sedang diuji untuk memainkan kartu kunci yang sangat muskil tetapi penting dalam kehidupan berdemokrasi. Tiba-tiba tokoh Darussamin dan Mardinsyah menjadi tegar, penuh percaya diri, dan mengambil langkah yang sama sekali tidak tampak bodoh. Mereka seolah sadar dan dengan cerdik memanfaatkan peluang untuk meraih kredit dalam membangun demokrasi Pancasila di negeri tercinta ini. Pencalonan Dr. J. Naro sebagai wakil presiden bukan main-main. It is not a joke. Rupanya, PPP menemukan format berpolitik yang tepat pada sidang umum ini. Partai ini ternyata mampu menggarisbawahi arti pencalonan ketua umumnya sebagai wakil presiden. Itulah yang dinamakan kemampuan untuk kapitalisasi setiap peluang politik untuk "menang", dalam arti luas. Menurut judul berita koran Ibu Kota, PDI mengecewakan. Sayang, partai yang menjadi tumpuan harapan anak-anak muda, dan mengaku memihak rakyat kecil, ternyata belum cukup sigap menghadapi arena demokrasi yang berkembang pesat di sidang umum ini. Kohesi tokoh-tokohnya tampak rapuh ketika beberapa di antaranya tidak sabar menunggu dan menunggu ketegasan sikap pimpinannya. Mereka mendahului pendirian resmi partainya dalam mencalonkan Sudharmono sebagai wakil presiden. Itu pun tidak segera mendorong partai harapan ini memutuskan sikap politiknya. Baru tampak sebagai produk ketidakberdayaan. Jago-jago tangguh yang muda dan berbakat serta tulus di Partai Demokrasi Indonesia itu, ternyata, kalah bermain waktu dan memanfaatkan peluang. Fraksi Utusan Daerah bisa ditebak. Sepak, terjangnya diwarnai oleh kepandaian membaca situasi. Konsolisi politiknya sangat diwarnai oleh gaya birokrat. Setiap aturan, akomodatif dan musyawarah serta persuasif. Para gubernur itu menjalankan peran politiknya dengan santai tetapi penuh kewaspadaan. Kesannya matang dan kaya pengalaman. Kalau toh ada tampak warna power politic, mungkin itu disebabkan karena Prof. Ibrahim Hasan yang Gubernur Daerah Istimewa Aceh masih duduk di DPP Golkr. Tidak mengherankan dan sah ketika dia tampak melakukan fungsi sebagai operator politik yang lincah dan cekatan. Kenyataan itu lalu seolah bisa menutup, sekurang-kurangnya untuk sementara, peluang Fraksi Utusan Daerah dijadikan arena untuk manuver dagang sapi. Fraksi ini tampak tanpa kesulitan memutuskan untuk mencalonkan Sudharmono sebagai wakil presiden juga. Yang mengagetkan banyak pihak adalah penampilan Fraksi ABRI dalam forum sidang umum MPR kali ini. Khususnya dalam menghadapi pokok agenda politik yang menjadi batu ujian demokrasi Pancasila tadi. Kekuatan politik yang selama lebih dari dua puluh tahun Orde Baru menjadi stabilisator dan dinamisator ini, ternyata, telah mencengangkan banyak pengagum dan pengharap bimbingannya. Jurus-jurus politik terakhirnya tampak tumpul, tidak kohesif dan out of manouvre. Setiap orang di Republik tercinta ini tahu dan bersaksi lahir batin bahwa ABRI memiliki lebih dari cukup perwira-perwira tangguh, senior, dan memenuhi semua syarat yang ditetapkan oleh TAP MPR maupun disampaikan oleh Presiden untuk mendampingi beliau sebagai wakil presiden, termasuk Sudharmono yang purnawirawan letnan jenderal. Tetapi kita terkejut ketika Fraksi ABRI akhirnya memutuskan untuk menyatakan tidak mengajukan calon. Karena itu, mendukung calon Fraksi Karya Pembangunan. Itu pun diputuskan dekat-dekat dengan keputusan Fraksi PDI yang dibilang mengecewakan banyak pendukungnya tadi. Pada pendapat saya, inilah fenomena politik yang paling bersejarah selama dua puluh tahun, dan mungkin menentukan masa depan demokrasi di Indonesia. Secara positif, saya menangkap ini sebagai isyarat kematangan demokrasi Pancasila, yang sudah tiba saatnya untuk bangkit tanpa bayang-bayang patronase politik. Menjelang tinggal landas, kekuatan-kekuatan politik nyata telah dinilai mampu mengendalikan konduk kenegaraan yang dikehendaki UndangUndang Dasar 1945. Sebaliknya, leverage atau wibawa pendirian politik Fraksi ABRI, yang selama ini tidak sedikit pun disengketakan, tiba-tiba tampak seperti kehilangan prakarsa, kekompakan, kepastian, dan jelasnya arah yang dikehendaki. Saya mungkin naif. Tetapi sebagai warga negara yang peduli, boleh kiranya menyampaikan pendapat yang tulus itu. Semoga Tuhan memberkahi Republik yang sangat kita cintai ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus