TIBA-tiba kata voing jadi populer dalam Sidang Umum MPR yang pekan ini memasuki hari-hari terakhir. Kata Inggris ini sebenarnya ada padanan bahasa Indonesianya: pemungutan suara. Mungkin dirasa lebih pendek - juga lebih keren - kata voting-lah yang lebih sering diucapkan. Bila istilah yang tak begitu seram itu jadi buah bibir masyarakat, memang ada sebabnya. Masih belum jelas benar, di dalam demokrasi Indonesia, yang dinamakan demokrasi Pancasila itu, voting dihalalkan atau diharamkan. Adalah Mayjen. Socbiyakto, juru bicara fraksi ABRI di MPR, sempat menegaskan, " Voting mencerminkan warna liberal, bukan Pancasila." Lalu jenderal yang sedang diberondong pertanyaan oleh para wartawan ini buru-buru menambahkan, pengertian demokrasi Pancasila memang baru "kulitnya - saja. Karena itu, Lembaga Pertahanan & Keamanan Nasional akan mengadakan seminar untuk merumuskan hal ini, April nanti. Ada yang kemudian melanjutkan diskusi itu. Keesokan harinya, rekan sefraksi Soebiyakto, Mayjen. Samsudin, menyatakan, "Pengambilan keputusan melalui suara terbanyak, setelah didahului pembahasan yang mendalam, bukan cacat dalam pelaksanaan demokrasi Pancasila." Samsudin, tentu, tak mengada-ada. Seperti diutarakan oleh Drs. H. Bomer Pasaribu, S.H, "musyawarah mufakat dan voting itu merupakan dua sisi dari satu mata uang." Sambil membalik-balik kitab UUD 45 serta kctetapan MPR Wakil Sekreraris F-KP DPR ini menambahkan, 'Musyawarah mufakat itu hanva tcrcantum pada alinea keempat mukadimah UUD 45, sedangkan pada batang tubuh keseluruhannya adalah voting." Sebagai contoh, Bomer menunjuk pada pasal 2 ayat 3 ("Segala ketetapan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak") dan pasal 6 ayat 2 ("Presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak"). Walhasil, menurut Bomer, "Musyawarah mufakat itu dipakai untuk menghindarkan terjadinya diktator mayoritas, sedangkan voting untuk menghindarkan terjadinya tirani minoritas." Yang sekarang ramai dipermasalahkan, sisi mata uang demokrasi Pancasila sebelah mana yang akan dipakai dalam memilih wakil presiden. Sampai awal pekan ini masih terdapat dua calon, Sudharmono dan 1 Naro. Dan Bomer boleh berpendapat, yang lain punya juga pikiran. Ginandjar Kartasasmita, misalnya. "Sebaiknya dalam pemilihan pimpinan nasional itu dilakukan dengan musyawarah mufakat," begitu pendapat Menteri Muda Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam egeri itu. Ini berarti salah satu calon harus mengundurkan diri. Dan seandainya voting yang dipilih oleh Majelis, menurut Ketetapan MPR no. II/ MPR/1973, setiap voting mengenai orang atau masalah yang dipandang teramat penting harus dilakukan dengan rahasia. Dengan kata lain, setiap anggota MPR bisa melakukan pilihan sesuai dengan hati nuraninya tanpa terikat fraksi masing-masing. Wajah bisa dipandang, isi hati orang siapa tahu selain Yang Di Atas sono. Ini berarti calon yang di kertas akan kalah bila voting dijalankan, pada kenyataannya belum tenn demikian. Untuk mencapai babak voting banyak syarat mesti ditempuh. Berdasarkan TAP II/MPR/1973, 16 syarat harus dipenuhi oleh seorang calon wakil presiden. Di antaranya: dia harus orang Indonesia asli, telah berusia 40 tahun, bertakwa kepada Tuhan YME, bersedia menjalankan CBHN, berwibawa, jujur, cakap, adil - memang serupa dengan persyaratan calon presiden. Lalu: presiden dan wakil presiden harus dapat bekerja sama, calon wakil presiden harus menyatakan sanggup dan dapat bekerja sama dengan presiden. Bila persyaratan itu telah dipenuhi, baru anggota majelis membuka voting. Sebelumnya, tentu, diperiksa dahulu apakah sidang memenuhi kuorum, minimal harus dihadiri oleh dua pertiga dari jumlah anggota majelis. Jika jumlah minimal ini tak tercapai, rapat ditunda sejam. Ini dapat diulang tiga kali bila tetap tak mencapai kuorum. Kalau masih gagal juga, dapat ditunda lagi paling lama dua kali 24 jam. Seandainya tetap gagal, maka jumlah kuorum diubah menjadi "sekurang-kurangnya lebih dari separuh jumlah anggota". Agaknya voting tak akan menjadi masalah seandainya benar dilakukan dalam pemilihan wakil presiden, pekan ini. Persiapan untuk menyongsong kemungkinan ini sudah dilakukan. Menurut Sekjen MPR Wang Suwandi, pemilihan calon wapres akan dimulai Jumat pekan ini, tepat pukul 15.00. Diperkirakan bakal makan waktu dua jam. Kita akan menyediakan 45 kotak supaya cepat, ' katanya. Adapun kartu suara akan dibagikan kepada anggota begitu mereka memasuki ruang utama yang disebut Grahatama - tempat voting diadakan - setelah mengisi daftar hadir. Dalam kartu suara ini akan dicantumkan nama para calon wapres. Setelah pembukaan sidang yang diperkirakan memakan waktu 10 menit, para anggota majelis dipersilakan melakukan pemilihan dengan memberi lingkaran pada nomor nama calon yang dipilih, melipatnya, dan memasukkannya ke kotak suara. Setelah itu, kotak-kotak - yang tak diberi nomor atau tanda lain - dikumpulkan di satu tempat untuk dibuka. dan kartu suara dihitung oleh petugas sekretariat MPR. entu sa1a dengan saksi dari semua fraksi. Yang menarik, dan menggembirakan sekaligus, masyarakat luas pun akan diundang menjadi saksi. "Pemilihan ini terbuka untuk umum," kata Wang. Jika acara voting memilih wakil presiden ini benar terjadi, tentu akan menjadi tontonan menarik. Untuk pertama kalinya dalam sejarah RI voting dilakukan untuk memilih pimpinan nasional. Selama ini yang muncul selalu calon tunggal hingga tak perlu dilakukan pemungutan suara. Sesungguhnya voting di lingkungan regional sudah cukup membudaya. Pemilihan Kcpala Daerah Tingkat Satu dan Dua oleh DPRI) dilakukan secara voting. Bahkan jumlah calonnya ditetapkan minimum tiga, maksimum lima. Hanya saja voting di sini tidak langsung dianggap kata akhir. Pemerintah pusatlah yang berhak menunjuk pemenangnya, kendati bukan peraih suara terbanyak . Bagi para pendiri Republik Indonesia, voting merupakan menu sehari-hari. Pada 10 Juli 1945 misalnya, Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia memutuskan untuk melakukan stem. (voting ), untuk menentukan bentuk negara Indonesia. Hasilnya: republik 55, kerajaan 6, lain-lain 2, dan blangko 1. Beberapa masalah lain di Indonesia juga diputuskan dengan voting. Antara lain soal batas negara dan bunyi sumpah presiden. Cara pemungutan suara sehubungan dengan ini: yang setuju berdiri dan yang menolak tetap duduk. Persis seperti yang dilakukan dalam Sidang MPR sekarang, untuk memutuskan beberapa rancangan ketetapan menjadi ketctapan MPR (lihat Bagian 1). Wajar saja bila voting tak bisa diterima semua pihak. Golongan Islam pernah menolak melakukan stem, yaitu ketika membahas pasal 28 ayat 1 UUD 1945. Mula-mula ayat menyebutkan bahwa presiden harus orang Islam. Achmad Sati, wakil golongan Islam, menolaknya. Asannya, "Perkara agama udak bisa di-stem." Dan dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, 18 Agustus 1945, voting pernah dipermasalahkan. Ketika itu anggota Soepomo mengusulkan agar pasal 2 ayat 3 (yang kini menjadi dasar bagi dimungkinkannya pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak dicoret. Ia berpendapat tata cara menetapkan putusan itu sebaiknya ditulis dalam undang-undang tentang permusyawaratan. Mohammad Hatta menolak usul Soepomo karena "ketentuan itu berdasarkan kedaulatan rakyat". Oleh Ketua Soekarno, dengan permufakatan semua anggota, akhirnya ayat ini dipertahankan. Bahwa di awal Orde Baru voting tak populer, agaknya, bisa dimengerti. Trauma peninggalan aman "liberal", sesudah 1950, yang "padat voting" masih cukup tinggi Maklum, sidang konstituante 1959 sempat berlangsung tiga kali tanpa hasil karena tak mencapai kuorum. Akibatnya, pembangunan tersendat karena tak terjadi pemerintahan yang stabil. Baru pada 1978 voting hidup lagi. Itu pun untuk membahas materi, dan bukan memilih orang. Ini sebabnya bila perangkat peraturan yang mengatur mekanisme voting secara "rahasia" belum terinci. Baru Senin pekan ini, pimpinan Majelis dan fraksi berembuk untuk mencapai konsensus mengenai hal ini - yang tentunya, bila tak diperoleh kesepakatan, akan dilakukan voting juga. Bambang Harymurti dan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini